Bisnis Kerabat Pejabat

Bolehkah keluarga pejabat melakukan kegiatan bisnis? Pertanyaan ini muncul setelah tersiar kabar bahwa putri sulung bekas presiden Soeharto menerima komisi 10 persen dari nilai transaksi pembelian 100 tank Scorpion untuk TNI pada 1994-1996. Alvis Vehicle Ltd., pembuat tank ringan Inggris itu, menyatakan memberi insentif tersebut karena berpendapat Siti Hardijanti Rukmana berjasa melancarkan kontrak bernilai 160 juta pound itu.

Melalui kuasa hukumnya, Siti Hardijanti Rukmana membantah menerima insentif tersebut. Sementara itu, pihak Kejaksaan Agung menyatakan akan memeriksa dokumen-dokumen transaksi penjualan yang dijadikan barang bukti di pengadilan perdata Inggris dalam kasus sengketa antara agen Alvis di Singapura dan di Indonesia, yang kemudian dijadikan bahan penulisan harian Guardian untuk membongkar dugaan keterlibatan Nyonya Rukmana itu. Menurut Jaksa Agung, proses hukum akan digelindingkan jika ditemukan indikasi korupsi dalam transaksi pengadaan mesin perang TNI ini.

Apa yang membedakan apakah komisi senilai sekitar 16 juta pound itu adalah sebuah praktek bisnis yang biasa atau sebuah tindak pidana korupsi? Kehadiran atau ketidakhadiran konflik kepentingan di jajaran penentu kebijakan adalah jawabnya. Karena Presiden (ketika itu) Soeharto adalah sang penentu dan orang nomor satu Republik Indonesia itu juga ayah Nyonya Rukmana, konflik kepentingan jelas hadir. Apalagi saat itu ada tawaran alternatif yang mungkin lebih baik dan lebih murah.

Keadaan sebaliknya terjadi pada keluarga almarhum Baharudin Lopa. Untuk menambah penghasilannya sebagai pegawai negeri yang jujur, Lopa dan keluarganya menjalankan warung kecil di kediamannya, yang tetap dipertahankan ketika jaksa yang gemar menulis kolom di media massa ini diangkat menjadi Jaksa Agung. Jelas tak ada konflik kepentingan antara bisnis keluarga Lopa dan kepentingan negara. Oleh karena itu, tak ada alasan untuk memaksa Lopa dan keluarganya menutup warung itu ketika Lopa diangkat menjadi pejabat tinggi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini berupaya agar ada lembaga resmi pemerintah yang menentukan apakah bisnis seorang pejabat atau keluarganya mempunyai konflik kepentingan dengan wewenang si pejabat atau tidak. Bila ada dugaan benturan kepentingan, perlu diusut lebih lanjut dan kemudian diambil kesimpulan apakah perlu dilarang atau diizinkan untuk terus berlangsung. Pada Senin lalu Presiden Yudhoyono telah meminta Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan tugas ini. Setidaknya itu yang tersirat dari ucapan Sutrisno Iwantono setelah bertemu dengan Kepala Negara, Senin lalu. Menurut sang Ketua KPPU, Presiden menyilakan semua orang melakukan kegiatan bisnis sepanjang berlaku secara adil, transparan, dan mengikuti iklim persaingan sehat.

Perintah Presiden kepada KPPU ini jelas harus segera dijalankan. Kita semua menunggu aturan baku dan tertulis dari lembaga ini tentang kriteria bisnis yang adil, transparan, dan mengikuti iklim persaingan sehat. Aturan ini, bila telah selesai dibuat, harus disebarluaskan ke masyarakat, termasuk ancaman sanksi bagi yang melanggar. Kita tak ingin bisnis yang korup merajalela, tapi kita berharap bisnis yang sehat terus bertambah dan tumbuh dengan cepat di semua lapisan rakyat.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 22 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan