Bisnis Haji

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiskusi menanggapi rencana kenaikan Biaya Pelaksanaan Ibadah Haji (BPIH) tahun  2011. ICW juga memaparkan modus-modus korupsi dan penyelewengan Dana Abadi Umat (DAU) yang dikelola oleh Kementerian Agama.

Menurut koordinator Divisi Korupsi POlitik Ade Irawan, rencana kenaikan BPIH harus dievaluasi, sebab ada sejumlah poin penting pembiayaan yang seharusnya dapat dilakukan efisiensi. "Salah satu poin pembiayaan tertinggi adalah biaya penerbangan, ini perlu dievaluasi karena Kemenang sebagai penyelenggara ibadah haji tidak melakukan tender terbuka," kata Ade.

Selama ini, kata Ade, pengelola memanfaatkan Undang-undang No 13 Tahun 2008 yang memang tidak mensyaratkan tender terbuka untuk maskapai penerbangan. Selain itu, pemilihan pemondokan di Makkah dan Madinah juga tidak transparan.

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Yasin menambahkan, KPK akan mendorong Kementerian Agama untuk melakukan tender dalam musim haji tahun ini. Yasin juga mengatakan, KPK sebelumnya telah menyampaikan 48 rekomendasi kepada Kemenag terkait pelaksanaan ibadah haji. Namun, kata Yasin, 11 poin yang jatuh tempo pada Desember 2010 pun belum sepenuhnya direalisasikan. "Dari 11 poin yang sudah jatuh tempo pun hanya tiga yang sudah dilaksanakan. Ketiganya hanya terkait administrasi, bukan soal pendanaan yang menjadi prioritas," kata Yasin.

Sementara itu, Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai bahwa penyelenggaraan ibadah haji telah berubah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Banyak pihak berupaya mendapatkan keuntungan, sementara pengelolaan haji buruk. Dari penelusuran KPK, dana-dana masyarakat melalui setoran awal yang terkumpul dalam Dana Abadi Umat (DAU) masih rawan diselewengkan. KPK menemukan pola bahwa modus-modus yang digunakan relatif sama antara periode pengelolaan haji di masa mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Said Aqil Munawwar, yakni mark-up satuan biaya BPIH dan anggaran ganda.
 
Koordinator divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas menambahkan, selain modus lama, ada modus baru yang digunakan untuk mengkorupsi DAU, yakni penggunaan dana deposito DAU. "Setelah melalui proses audit, dana yang terkumpul itu kemudian hilang, dan akan kembali masuk saat mulai musim haji. Pertanyaannya, kemana saja larinya dana itu selama beberapa waktu?" ujarnya.

Padahal, kata Firdaus, nilai bunga depositornya sangat besar, karena DAU yang telah terkumpul hingga saat ini telah mencapai Rp 27 triliun. Nilai uang yang dikelola semakin besar, karena semakin panjang antrean daftar nama calon jamaah haji yang menyetorkan uangnya. "Ini yang harus KPK dorong untuk dievaluasi, karena dana umat tidak seharusnya diputar-putar untuk kepentingan segelintir pihak. Dana setoran awal itu semestinya digunakan untuk semata-mata pengelolaan ibadah haji," tukas Firdaus. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan