Birokrat Wajib Mendengar De Soto
Sistem ekonomi pasar sampai saat ini masih menjadi pilihan paling efektif untuk mendatangkan kesejahteraan. Tantangannya bukan sekadar menolong orang miskin, tetapi juga memastikan semua orang bisa masuk ke sistem ekonomi pasar.
Kapitalisme adalah akumulasi dari surplus nilai. Semua surplus nilai itu disimpan pada hak kepemilikan yang legal.
Oleh karena itu, memasuki sistem ekonomi pasar, menurut penulis buku terkenal The Mystery of Capital: Why Capitalism Thriumphs in the West and Fails Everywhere Else, Hernando de Soto, berarti masuk ke sektor formal serta memiliki aset yang terdokumentasi secara formal dan dapat dimanfaatkan sebagai faktor produksi.
Dalam suatu seminar di Jakarta, kemarin, De Soto menegaskan bahwa dirinya tidak mengampanyekan kapitalisme, tetapi ekonomi pasar yang dibawa oleh kapitalisme adalah sistem yang sekarang berjalan paling efektif untuk memperkuat kapital walau tidak seorang pun tahu sampai kapan sistem ekonomi ini bertahan.
Sektor formal ditandai dengan adanya dokumentasi (tertulis) dan standardisasi. Sistem ekonomi pasar dan globalisasi berjalan jika ada standar yang berlaku. Perlunya standar itu, De Soto mencontohkan pengalamannya membeli kemeja batik dalam kunjungannya sejak pekan lalu di Jakarta.
Batik harus dibuat dengan desain, bahan, dan cita rasa khas lokal, tetapi ukuran baju batik perlu dibuat sesuai standar yang berlaku internasional. Dengan begitu, saya tak kesulitan menjelaskan bagaimana ukuran baju yang saya butuhkan, ujarnya.
Asumsi orang miskin tidak mempunyai aset, menurut De Soto, hanyalah mitos. Penelitian di Mesir menunjukkan total nilai bangunan yang secara informal dimiliki kalangan masyarakat miskin di negara itu mencapai 250 miliar dollar AS, jauh lebih besar dari total nilai investasi asing (foreign direct investment) yang masuk.
Masalahnya, jika tidak terdokumentasi, aset itu tidak bersifat likuid. Cara untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan memobilisasi sumber daya (material) orang miskin, sekaligus kemampuan mereka, kata De Soto.
Ketika ditanya sarannya untuk mengatasi persoalan kemiskinan di Indonesia, De Soto mengakui belum pernah secara khusus melakukan penelitian atau mempelajari Indonesia. Namun, permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia dan di banyak negara lain tak ubahnya seperti penyakit dengan gejala umum yang seharusnya dikenali setiap dokter.
Beberapa langkah yang disarankan De Soto untuk menangani persoalan kemiskinan di Indonesia antara lain mengawali kebijakan pemerintah dengan memetakan potensi sumber daya informal, yakni aset yang dikuasai penduduk miskin secara informal, sekaligus memetakan hukum adat atau hukum informal lain yang berlaku dalam masyarakat.
Kemudian, coba cari tahu berapa banyak waktu yang dibutuhkan bagi orang miskin di Indonesia untuk memanfaatkan hukum, misalnya, untuk mendaftarkan aset atau mengajukan kredit. Hasilnya bisa sangat mengejutkan, kata De Soto.
Reformasi hak kepemilikan diakui De Soto bersifat sangat politis. Di Indonesia, yang memiliki wilayah demikian luas, masalahnya bukan lahan, tetapi pada hukum, katanya.
De Soto juga mengingatkan, sistem formal yang baik sekalipun tetap membutuhkan kepemimpinan kuat. Dicontohkannya, pasifikasi (meluasnya pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik) pada Perang Dunia II tidak bisa dilepaskan dari kekuatan kepemimpinan Jenderal Douglas MacArthur.
Kita bisa saja mati di rumah sakit yang menerapkan sistem perawatan bagus kalau ahli bedah yang menangani kita melakukan kesalahan, kata De Soto menyebutkan contoh lain.
Proteksi negara
Di Indonesia, mobil pengangkut barang sering kali harus berhenti. Ya, karena distop polisi, dinas LLAJR, atau preman yang meminta uang. Bermacam-macam alasan, seperti kapasitas muatan melebihi ukuranlah, mobil yang tidak layak mengangkut baranglah. Setelah terjadi negosiasi, nyatanya polisi atau DLLAJR melepas bus itu pergi dengan angkutannya yang dipersoalkan itu.
Menurut De Soto, pengejaran aparat atau preman adalah salah satu bentuk ketiadaan proteksi dari pemerintah, yang terjadi di banyak negara di dunia ketiga. Pemerasan bukan saja terjadi oleh mafia lokal, tetapi juga aparat dan birokrasi itu sendiri.
Menurut De Soto, ekonom kelahiran Peru, kemiskinan di dunia ketiga bukan karena kesalahan globalisasi atau kapitalisme. Namun, adalah dunia ketiga itu sendiri yang tak bisa mengembangkan diri untuk maju.
Contoh, perbankan sebagai sumber kredit murah bagi usaha bisnis. Namun, bisakah usaha skala kecil, termasuk sektor informal, mendapatkan kredit dari bank dengan mudah?
Indonesia tidak luput dari persoalan itu. Betapa seraknya sudah suara kaum usahawan mikro dan kecil meneriakkan sulitnya mengakses kredit.
Lebih parah lagi, perbankan malah menghindari pemberian kredit pada usaha informal. Mereka tidak punya tanah yang layak digadaikan. Usaha informal bukan saja harus menghadapi preman lokal yang meminta jatah, tetapi juga setiap kali terancam terkena gusur.
Padahal, sektor informal, menurut De Soto, merupakan kelompok yang memiliki aset besar. Kalkulasi De Soto yang lulusan Institute Universitaire de Hautes Etudes Internationales, Geneva, itu, menyebutkan aset sektor informal di dunia ketiga 20 kali lebih besar dari aliran investasi asing dan 90 kali lebih banyak dari bantuan asing dalam 30 tahun terakhir ini.
Kekayaan yang dimiliki kaum miskin melebihi yang diberikan negara maju, kata De Soto, putra seorang diplomat yang menetap di Eropa karena kerusuhan politik di negaranya.
Oleh karena itu, kata De Soto, pengembangan sektor informal akan bisa membangkitkan ekonomi. Sebaliknya, keterpurukan sektor informal bukan saja merugikan sektor informal, tetapi juga perekonomian negara.
Ia menjelaskan, salah satu sukses kapitalisme di Barat adalah kejelasan status hukum, tanah, rumah, dan entitas bisnis. Penekanan utama De Soto adalah status lahan yang menjadi tempat tinggal dan lokasi usaha sektor informal. Kejelasan status hukum membuat sektor informal akan mampu mengatasi persoalan legalitas. Hal itu kemudian bisa dipakai sebagai salah satu jaminan mendapatkan permodalan.
Hal ini sudah dicoba diterapkan di negara asalnya, Peru. Banyak petani dan usaha informal di negara itu yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dan usahanya berkembang berdasarkan modal dari penggadaian lahan ke bank. Ini adalah hasil usulannya, saat menjabat sebagai penasihat Alberto Fujimori, mantan Presiden Peru.
Sukses itu membuatnya memuliskan buku The Other Path (Sebuah Jalan Lain). Namun, hal itu membuatnya dibenci kelompok komunis Peru, yang menginginkan Shining Path, metode pengembangan ekonomi rakyat lewat sistem komunisme.
Kejelasan status hukum yang dimaksud De Soto bukan semata-mata soal status tanah. De Soto juga menekankan pentingnya keberadaan aspek hukum dan penegakan hukum, yang membuat semua pihak, individu, terlindung dan bukan menjadi sasaran pemerasan.
Hasil penelitian De Soto dan beberapa rekannya di berbagai negara memperlihatkan musuh utama sektor informal adalah pemerintahnya sendiri. Di Haiti, hal pertama yang harus dilakukan seorang warga biasa yang ingin menggunakan lahan milik negara adalah menyewa dari pemerintah selama lima tahun, baru kemudian bisa membelinya. Namun, untuk menyewa lahan dibutuhkan 65 prosedur, yang setidaknya memerlukan waktu dua tahun untuk bisa mendapatkannya.
Di Mesir malah lebih parah. Ada 77 prosedur di tingkat birokrasi dan seseorang yang hendak mendaftarkan lahannya harus menghadapi 31 lembaga swasta dan pemerintah. Hal itu memerlukan waktu 5 tahun-14 tahun.
Oleh karena itu, rakyat melakukan bisnis bawah tanah. Mereka berusaha tanpa mendapatkan izin dari pemerintah karena susahnya prosedur perizinan. Namun, hal itu kemudian membuat mereka menjadi santapan preman dan aparat. (Nur Hidayati dan Simon Saragih)
Sumber: Kompas, 7 November 2006