Birokrasi, Suap, dan Politik

MENJELANG HUT Ke-40 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) pada 29 November 2011, jajaran PNS di Kota Semarang mendapat ”musibah”. Kamis (24/11) Sekda Kota, pejabat karier tertinggi, bersama dua anggota DPRD, ditangkap KPK terkait dengan suap pembahasan RAPBD 2012. Ketiganya kini menjadi tersangka.

Padahal Sapta Prasetya organisasi jelas menyebutkan bahwa Korpri wajib mengabdi kepada kepentingan rakyat. Anggota korps itu pasti ingat tatkala kali pertama masuk jajaran pegawai negeri mengucap sumpah tidak akan menerima dalam bentuk apapun hadiah, apalagi uang suap.

Demikian pula anggota DPRD, partai pasti membekali dengan kode etik dan ideologi. Namun kini orang paham bahwa partai yang mengatasnamakan agama, yang mengaku paling bersih dan sebagainya, ternyata masih mengabdi hal-hal yang sifatnya kebendaan. Karenanya, tak ada bedanya partai yang katanya berbasis agama, yang katanya membela wong cilik, yang katanya bersih dan santun, mengingat faktanya masih dikotori oleh anggotanya yang nyata-nyata pemburu rente, bahkan preman politik.

Kasus di Kota Semarang ini menunjukkan bahwa budaya suap di jajaran birokrasi masih berlangsung hingga kini. Fenomena itu tampaknya melanda hampir seluruh jajaran birokrasi negeri ini. Masyarakat pasti tahu, minimal mendengar, masih ada praktik suap, apapun labelnya, dalam permohonan pembuatan atau perpanjangan KTP, SIM, IMB, atau berbagai urusan lain yang melibatkan birokrat. 

Birokrasi yang mestinya efisien dan efektif di ujungnya malahan menjadi lamban dan kini lebih parah lagi berbau politik. Pada era desentralisasi pun birokrasi makin terbenam dalam kubangan politik kotor untuk kepentingan pemenangan pilkada. Setidaknya ada satu persoalan penting terkait dengan PNS, yakni sistem perekrutan yang tidak transparan sehingga menghasilkan ketidaksesuaian, terutama antara ijazah dan tugasnya.

Wajar jika kinerja sebagian anggota Korpri tidak optimal, termasuk pandai korupsi meski baru beberapa tahun bekerja. Mereka ini menerapkan hukum ekonomi, yakni harus untung karena ketika menjadi CPNS pun mereka menyuap. Setelah menjadi PNS mereka siap menerima suap. Ini berarti patologi birokrasi semakin parah dan korbannya rakyat.

Pelayan Masyarakat
Tingginya animo menjadi PNS menunjukkan bahwa mereka lemah menghadapi tantangan. Menjadi pegawai negeri menjadi pilihan enak karena tidak mungkin terkena PHK, kecuali melakukan kesalahan berat. Bahkan yang korupsi tingkat tinggi pun masih mendapat remisi penahanan dan tidak dimiskinkan.

Akibatnya, birokrasi yang mestinya efisien dan efektif di ujungnya malahan jadi lamban dan kini lebih parah lagi berbau politis. Kelambanan birokrasi tidak hanya pada pelayanan rutin dan ringan, seperti pengurusan surat-surat tapi juga persoalan mendesak seperti pelayanan menghadapi bencana. Ini bisa dilihat dari banyaknya bantuan menumpuk di satu tempat tidak dapat diambil gara-gara ada aturan birokratis.

Sejak Max Weber memperkenalkan konsep birokrasi, para ahli lain setuju bahwa birokrasi merupakan bagian tak terpisahkan dari modernisasi. Studi dari Sjoberg, Brymer, Taube, dan Hunt menunjukkan bahwa organisasi birokrasi sering melalaikan kewajibannya untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat miskin (Effendi,1986).

Cita-cita birokrasi ideal yang dikemukakan Max Weber, ibarat jauh panggang dari api. Kata dia, birokrasi itu idealnya rasional, apolitis, netral, dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Idealnya, orang yang duduk dalam birokrasi antara lain loyal terhadap peraturan bagi kepentingan umum dan siap hidup dari gaji.

Karenanya, momentum membeludaknya pelamar CPNS mestinya dimanfaatkan betul oleh pemerintah untuk menjaring calon pegawai bermutu. Mereka tidak saja harus menjalani tes kecerdasan intelektual, namun yang lebih penting adalah kecerdasan emosional dan spiritual. Dua yang disebut terakhir itu tidak kalah penting. Apa gunanya PNS pintar secara akademis namun mudah menyerah, mudah terprovokasi untuk korupsi, lemah disiplin, dan semena-mena terhadap rakyat yang seharusnya mereka layani. (10)

Dr Ir Saratri Wilonoyudho MSi, anggota Korpri, dosen Unnes
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 29 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan