Birokrasi, Politisi, Akademisi dan Korupsi
Korupsi yang paling besar di Indonesia adalah pada birokrasi. Tapi sampai sekarang belum tersentuh oleh hukum. Dan, masih berjalan dengan leluasa. Bayangkan berapa besar mark-up harga dalam pembelian alat-alat sehari-hari, dari kertas sampai komputer bahkan alat-alat berat, yang terjadi di seluruh Indonesia.
Bayangkan berapa besar uang yang dikeluarkan untuk membayar SPJ (Surat Perintah Jalan) yang padahal tidak dilaksanakan oleh PNS yang bersangkutan, alias perjalanan fiktif. Sudah menjadi kebiasaan kalau ada seorang PNS yang ditugaskan untuk pergi ke suatu daerah kawan-kawannya sekantor menitipkan SPJ-nya, padahal mereka tidak pergi ke mana-mana.
Di tempat tujuan, SPJ itu ditandatangani dan dicapkan seolah-olah PNS yang bersangkutan datang ke situ. Petugas di tempat tujuan tak berani menolak hal yang sudah menjadi kebiasaan dan mungkin dia praktikkan sendiri. Dan SPJ itu pasti dibayar, karena orang yang berkewajiban membayarnya pun melakukan hal yang sama. Kalaupun tidak, dia tidak akan berani melawan kebiasaan yang sudah berlangsung lama secara nasional dan sudah pula direstui atasannya sendiri.
Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk membayar biaya pindah PNS baik di dalam maupun di luar negeri yang di-mark-up. Perusahaan-perusahaan ekspedisi, bahkan juga di luar negeri, tahu bahwa untuk pegawai Indonesia, biayanya harus sedemikian rupa sehingga ada lebihnya untuk disetorkan kepada yang bersangkutan.
Bersatu-padu
Ada seribu satu macam lagi cara korupsi di lingkungan birokrasi yang terus berlangsung, bahkan juga setelah Komisi Pemberantasan Ko- rupsi (KPK) beraksi menangkap anggota-anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Karena sampai sekarang tak ada yang menyentuh korupsi di birokrasi yang merajalela selama puluhan tahun itu.
Tidaklah mudah untuk membuktikannya, karena seluruh jajaran PNS bersatu-padu dalam merampok kekayaan negara. Bukan cerita baru bahwa para penegak hukum yang harusnya membersihkan korupsi juga ikut meminta bagian, bahkan tak mustahil lebih besar, dalam pesta pora menjarah kekayaan bangsa.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang-orang berani menyuap dengan mengeluarkan uang puluhan juta untuk menjadi PNS atau polisi, padahal mereka pun tahu bahwa gaji PNS dan polisi tidak tinggi. Tentu bukan karena mereka tolol, melainkan karena mereka tahu bahwa kalau sudah diangkat menjadi PNS atau polisi, mereka niscaya akan dengan mudah memungut kembali uang yang sudah mereka keluarkan untuk menyuap itu.
Orang mau mengeluarkan uang banyak untuk menjadi anggota DPR, DPRD, bupati atau wakil bupati, karena tahu kalau mereka sudah menduduki jabatan itu, ada seribu satu jalan yang akan dapat digunakan untuk mengembalikan semua uang yang telah dikeluarkan. Bahkan para cukong pun tahu, bahwa dengan mengeluarkan uang menjagokan seseorang calon, mereka bakal mendapat keuntungan berlipat ganda melalui berbagai proyek dan tender kalau si calon itu berhasil menduduki jabatannya.
Bukan artinya tidak ada PNS yang jujur, bukan artinya tak ada penegak hukum yang jujur. Tapi mereka yang jujur itu merupakan kekecualian yang jumlahnya tidak besar. Yang jujur akan nampak dari penampilannya yang sederhana yang rumahnya juga sederhana, yang tidak mempunyai mobil pribadi dan selamanya pergi ke kantor naik kendaraan umum.
Dan, mereka tidak berperan banyak, karena sejak puluhan tahun di Indonesia yang berperan dan menonjol adalah mereka yang dapat memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya dirinya. Orang yang menduduki jabatan basah tetapi tidak menjadi kaya akan disebut bodoh dan tolol.
Yang dianggap pintar adalah mereka yang secara diam-diam atau secara terang-terangan dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari kedudukannya. Alasan klasik bahwa korupsi disebabkan karena gaji PNS tidak cukup, tidak sesuai dengan kenyataan.
Pada kenyataannya, kian tinggi jabatan seseorang kian kaya dia, kian rakus pula dalam melahap kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh jabatannya itu. Pemeo yang berasal dari pujangga Jawa, Ronggowarsito, bahwa dalam zaman edan ini sing ora melu edan ora keduman dijadikan kebenaran yang dianggap mengesahkan perbuatan korupsi.
Lanjutan tulisan pujangga itu yang menyatakan bahwa lebih baik menjadi orang yang eling (sadar) tidak pernah dihiraukan.
Berubah
Anggapan masyarakat tentang korupsi berubah dari waktu ke waktu seirama dengan kian maraknya korupsi. Pada tahun 1950-an, ketika Bung Hatta yang waktu itu menjadi wakil presiden membuat rumah pribadi di Jalan Diponegoro, Jakarta, diributkan dalam pers. Orang mempertanyakan dari mana Bung Hatta memperoleh uang untuk membangun rumah itu. Tuduhan bahwa Bung Hatta melakukan korupsi pun timbul, sehingga akhirnya Bung Hatta terpaksa menyatakan bahwa beliau membuat rumah itu dengan uang yang diterimanya dari negeri Belanda sebagai honorarium buku-bukunya yang dicetak di sana.
Kalau kita sekarang melihat rumah yang dibangun oleh Bung Hatta itu niscaya kita heran, koq wakil presiden membuat rumah sebesar (atau sekecil) itu saja diributkan, karena sekarang wakil bupati pun kalau tidak mampu membuat rumah jauh lebih besar dari itu, akan disebut bodoh, artinya tolol dalam ilmu korupsi.
Mereka yang berasal dari kalangan politisi maupun akademisi yang diangkat menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, akan segera disambut oleh birokrasi untuk mengikuti rambu-rambu yang mereka buat untuk menikmati jabatan itu secara aman.
Birokrasilah yang tahu bagaimana dan dari mana uang dapat dikeluarkan -karena si politikus maupun si akademikus niscaya tidak atau belum mengetahuinya. Dan celakanya, sebagian besar politisi dan akademisi yang masuk dalam birokrasi itu, tidak berdaya untuk menolak tawaran yang empuk dan menyedapkan tersebut. Birokrasi telah membuat skenario begitu rupa, sehingga politikus atau akademikus yang baru menduduki jabatannya itu akan merasa kerasan dan tidak merasa perlu bertanya-tanya, dari mana segala kemudahan dan kemewahan itu berasal.
Selama 30 tahun lebih semasa Soeharto berkuasa, hal itu sudah menjadi sistim yang sukar diubah, karena dianggap sudah seharusnya begitu. Baru pada masa sesudah reformasi ada jaksa di berbagai daerah atas desakan kelompok masyarakat yang mewaspadai korupsi - atau karena merasa tidak ikut kebagian - usil mempersoalkan uang sampingan yang diterima pada anggota DPRD, sehingga banyak yang ditangkap, bahkan di Padang semua anggota DPRD ditangkap - mungkin rekor yang pantas dicatat oleh MURI.
Sekarang para anggota KPU yang berasal dari kalangan akademisi mulai ditangkap dengan tuduhan suap -yang diharapkan akan membukakan korupsi dalam penyelenggaraan KPU. Kalau kita baca bahwa korupsi itu diduga terjadi dalam tender untuk pengadaan berbagai barang keperluan KPU, kita jadi maklum bahwa para akademisi yang duduk di KPU itu terjebak oleh birokrat yang duduk sebagai pelaksana KPU.
Sebagai orang yang tidak berpengalaman dalam tender pengadaan barang dengan segala liku-likunya, niscaya para akademisi itu mempercayakan pelaksanaannya kepada para birokrat yang menjadi bawahannya, tentu saja dengan harapan segalanya akan berlangsung beres, dan si akademisi akan menerima bagian dengan tenteram.
Tanpa adanya jaminan bahwa akan berlangsung tenteram - maklum ditangani oleh mereka yang sudah berpengalaman - niscaya orang seperti Mulyana W Kusumah yang ahli kriminologi dan bekas aktivis LSM, tidak akan membiarkan dirinya terlibat dalam permainan kotor tersebut.
Penangkapan yang dilakukan oleh KPK -yang disebut sebagai jebakan- dianggap menyalahi prosedur bahkan oleh Ketua BPK Dr Anwar Nasution. Padahal niscaya beliau pun tahu bahwa korupsi adalah kejahatan yang sulit dibuktikan, apalagi di negeri yang semua pihak menganggap seakan-akan mereka harus menjarah harta negara karena harta negara dianggapnya sebagai harta ghonimah (hasil rampasan perang).
Mereka yang melakukan korupsi sudah tahu bagaimana menghindarkan diri dari jerat hukum. Saya teringat akan perkataan seorang pejabat sebuah lembaga negara yang dengan bangga mengatakan bahwa saya sekarang sudah menguasai ilmu korupsi. Dan, dia memang sudah kaya raya ketika pensiun dengan tenang.
Karena itu bahkan lembaga internasional seperti PBB pun membenarkan upaya membongkar korupsi dengan melakukan jebakan (dalam Practical Anti Corruption Measures for Prosecutors and Investigators yang dikeluarkan oleh PBB) dan negara seperti Amerika Serikat biasa mempraktekkan jebakan untuk menangkap koruptor dan penyalahguna wewenang jabatan.
Seperti nampak dalam kasus Mulyana, sekarang ketahuan bahwa BPK mempunyai kode etik dalam lingkungannya, sehingga menurut Kepala BPK Anwar Nasution, Khairiansyah yang melaporkan suap yang hendak dilakukan oleh Mulyana (KPU) kepada KPK itu, kampungan! dengan emosi yang di luar takaran.
Di Indonesia memang orang yang berani melaporkan kebobrokan yang terdapat dalam tubuh lembaga pemerintah akan menanggung akibat yang merugikan dirinya sendiri. Bukan rahasia lagi banyak yang kemudian malah dipindahkan ke tempat kering atau dikucilkan, bahkan diberhentikan. Adanya undang-undang yang melindungi pelapor seperti Khairiansyah mutlak diperlukan.(Ajip Rosidi, adalah pensiunan, tinggal di desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah)
Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 9 Mei 2005