Birokrasi; Masalah SDM Ditjen Pajak Serius

Proses peningkatan kualitas sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat dilakukan dengan cepat karena sebagai institusi pemerintah, Ditjen Pajak tidak dapat mengadopsi mekanisme pengembangan sumber daya manusia yang diterapkan perusahaan swasta. Pengembangan kualitas 5.000-6.000 pegawai Ditjen Pajak yang tidak berkinerja sesuai dengan tuntutan modernisasi berlangsung sangat lambat.

”Dari 32.000 pegawai di Ditjen Pajak, ada sekitar 5.000-6.000 orang yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja modern. Namun, Ditjen Pajak tidak seperti di perusahaan swasta yang bisa memberhentikan dengan golden shakehand (pesangon dengan jumlah besar sesuai kesepakatan perusahaan dan pegawai yang diberhentikan),” ungkap Kepala Subdirektorat Manajemen Informasi di Direktorat Transformasi Bisnis Ditjen Pajak Luky Alfirman di Jakarta, Selasa (29/6), saat berbicara dalam seminar reformasi perpajakan bertema ”Membedah Problematika, Kebijakan, dan Mafia Perpajakan di Indonesia”.

Meski banyak keterbatasan dalam mereformasi sumber daya manusia, Luky mengatakan, Ditjen Pajak tetap meneruskan proses reformasi jilid kedua. Salah satu yang sedang diperbaiki adalah aturan sumber daya manusia yang masih menggunakan produk hukum lama tahun 1970-an sehingga tidak lagi sesuai dengan perkembangan saat ini.

Pada saat yang sama, Ditjen Pajak fokus pada perbaikan sistem informasi internal. Sebelum ini, anggaran yang dialokasikan untuk kebutuhan itu mencapai Rp 1 triliun per tahun. Namun, khusus dalam program Reformasi Jilid Kedua, Ditjen Pajak memfokuskan diri pada pengembangan program Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR).

Proyek ini dibangun dengan anggaran 1,2 juta dollar AS dari pinjaman Bank Dunia. Proyek ini baru tuntas tahun 2014. ”PINTAR ini belum dimulai. Kami masih melakukan pengadaan (barang dan perlengkapan). Dengan demikian, kami harap akan mulai dipakai tahun 2014. Anggaran 1,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 1 triliun itu digunakan untuk mendukung proyek untuk penggunaan empat tahun ini. Dengan adanya PINTAR, semua bagian internal akan tergabung dalam satu sistem,” ungkap Luky.

PINTAR adalah salah satu langkah yang disiapkan pemerintah untuk mempertajam pendeteksian terhadap wajib pajak yang tidak jujur melaporkan penghasilan kena pajaknya. Ini perlu karena di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, prinsip pelaporan pajak tetap menggunakan mekanisme self assessment. Wajib pajak diberi kewenangan untuk mencatat dan melaporkan penghasilan kena pajaknya. Mekanisme ini akan menimbulkan permasalahan jika wajib pajak tidak jujur.

”Silakan akui berapa pun pajaknya sebab 100 persen negara di dunia menganut sistem self assessment. Tugas kami di Ditjen Pajak adalah membuat sistem agar wajib pajak dapat melaporkan pajaknya dengan benar. Jadi, kalau ada wajib pajak yang bohong, Ditjen Pajak akan mampu mendeteksinya. Salah satunya adalah dengan melakukan pemeriksaan,” tutur Luky.

Pemerhati pajak dari LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) Tax Watch, Iwan Piliang, mengatakan, Ditjen Pajak sebaiknya mengarahkan fokus perhatian pada potensi hilangnya penerimaan pajak dari perilaku perusahaan multinasional yang melakukan transfer pricing. Indikasi transfer pricing yang dilakukan tahun 2009 mencapai Rp 1.300 triliun. Ini dilakukan, antara lain, dengan menjual barang ke suatu negara dengan harga rendah, kemudian dijual ke pembeli akhir dengan harga jauh lebih tinggi.

”Sekitar 60 persen transaksi perdagangan Indonesia setiap tahunnya terindikasi transfer pricing. Jika ini dapat dicegah, seharusnya penerimaan pajak bisa mencapai Rp 1.000 triliun, bukan hanya Rp 600 triliun seperti sekarang ini,” ungkapnya.

Pengaduan
Ketua Komisi Pengawas Perpajakan (KPP) Anwar Suprijadi menyebutkan, hingga saat ini KPP sudah menerima sekitar 300 pengaduan dari masyarakat terkait kinerja aparat Ditjen Pajak. Sebagian besar pengaduan soal dugaan penyalahgunaan sarana dan kewenangan pemerintahan oleh petugas pajak.

”Oleh karena itu, kami lebih menekankan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia di Ditjen Pajak, bukan pada jumlah aparat pajak yang besar. Dengan mendasarkan pada kualitas, efektivitas kerja Ditjen Pajak bisa lebih terjamin,” ungkapnya.

Saat ini KPP bekerja dengan lima anggotanya, tanpa didukung sekretariat jenderal tersendiri sehingga dukungan kerjanya masih menempel dengan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. KPP setidaknya membutuhkan tambahan tenaga pendukung sekitar 40 orang. (OIN)
Sumber: Kompas, 30 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan