BIN Masuk BUMN karena UU Molor

Hilir mudiknya aparat intelijen di badan usaha milik negara (BUMN) karena tidak adanya peraturan yang jelas. Hingga kini, Undang-Undang Intelijen belum ada. Badan Intelijen Negara (BIN) didesak untuk segera merampungkan draf dan menyetorkan untuk dibahas di Senayan.

Tanpa draf resmi dari pemerintah belum bisa dibahas, ujar anggota Komisi 1 (bidang intelijen dan hubungan luar negeri) DPR Bagus Suryama di Jakarta kemarin (20/01). Pembahasan RUU Intelijen itu molor hampir tiga tahun. Sejak diusulkan pada 2005, draf pemerintah selalu direvisi.

Draf yang pernah ditawarkan pemerintah pada 2006 memicu perdebatan. Misalnya, soal usul intelijen diberi kewenangan untuk menangkap. Yang jelas, DPR siap membahas karena RUU ini menjadi prioritas legislasi nasional tahun ini, katanya.

Peneliti CSIS Eddy Prasetyono menilai, intelijen negara harus diubah dari watak yang tertutup, represif, dan melayani kepentingan rezim diganti menjadi lebih terbuka dan akuntabel. Alasan demi keamanan negara bukanlah legitimasi untuk bisa melakukan apa saja.

Kegagalan kerja intelijen tidak bisa ditutupi dengan pemberian kewenangan yang bukan semestinya. Bahkan, seorang intel seharusnya dimungkinkan untuk menolak tugas dari atasannya jika tugas tersebut bertendensi meniadakan hak-hak dasar tersebut dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Kegagalan dalam kerja intelijen tidak bisa dijembatani atau dipenuhi dengan pemberian kewenangan yang berlebih. Logika ini, misalnya, bisa kita analogikan dengan ketidakharmonisan antara pemerintah dan DPR yang solusinya bukan memberikan kewenangan lebih kepada presiden untuk bisa mengesampingkan peran DPR, ujarnya.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli dalam sidang lanjutan kasus Munir di PN Jakarta Pusat Jumat lalu (18/01) mengatakan, BUMN telah disusupi aparat intelijen. Birokrat maupun direktur di BUMN tak kuasa menolak. Sebab, kata Rizal, bisa repot.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Strategi Indonesia (Lespersi) Rizal Darmaputra mengatakan, salah satu kelemahan utama intelijen Indonesia pada masa lalu hingga kini adalah tidak adanya mekanisme pengawasan yang mampu mengontrol sekaligus meminta pertanggungjawaban setiap aktivitas intelijen.

Padahal, dalam sistem demokrasi, pengawasan adalah sesuatu yang mutlak harus ada. Secara kelembagaan harus ada aturan main yang jelas dan mengikat komunitas intelijen. Pengawasan juga bisa difokuskan terhadap kegiatan, kewenangan, dan perilaku anggota intelijen, katanya.

Siapa saja yang bisa mengawasi para mata-mata itu? Rizal mengusulkan pengawasan secara berlapis. Pertama, lembaga atau dinas intelijen itu sendiri. Pimpinan lembaga dan dinas-dinas intelijen melakukan pengawasan melekat terhadap pelaksanaan fungsi dan kegiatan intelijen di lingkungan internal masing-masing. Hal itu dapat dilakukan, misalnya, dengan penetapan dan penegakan kode etik dan standar prosedur operasional intelijen.

Kedua, lembaga eksekutif, yaitu presiden dengan turunannya adalah menteri atau kepala lembaga intelijen. Pengawasan pada level ini, antara lain, dilakukan dengan melalui penetapan kebijakan keamanan nasional yang harus dilakukan lembaga intelijen dan pengaturan alokasi anggaran, katanya.

Pengawasan ketiga oleh lembaga legislatif atau DPR. Dengan asumsi telah ada undang-undang mengenai intelijen, DPR berwenang mengawasi seberapa jauh lembaga intelijen melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya. Melalui hak bujet, DPR juga dapat mengawasi melalui pengaturan dan anggaran intelijen. DPR juga perlu membentuk subkomisi khusus yang bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan intelijen. Tapi, itu kalau sudah ada undang-undangnya, katanya pesimistis. (rdl/kim)

Sumber: Jawa Pos, 21 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan