Billy Joedono: 'Laporan Keuangan BI tidak Dapat Dipercaya'

Adayang menarik ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dipimpin oleh Satrio Budiharjo Joedono. BPK mampu menemukan adanya rekening 'siluman', yang dalam masa Orde Baru tidak pernah muncul. Rekening itu ditemukan saat BPK melakukan audit sejumlah transaksi pemerintah. Prestasi lain adalah ketika BPK menyatakan disclaimer dalam kasus Bank Indonesia. Tetapi sayangnya, pada saat yang sama penegak hukum tidak menindaklanjuti temuan tersebut.

Selama ini hasil pemeriksaan sementara (Hapsem) dan laporan-laporan audit BPK belum secara maksimal ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga di pemerintahan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang langsung menerima laporan BPK, juga belum optimal menggunakan laporan tersebut untuk mengontrol dan memprosesnya sesuai dengan fungsi masing-masing. Akibatnya, apa yang dilakukan BPK seolah-olah tak berguna.

Lambannya kerja instansi-instansi tersebut mengakibatkan perjuangan melawan korupsi di lingkungan pemerintahan masih sangat panjang, meskipun sekarang ini berada di era reformasi.

Kini masa tugas Billy --sapaan akrab Satrio Budiharjo Joedono -- dan anggotanya hampir berakhir. Namun, masih banyak pekerjaan yang belum dituntaskan. Sejumlah calon ketua dan anggota baru BPK telah selesai menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Dewan.

Saat fit and proper test, sebagian besar dari mereka menjanjikan BPK mampu menjadi ujung tombak dalam penerapan good government (tata kelola pemerintahan yang baik) dan good governance (menjalankan perusahaan dengan baik). Apakah itu mengindikasikan bahwa kerja BPK tidak maksimal. Berikut petikan wawancara wartawan Media Indonesia Sidik Sukandar dengan Ketua BPK Satrio Budiharjo Joedono, di kantornya.

Apa yang sudah Anda lakukan selama memimpin BPK?

Kita telah melakukan peningkatan transparansi, antara lain dengan pertemuan dengan pers, penerbitan siaran pers di webside, dan peningkatan transparansi melalui banyak hal. Kemudian yang utama adalah pelaporan kepada DPR secara terbuka dan teratur. Itu yang menjadi tugas BPK. Yang kita usahakan adalah menjadikan BPK sekarang ini, sejajar dengan BPK-BPK di luar negeri lainnya. Karena itu, kita tidak berniat untuk melakukan fungsi-fungsi di luar itu.

Kami hanya melakukan fungsi-fungsi yang lazim dilakukan oleh BPK. Kita tidak berniat menjadi polisi, jaksa, dan tidak berniat menjadi hakim. Tugas auditor ekstern adalah membuat laporan yang seprofesional mungkin dan melaporkan hasil pemeriksaannya kepada yang berhak menerima laporan itu. Menurut undang-undang yang berlaku sekarang, yang berhak menerima laporan itu adalah DPR dan pemerintah tentunya. DPR kemudian mengumumkan kepada publik. Sejak kita memimpin BPK, transparansi dan ketepatan pemeriksaan dan pelaporan sudah meningkat.

BPK tampaknya juga semakin populer di mata masyarakat?

Sekarang perkataan audit itu sangat populer. Sementara lima tahun yang lalu banyak orang yang tidak tahu. Sekarang kalau terjadi apa-apa, orang kemudian minta diaudit. Ini berarti publik lebih tahu mengenai penyimpangan, publik lebih tahu mengenai kemungkinan korupsi. Dan itulah batas yang dapat dilakukan oleh sebuah instansi pemeriksa ekstern.

Selain itu?

Kami juga terus-menerus melakukan pembenahan ke dalam. Berusaha supaya pemeriksaan profesional, objektif, dan auditornya jujur. Kami berharap proses itu seyogianya berlangsung terus, siapa pun nanti yang akan menjadi pimpinan di BPK ini. Tetapi, pada akhirnya yang bisa memberantas atau mengurangi penyimpangan adalah pihak yang diperiksa. Dan itu tidak mustahil. Sebagai bukti Bank Indonesia. Tahun 1999, kita memeriksa laporan penutup BI. Pemeriksaan itu mulai dari neraca awal. Kami juga menolak memberikan pendapat (diclaimer). Dengan demikian, kita ingin menyatakan kepada publik dan DPR bahwa angka-angka laporan keuangan BI tidak bisa dipercaya. Dan itu melahirkan suatu kewajiban bagi BI untuk memperbaiki diri, untuk mengurangi penyimpangan yang kita temukan tahun demi tahun. Dan ternyata BI berusaha untuk melakukan itu dan pada tahun ini tata buku BI sudah rapi, angka-angka bisa dipercaya, dan disusun menurut kaidah tata buku yang benar, walaupun masih ada sedikit catatan. Ini artinya pengendalian manajemen dan pengelolaan manajemen BI semakin baik.

Lalu bagaimana dengan pemeriksaan di instansi pemerintah?

Memang berbeda, di mana di instansi pemerintah setiap tahunnya masih ditemukan penyimpangan dengan rata-rata besarnya sama, dan setiap tahun terulang.

Belakangan ini muncul wacana merger antara BPK dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), penilaian Anda?

Dalam perspektif yang normal, setiap organisasi apakah itu perusahaan, kantor pemerintah, atau organisasi nonlembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki dua auditor. Satu intern auditor yang menjaga pengelolaan baik good governance (menjalankan perusahaan dengan baik) di dalam perusahaan atau organisasi itu. Dan untuk itu melapor kepada pimpinan perusahaan atau pimpinan lembaga.

Di samping itu, ada pemeriksaan oleh auditor eksternal, yaitu pemeriksa yang tidak tunduk kepada pimpinan. Nah, prinsip atau kebiasaan yang berlaku adalah bahwa setiap organisasi yaitu pemerintah, perusahaan, atau yayasan memiliki satu pemeriksa intern dan satu pemeriksa ekstern.

Mengapa begitu?

Karena kalau lebih dari satu pemeriksa intern, pimpinan mendapatkan laporan lebih dari satu pihak, bisa bingung. Karena laporannya bisa lain-lain. Demikian juga untuk pemeriksa ekstern, kalau lebih dari satu, mereka bisa saling tumpang tindih, dan laporannya bisa lain-lain. Jadi sebaiknya, setiap organisasi pemerintah hanya memiliki satu pemeriksa intern. Misalnya, untuk pemerintah daerah ditangani oleh Bawasda, untuk departemen diperiksa oleh inspektur jenderal, dan satu pemeriksa ekstern.

Siapa pemeriksa ekstern itu?

Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD), baik yang asli maupun yang diamendemen didirikan satu pemeriksa ekstern buat pemerintah yaitu BPK. Jadi bagi kita, ya cukup satu itu saja. Karena sudah dibentuk oleh UUD. Memang dalam sejarah, sewaktu Presiden pertama Soekarno dan Presiden kedua Pak Soeharto, adanya pemeriksa ekstern yang di luar pemerintah itu dirasakan mengganggu sekali. Karena itu, Presiden Soekarno memasukkan BPK ke dalam pemerintah supaya bisa diatur. Dengan demikian, objektivitasnya hilang.

Sedangkan di bawah Soeharto resminya ada BPK, tetapi beliau membentuk pemeriksa ekstern kedua yang langsung bisa dikendalikan, sehingga sejak itu laporan-laporan mengenai departemen bisa berbeda antara laporan BPK dan laporan BPKP.

Sekarang pertanyaannya adalah apakah kita ingin menegakan UUD atau tidak? Bila kita ingin menegakkan UUD, hanya ada satu yaitu pemeriksa ekstern yaitu BPK. Di samping satu-satunya, BPK diperintahkan untuk bebas dan mandiri. BPKP tidak bisa bebas dan mandiri dari pemerintah, sedangkan BPK bisa karena dibentuk di luar pemerintah. Sekarang tinggal terserah, kita mau menegakkan UUD atau tidak. Kalau kita ingin menegakkan UUD, ya hanya ada satu pemeriksa atau auditor ekstern. Jadi, kalau kita ingin menegakkan UUD baik yang asli maupun yang diamendemen, Republik ini hanya boleh memiliki satu pemeriksa ekstern mengenai keuangan negara yaitu BPK. Dan ini di luar pemerintah, sehingga bebas dan mandiri. Tugas pemeriksa ekstern adalah memeriksa secara objektif, profesional, dan menjadikan keuangan negara transparan, melalui laporannya kepada DPR.

Ada yang mengusulkan agar temuan BPK langsung diserahkan ke pengadilan dan dipublikasikan?

Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945 dan UU No 5 Tahun 1973, BPK tak berwenang mengumumkan secara langsung hasil temuannya kepada masyarakat. Laporan BPK hanya diserahkan kepada DPR, sedangkan kalau ada unsur pidananya, laporan tersebut baru diserahkan kepada Kejagung. Bahkan, pada era pemerintahan mantan Presiden Soeharto, apa yang ingin disampaikan dalam Hapsem BPK, harus lebih dulu dimintakan petunjuk presiden. Padahal, BPK adalah lembaga tinggi negara, yang bukan bagian dari eksekutif. Meski sekarang ini zaman reformasi, tetapi perubahan secara radikal ternyata tidak terjadi begitu saja.

Tetapi, kita sedang usahakan begitu laporan disampaikan ke DPR, maka laporan BPK menjadi laporan publik. Apabila BPK diberi kewenangan untuk memublikasi hasil pemeriksaannya langsung kepada publik, hal ini diharapkan dapat mendorong bukan hanya kepada institusi yang akan menindaklanjutinya saja, tetapi juga terhadap lembaga-lembaga pemerintahan lainnya yang ditemukannya penyimpangan.

Apakah laporan BPKP juga dilaporkan ke publik?

Mana ada laporan BPKP dipublikasikan kepada publik. Jadi tidak ada transparansi, kemandirian juga tidak ada. Karena itu sekarang tinggal memilih, mau yang sesuai dengan UUD atau yang diwariskan oleh sistem-sistem yang tidak percaya kepada demokrasi.

Ada tudingan bahwa laporan hasil audit BPK mengandung motif-motif tertentu dibaliknya?

Selama ini laporan BPK hanya berdasarkan pada hasil-hasil temuan dan bukan sesuatu yang dicari-cari. Laporan-laporan BPK seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai undang-undang.

Ada kesan BPK tidak serius menangani adanya dugaan penyimpangan-penyimpangan anggaran di tingkat daerah?

Itu tidak betul. Kami cukup serius untuk menangani dugaan penyimpangan di daerah. Di samping kita merencanakan pemeriksaan tahunan, kita juga menampung masukan-masukan dari LSM. Saat ini kami sedang memeriksa kasus di Jember dan Bojonegero, Jawa Timur.

Tampaknya BPK masih memerlukan sentuhan lebih lama lagi dari Anda?

Saya mendapat surat dari salah satu fraksi di DPR. Fraksi itu menanyakan, mau enggak dicalonkan sebagai anggota BPK. Lalu, saya pikir. Saya sudah lima tahun menjadi ketua kemudian ada tawaran menjadi anggota, ini kan turun. Kemudian saya tidak menjawab tawaran tersebut. Itu yang terjadi. Jadi menurut saya, tawaran itu kurang pas. Masak dari ketua kemudian menjadi anggota. Kalau tawaran itu sebagai ketua, saya pasti mau menerimanya.

Jadi kalau ditawari sebagai ketua lagi Anda mau?

Saya bersedia. Tetapi, tawarannya hanya anggota. Jadi sulit untuk menjawabnya. Karena itu saya tidak menjawab.

Kabarnya Anda tidak mau mengisi formulir pencalonan?

Itu benar juga.

Kenapa enggak mengisi?

Karena yang ditawarkan hanya sebagai anggota. Ya gimana, ya masak sudah lima tahun menjadi ketua, lalu ditawari menjadi anggota.

Lalu apa rencana Anda setelah tidak menjabat sebagai ketua BPK lagi?

Kita akan kembali ke fakultas (mengajar).

Selain di kampus, apa lagi?

Saya pikir dalam keadaan sekarang di mana banyak yang kacau, pasti ada orang yang mencari orang jujur. Jadi barang kali nanti akan ada orang yang menawari saya lagi.

----------
Biodata
Nama : Satrio Budihardjo Joedono
Tempat/tanggal lahir : Pangkalpinang, Bangka 1 Desember 1940.
Karier : Memulai karier di Pemerintahan sebagai asisten dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1964, dan setelah meraih gelar doktor administrasi publik dari Universitas New York. Ia diangkat menjadi Menteri Perdagangan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dari tahun 1993-1995.
Jabatan terakhir : Pada 8 Oktober 1998 dilantik sebagai Ketua BPK sampai sekarang

Tulisan ini merupakan wawancara Media Indonesia yang dimuat tanggal 25 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan