Bibit Samad Riyanto di Mata Keluarga dan Teman-Teman Semasa Muda

Anak Penjahit, Pernah Jualan Singkong Rebus

Bukti rekaman KPK yang diperdengarkan di MK kemarin semakin meyakinkan keluarga dan teman-teman Bibit Samad Riyanto di Kediri bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Apalagi, sejak kecil dia memang dikenal bersahaja.

MOHAMMAD SYIFA, Kediri

SEBUAH rumah bercat biru di Jalan Suparjan, Kota Kediri, sore kemarin tampak sepi. Tidak ada aktivitas di rumah itu. Dari segi ukuran, rumah berpagar besi berwarna biru itu juga tidak terlalu besar. Hanya, di samping kanan rumah itu terdapat musala yang diberi nama As-Shomad.

Di rumah itulah Bibit Samad Riyanto lahir dan dibesarkan. Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif itu memang menghabiskan masa kecil di Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. ''Tapi, rumah yang lama sudah direnovasi. Sekarang ini bangunan baru,'' ujar Suparno, 67, sepupu Bibit yang kini menempati rumah itu. Dia adalah anak paman Bibit.

Ketika Radar Kediri (Jawa Pos Group) berkunjung kemarin sore, Suparno sedang nonton televisi yang menyiarkan langsung sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang itu memperdengarkan rekaman KPK.

Mata Suparno tak pernah lepas dari layar. Telinganya juga menyimak dalam-dalam. ''Saya yakin, Pak Bibit pasti bebas. Tinggal menunggu saja,'' kata Suparno yang menilai kasus itu penuh rekayasa begitu mendengarkan rekaman tersebut.

Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Sejak kecil, dia sudah mengenal kepribadian Bibit. Apalagi, orang tuanya dan orang tua Bibit tinggal satu kelurahan. Mereka sering bermain bersama.

Satu hal yang paling diingat Suparno tentang sepupunya itu adalah ketekunan dan kecerdasannya. Bibit bukan tipe anak pemalas. Setiap hari membantu orang tua bekerja. ''Pak Bibit itu tidak pernah malu membantu orang tuanya," kata Suparno, yang sejak kasus ''buaya-cicak'' mencuat sesekali masih dihubungi Bibit via telepon.

Bibit merupakan anak pertama di antara enam bersaudara. Orang tuanya, Samad (ayah) dan Tukul (ibu), berprofesi sebagai penjahit di Pasar Bandar, Kota Kediri. Jarak pasar itu dengan rumahnya sekitar tiga kilometer. Suparno masih sangat ingat, Bibit selalu bangun sekitar pukul 04.00 dan membantu orang tuanya mendorong gerobak berisi mesin jahit ke pasar.

Setelah sampai di pasar dan menata mesin jahit orang tuanya, Bibit kembali ke rumah melalui jalur yang sama. Berarti setiap hari dia harus berjalan kaki sekitar enam kilometer. Hal itu dilakukan Bibit sejak duduk di bangku SD hingga SMA. Selesai membantu orang tuanya, Bibit baru berangkat ke sekolah.

Rutinitas itu tidak hanya dilakukan sebelum berangkat sekolah. Sepulang sekolah, sekitar pukul 13.00, Bibit menyusul orang tuanya ke pasar untuk membantu. Bibit dan orang tuanya baru pulang dari pasar sekitar pukul 14.00.

Suparno mengatakan, keluarga Bibit bukan dari kalangan mampu. Bahkan, dari hasil menjahit, orang tuanya belum cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk itulah, semasa SD setiap sore Bibit berjualan singkong rebus di perempatan lampu merah yang tidak jauh dari rumahnya. ''Biasanya hingga menjelang magrib,'' kenang Suparno.

Bahkan, saat Minggu, Bibit juga membantu orang tuanya memasak. Suparno masih ingat, menu yang sering dimasak Bibit adalah sayur lodeh pepaya. Mulai meracik bumbu hingga matang, Bibit yang mengerjakan.

Selain tekun, dia juga dikenal sebagai anak yang pintar. Sejak SD hingga SMA, Bibit sering meraih peringkat pertama di kelasnya. Meski harus membantu orang tua, Bibit tidak pernah lupa belajar. Dia selalu berjalan kaki saat berangkat ke sekolah. Padahal, jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh. Saat duduk di bangku SMP, jaraknya sekitar lima kilometer.

Namun, ada hal yang tidak pernah dilupakan Suparno bersama sepupunya itu. Saat duduk di bangku SD, Suparno sering mengajak Bibit mencari singkong dan jagung di kebun belakang rumahnya. ''Kami bermain hanya itu. Belum ada permainan seperti sekarang,'' tandasnya.

Ketika duduk di kelas tiga SMA, Bibit mulai nyambi kerja. Dia bekerja kepada bibinya yang kebetulan memiliki usaha tenun sarung. Dari situlah Bibit mulai bisa menabung dan meringankan beban orang tuanya. Dari tabungan itu pula Bibit masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Dia ingin masuk angkatan laut.

Maklum, Bibit sangat ingin menjadi tentara. Dua kali ikut tes Akabri Laut, namun gagal. Hingga akhirnya, Bibit memutuskan ikut tes di Akabri Kepolisian dan lolos.

Perjalanan karir Bibit tergolong mulus. Dia pernah menjabat Kapolda Kalimantan Timur dan sempat menjadi calon Kapolri ketika pemerintahan Presiden Gus Dur.

Bibit juga dikenal perhatian kepada keluarga dan sudara-saudara. Saat menjadi Kapolda Kalimantan Timur, Bibit pernah berkata kepada keluarganya, jika ada yang kesulitan biaya sekolah, dia sangup menyekolahkan hingga perguruan tinggi. Bibit ingin semua keluarganya memiliki pendidikan yang baik.

Kegigihan Bibit juga dibaca Mochlas Prawoto, 87, salah seorang guru Bibit di SMAN 2 Kediri. Pria sepuh itu mengatakan, di kelas Bibit terkenal aktif bertanya. Hal itulah yang hingga kini terus diingatnya. ''Pokoknya, anaknya selalu ingin bertanya dan aktif. Di antara teman-temannya, dia juga terlihat menonjol,'' ujar guru yang mengajar mata pelajaran kebangsaan itu.

Mochlas Prawoto juga ingat, semasa sekolah Bibit sudah muncul sifat kepemimpinannya. Bibit sering mengorganisasi teman-teman saat ada kegiatan. Kendati demikian, nilai Bibit tidak pernah jeblok.

Mengetahui mantan muridnya yang kini terkena masalah, Prawoto hanya berharap agar Bibit diberikan kesabaran. Dia yakin, muridnya itu adalah anak yang baik dan tidak mungkin bersalah. Saat Bibit masih aktif menjadi anggota polisi di Jakarta, Prawoto sempat diajak berkunjung ke rumahnya. ''Saya melihat rumahnya juga sederhana. Tidak tampak kemewahan,'' kenang Prawoto.

Sedangkan bagi Sari Karsono, 63, adik kelas Bibit, meskipun sudah menjadi orang besar, Bibit selalu ingat dengan teman-teman semasa SMA. Bibit selalu mengajak berkumpul teman-teman SMA yang masih ada di Kediri. Bukan hanya seangkatan, melainkan juga adik kelas dan kakak kelas. ''Kalau berkumpul, paling cuma makan-makan. Sebab, Mas Bibit tidak pernah lama di Kediri,'' kenang Sari.

Bibit kemarin genap berusia 64 tahun. Pada hari bahagia tersebut, dia tidak bisa merayakan bersama orang-orang tercinta di rumah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi, perayaan ulang tahun itu dilakukan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, tempat dia ditahan. Sang istri, Sugiharti, dan anak-anaknya datang dengan membawa makanan kesukaan Bibit. (*/nw)

Sumber: Jawa Pos, 4 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan