Bibit dan Chandra ke Luar Tahanan

Wajah Penegakan Hukum Indonesia Tercoreng

Dua unsur pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, akhirnya dikeluarkan dari tahanan setelah polisi menangguhkan penahanan mereka, Selasa (3/11) malam. Ini merupakan puncak ”drama” perseteruan antara kepolisian dan KPK.

Sejumlah pihak meyakini langkah itu diambil setelah Mahkamah Konstitusi siang harinya membuka rekaman sepanjang 4,5 jam yang diduga berisi rekayasa perkara Bibit-Chandra.

Saat keluar dari Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Rabu pukul 00.10, Bibit dan Chandra tersenyum kepada puluhan wartawan yang mengerubungi mereka. Keduanya langsung dibawa masuk ke dua mobil Kijang hitam. Chandra hanya sempat mengucapkan ” terima kasih atas dukungan semua pihak” dan melambaikan tangan.

Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna, penangguhan diberikan demi kepentingan lebih besar, tetapi proses hukum tetap dilanjutkan. ”Diharapkan tercipta rasa aman dan nyaman bagi masyarakat,” ujar Nanan dalam jumpa pers di Mabes Polri.

Pimpinan dan anggota Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit dan Chandra, Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan, semalam juga datang ke Bareskrim Polri untuk memastikan proses penangguhan itu. ”Kapolri sudah memberikan kepastian. Suratnya diproses malam ini juga agar Pak Bibit dan Pak Chandra malam ini sudah bisa pulang ke rumahnya,” tutur Todung Mulya Lubis, salah seorang anggota tim.

Saat ditanya mengapa baru sekarang Polri akan memberikan penangguhan penahanan, padahal KPK sejak Jumat lalu sudah mengajukan penangguhan, Nanan mengatakan, tim pengacara Bibit dan Chandra baru mengajukan penangguhan penahanan Selasa malam.

Nanan juga menolak anggapan penangguhan penahanan itu karena kondisi pascadiperdengarkannya rekaman pembicaraan antara Anggodo Widjojo dan pejabat Polri dan Kejaksaan Agung yang diputar di Mahkamah Konstitusi. ”Bukan karena tekanan, permintaan, atau karena hal lain. Ini demi kepentingan lebih besar,” kata Nanan.

Tercoreng
Kuasa hukum Bibit dan Chandra, Bambang Widjojanto, mengatakan, wajah penegakan hukum Indonesia tercoreng dengan diperdengarkannya rekaman percakapan Anggodo. Rekaman ini juga menunjukkan kuatnya mafia penegakan hukum sehingga bisa mengatur jalannya proses hukum.

Menurut Bambang, rekaman itu menunjukkan ada rekayasa sistematis dalam kasus penyidikan hingga penahanan kliennya. Tak hanya itu, rekayasa itu juga ditujukan untuk melemahkan KPK. ”Luar biasa seorang seperti Anggodo bisa memengaruhi proses penyidikan hingga penahanan terhadap pimpinan KPK,” katanya.

Sejumlah nama pejabat hukum di Mabes Polri dan Kejagung yang disebut-sebut dalam rekaman menunjukkan keterlibatan masing-masing dalam kasus ini. Dari lingkaran kejaksaan, yang banyak disebut adalah mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga yang kala itu menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Umum, dan jaksa Irwan Nasution. Rekaman itu mengungkapkan Anggodo berulang kali berhubungan langsung dengan Wisnu.

Sementara nama-nama dari pihak kepolisian yang disebut-sebut adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dan sejumlah nama penyidik, yaitu Benny, Parman, Gupu, dan Dikdik.

Anggodo juga berkali-kali berhubungan dengan Kosasih, pengacaranya, dan Bonaran Situmeang, pengacara Anggoro Widjojo, abangnya. Sementara itu, terdapat pula seseorang bernama Ketut dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ketut dimintai Anggodo seputar perlindungan saksi Ary Muladi dan Edi Soemarsono. Dalam rekaman itu Presiden juga disebut-sebut sudah mendukung.

Sebelum rekaman diperdengarkan, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjelaskan dasar-dasar hukum Mahkamah Konstitusi memutuskan pemutaran rekaman pembicaraan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Mahkamah Konstitusi mengacu kepada ketentuan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 40 UU Mahkamah Konstitusi terkait sifat sidang pengadilan yang terbuka.

”Satu alasan lagi mengapa diperdengarkan untuk umum adalah karena bagi Mahkamah Konstitusi, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia lebih tinggi dari segalanya,” ujarnya.

Didesak mundur
Desakan agar Kapolri dan Jaksa Agung mundur kemarin muncul, antara lain, dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia Teten Masduki, dan Bambang Widjojanto secara terpisah. ”Sadarlah bahwa Anda sebagai pemimpin telah gagal. Silakan mundur. Itu lebih terhormat daripada dimundurkan,” kata Bambang.

Din Syamsuddin mengimbau Presiden untuk berpihak kepada KPK. Langkah itu diperlukan mengingat bobroknya penegakan hukum di Indonesia. ”Isi rekaman itu membuktikan bobroknya penegakan hukum. Bukti masih kuatnya mafia hukum dan peradilan di Indonesia,” katanya.

Selain itu, isi rekaman tersebut juga menguatkan dugaan kriminalisasi terhadap KPK, khususnya Bibit-Chandra. Oleh karena itu, sudah sepantasnya polisi membebaskan kedua unsur pimpinan (nonaktif) KPK itu dari segala tuduhan.

Pengamat ekonomi Dradjad Wibowo mengatakan, tim independen yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada gunanya lagi. Presiden harus segera membersihkan Polri dan Kejagung dari oknum-oknum yang menyimpang.

Presiden juga diminta membatalkan penunjukan pelaksana tugas pimpinan KPK dan segera mengembalikan Bibit dan Chandra sebagai pimpinan KPK.

Jaksa Agung siap
Jaksa Agung Hendarman Supandji yang dicegat wartawan saat akan meninggalkan Kejagung, Selasa sore, menyatakan, ia melihat tim independen akan memanggil Wisnu Subroto dan Ritonga, serta akan memeriksa berkas perkara yang saat ini ada di Kejagung. ”Pada prinsipnya kami siap,” katanya.

Sebelumnya, Wisnu sudah dimintai klarifikasi oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan Hamzah Tadja, sedangkan Ritonga sudah diklarifikasi Hendarman. Oleh karena itu, Hendarman meminta agar kasus tersebut dipandang secara adil.

Ditanya apakah Ritonga akan dinonaktifkan untuk memudahkan klarifikasi, Hendarman menjawab, ”Belum perlu.”

Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal mengungkapkan, Presiden merasa terganggu dengan maraknya penggunaan istilah cicak versus buaya. ”Beliau mau semua lembaga negara saling menjaga wibawa,” katanya. (AIK/ANA/SF/NTA/HAR/IDR/DAY/WIN/TRI)

Sumber: Jawa Pos, 4 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan