Biaya Pungli Diperkirakan Mencapai Rp 3 Triliun Per Tahun [29/07/04]

Biaya pungutan liar yang harus dibayar pengusaha yang bergerak di sektor industri manufaktur berorientasi ekspor diperkirakan mencapai lebih dari tiga triliun rupiah per tahun. Pungli itu meliputi uang atau barang yang perlu dikeluarkan pengusaha untuk preman, oknum birokrasi pemerintah, dan oknum aparat di lapangan.

Hal itu terungkap dalam ringkasan hasil studi dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) yang dipublikasikan dalam seminar di Jakarta, Selasa (27/7). Studi itu didasarkan pada survei terhadap 100 perusahaan dari Jawa, Sumatera, dan Bali.

Dalam studi itu disebutkan, pelaku usaha mengungkapkan pendapat yang berbeda-beda mengenai pungutan liar (pungli). Namun, diperkirakan, biaya pungli itu bisa mencapai 7,5 persen dari biaya ekspor.

Diasumsikan, nilai ekspor produk manufaktur sebesar Rp 4 juta per peti kemas, biaya pungli itu sendiri mencapai Rp 300.000 per peti kemas. Jika Indonesia mengekspor produk hingga mencapai 10 juta peti kemas per tahun, maka biaya pungli mencapai Rp 3 triliun.

Ketua Tim Studi Mudrajad Kuncoro mencontohkan, di Jawa Timur dalam pengurusan dokumen ekspor dan impor di pelabuhan sudah diterapkan sistem pertukaran data elektronik (electronic data interchange/EDI). Akan tetapi, pengurusan sistem EDI itu disubkontrakkan kepada suatu perusahaan jasa swasta lainnya di pelabuhan. Untuk mempercepat pengurusan dokumen ekspor dan impor dengan sistem EDI pun akhirnya pengurus dokumen harus membayar pungli. Pungli yang perlu dibayar sebesar Rp 2.000 per dokumen.

Mudrajad menambahkan, dari segi lokasi, responden mengungkapkan bahwa pungli banyak terjadi di jalan dan pelabuhan. Jumlah responden yang mengatakan pungli yang terjadi di jalan sebanyak 48 persen dan pungli yang terjadi di pelabuhan sebanyak 35 persen.

Sementara itu, lanjut Mudrajad, dari hasil survei tersebut terungkap bahwa oknum yang paling banyak menerima pungli adalah oknum polisi serta Bea dan Cukai (BC). Responden yang menjawab bahwa penerima pungli adalah oknum polisi mencapai 24 persen dan oknum BC sebanyak 21 persen.

Mengenai oknum yang paling banyak menerima pungli tersebut, ada juga responden yang enggan menjawab atau takut menjawab, yaitu sebanyak 41 persen. Ironisnya, dari hasil studi itu, aparat pemda tidak diklasifikasikan sebagai institusi yang banyak menerima pungli. Responden yang mengungkapkan bahwa penerima biaya tambahan yang dikeluarkan pengusaha adalah pemda hanya tiga persen.

Menarik investasi
Sementara itu, Kepala Pusat Pengembangan Pasar Wilayah Asia Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Harmen Sembiring mengatakan, berbeda dengan pemda-pemda di Indonesia, pemerintah negara bagian di Amerika Serikat cenderung membuat kebijakan yang dapat menarik investasi. Untuk itu, pemda-pemda seharusnya membuat kebijakan yang mampu menarik investasi dan bukan kebijakan yang justru membebani pengusaha.

Sembiring menambahkan, meskipun ada hambatan ekspor seperti biaya ekonomi tinggi, kinerja ekspor Indonesia tetap meningkat. Nilai ekspor nonmigas tahun 2003 sebesar 47,39 miliar dollar AS, tahun 2002 sebesar 45,04 miliar dollar AS, dan tahun 2001 sebesar 43,68 miliar dollar AS.

Sembiring mengingatkan, pelaku usaha harus tetap berupaya keras menerobos potensi pasar ekspor di dunia. Bahkan, potensi pasar ekspor dengan jumlah penduduk yang besar di China pun harus tetap dimanfaatkan. Pengusaha perlu bekerja sama dengan pengusaha China, katanya.

Mudrajad menjelaskan, dari enam bidang usaha, industri manufaktur di Indonesia juga dihadapi dengan komponen biaya yang cukup banyak. Misalnya, komponen biaya bahan baku, tenaga kerja, transportasi, listrik, bahan bakar minyak (BBM), telepon, air, pajak pemerintah pusat, pajak pemerintah daerah, biaya lobi, dan biaya-biaya lainnya.

Sebagai contoh, komponen biaya bahan baku di sektor industri tekstil rata-rata mencapai 63,3 persen, industri garmen 55,5 persen, alas kaki 46,2 persen, kayu dan bambu 54,2 persen, mebel 44,4 persen, dan elektronik sebesar 53,6 persen dari total biaya produksi.

Secara rata-rata komponen biaya tenaga kerja di sektor industri tekstil mencapai 13,3 persen, industri garmen 17,4 persen, alas kaki 25,3 persen, kayu dan bambu 24 persen, mebel 34,5 persen, dan elektronik 16,5 persen.

Ironisnya, bahan baku industri manufaktur masih banyak diimpor. Hal itu berarti, komponen bahan baku lokal belum termanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan industri manufaktur.

Kondisi itu juga terlihat dari persentase industri yang berbasis sumber daya alam tahun 2003 rata-rata hanya sekitar 10,1 persen. Sementara itu, di industri padat karya dan berbasis tenaga kerja tidak terdidik sebesar 36,5 persen. (FER)

Sumber: Kompas, 28 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan