Biaya Menagih Utang di Indonesia
Mengapa pakai jasa penagih utang? Karena biaya penagihan utang melalui jalur hukum di Indonesia amat mahal: 122,7 persen dari total tagihan, seperti terbaca dalam buku Doing Business 2011 terbitan Bank Dunia.
Besar kemungkinan itu pula alasan Citibank menggunakan jasa penagih utang karena konon lebih murah. Namun, dua minggu lalu, akibat yang tak diinginkan terjadi. Seorang nasabah Citibank meninggal dan diduga keras akibat proses penagihan oleh pihak penagih utang. Dalam Doing Business 2011 dapat dibaca dengan terang negara-negara lain yang biaya penagihan utangnya melebihi angka 100 persen dari tagihan (102,7-163,2 persen), yaitu Kamboja, Papua Niugini, Zimbabwe, Mozambik, Sierra Leone, Republik Demokratik Kongo, dan Timor Leste.
Masalah biaya penagihan utang ini, bersama aspek prosedur dan waktu tagihan, merupakan bagian dari komponen pelaksanaan kontrak, satu dari sembilan indikator untuk mengukur peringkat kemudahan berusaha di suatu negara.
Komponen lain adalah pembukaan usaha, pengurusan izin konstruksi, pendaftaran aset usaha, pemerolehan kredit, perlindungan investor, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, dan penutupan usaha. Untuk 2011, dari pantauan kemudahan berusaha di 183 negara, Indonesia berada pada peringkat ke-121. Posisi yang tidak bagus. Lihat Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang masing-masing di kursi ke-19, ke-21, dan ke-78.
Kembali ke pelaksanaan kontrak, sektor peradilan adalah kunci masalah. Bank Dunia mencatat beberapa negara/wilayah yang berhasil mereformasi bidang peradilan: Kanada, Hongkong, Malawi, dan Mauritius. Dalam kaitan pengomputeran kasus gugatan, Bank Dunia menyebut Zambia dan Inggris. Yang berhasil membuat putusan pengadilan lebih efisien: Georgia. Iran disebut berhasil memperbaiki peraturan notifikasi dan pemanggilan para pihak. Yang memperkenalkan pengadilan komersial khusus: Guinea-Bissau dan Burkina Faso.
Sebetulnya pengadilan niaga sudah diperkenalkan di Indonesia setelah krisis moneter 1998 atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, ini khusus untuk masalah kepailitan, bukan buat utang-piutang biasa.
Satu ayam lagi
Akan tetapi, yang mengherankan dan membuat kita tak habis pikir, biaya penagihan utang yang amat tinggi itu di Indonesia sudah sejak paling kurang lima tahun lalu. Terlihat dari Doing Business tahun-tahun sebelumnya, biaya penagihan utang 2006 (126,5 persen); 2007 (126,5 persen); 2008 (122,7 persen); 2009 (122,7 persen); dan 2010 (122,7 persen). Semua dari total tagihan. Kalaupun mungkin pernah ada tanggapan otoritas kita, sepertinya tak pernah bergaung.
Baru pada Januari 2011 Kementerian Koordinator Perekonomian bersama pihak Korea Selatan mengadakan lokakarya tentang pelaksanaan kontrak ini. Pada 8 Februari, terinspirasi Doing Business 2011, ada diskusi perihal kemudahan berusaha di Indonesia. Terlepas ada-tidaknya tanggapan otoritas yang kompeten, yang jelas data Bank Dunia selama lima tahun itu tidak dibantah. Terang benderanglah betapa mahalnya biaya penagihan utang di persada ini! Jadi, seperti ungkapan yang sudah populer: untuk melapor kecurian ayam, hilang pula satu ayam lagi.
Selagi biaya penagihan utang amat tinggi, wajar saja kalau pengusaha mencari jalan keluar. Bisnis itu bagaikan air, mengalir terus dan mencari penyaluran. Kelompok penagih utang jadi solusi yang dirasa tepat sehingga digunakan oleh banyak perusahaan akhir-akhir ini karena, antara lain, lebih murah.
Peristiwa Citibank membuat kita terperenyak, tapi lebih penting dari itu semestinya kita segera mencari jawaban: bagaimana hukum dapat berperan dengan benar sejalan dengan elan pembangunan nasional dewasa ini?
Namun, ini pun mungkin tinggal sekadar pertanyaan dan hanya memperkuat kekecewaan yang pernah dikemukakan oleh tak kurang Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa mengenai tiadanya prestasi pengadilan yang patut dibanggakan selama beberapa tahun terakhir ini.
A Zen Umar Purba Dosen Pascasarjana FHUI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 April 2011