Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor

Tanggal 3 Desember 2004 yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama 100 selebritis/artis menggelar Teriakan Anti Korupsi (Kompas, 4/12/2004). Perhelatan itu mendapat dukungan istimewa karena dihadiri Presiden, menteri, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya.

Jika kehadiran mereka dapat diartikan sebagai tanda peng-iya-an/setuju untuk tidak melakukan korupsi, sudah sepantasnya Teriakan Anti Korupsi didukung seluruh masyarakat Indonesia yang pengap dengan wabah korupsi. Masalahnya, bagaimana cara mendukungnya? Apakah teriakan atau usaha semacam itu akan berdampak?

Teriakan itu mungkin dimaksudkan agar yang biasa atau telah melakukan korupsi menjadi malu sehingga tidak berani lagi atau sungkan melakukan korupsi. Apalagi jika yang biasa melakukan tindak korupsi mendengar atau melihat bahkan hadir dalam acara itu. Pertanyaan berikut, apakah bangsa kita mudah atau bisa menjadi malu? Jawaban yang realistis, sulit (semoga bukannya tidak mau). Telinga kita sudah biasa mendengar tentang orang-orang yang konon jelas melakukan korupsi, tetapi tidak dapat dijerat oleh hukum yang konon dikawal para ahli hukum yang mumpuni. Sebaliknya, yang bersangkutan dengan gagah dan percaya diri tetap tampil di muka umum sebagai pemimpin, baik atas kemauan sendiri, dan lebih konyol lagi, diusulkan masyarakat tertentu.
Dalam acara Teriakan Anti Korupsi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, pemberantasan korupsi tidak untuk diomongkan atau dipidatokan. Seruan moral tidak cukup. Lantas bagaimana korupsi diberantas?
Tindakan amoral berupa korupsi adalah tindakan yang berasal dari kebiasaan. Seseorang melakukan korupsi karena sudah terbiasa bertindak tidak jujur. Karena itu, pemberantasannya pun harus melalui kebiasaan mempraktikkan kejujuran. Tempat yang tepat dan strategis untuk mempraktikkan kejujuran adalah sekolah. Sekolah merupakan tempat untuk menanamkan dan mempraktikkan kejujuran yang akan mengarah ke tindakan antikorupsi. Mengingat sekolah adalah tempat untuk melatih berpikir dan membuat berbagai pertimbangan; seseorang dikirim ke sekolah agar menjadi pandai dan baik, cerdas dan berkepribadian. Di dalam sekolah itulah berbagai kebiasaan mewujudkan nilai (value) dilatihkan, baik secara langsung maupun tidak. Keajekan dan kontinuitas yang direncanakan adalah ciri melekat yang ada pada setiap sekolah.

Ruang, waktu, dan para calon penentu arah kemajuan bangsa tersedia di sekolah. Para peserta didik itulah yang nanti akan menjadi penentu arah kemajuan bangsa. Maju-mundurnya bangsa ditentukan maju-mundurnya generasi muda. Seorang pedagog bernama Petrus Kanisius mengatakan, memengaruhi kaum muda berarti memengaruhi masa depan bangsa. Karena itulah, saat dan tempat strategis di sekolah harus dimanfaatkan seluas-luasnya dalam rangka memberantas korupsi yang masih dan sedang merajalela di negara ini. Kita boleh berharap terbitnya bangsa Indonesia yang sehat, seandainya seluruh lembaga pendidikan atau sekolah di Indonesia mempunyai program melatihkan kebiasaan untuk tidak melakukan ketidakjujuran yang merupakan bibit dari korupsi.

Tidak bisa dimungkiri, kebiasaan yang amat lazim menggoda dan dipraktikkan peserta didik di Indonesia dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi adalah kebiasaan berbuat tidak jujur dalam menyelesaikan tugas belajar, yakni terutama kebiasaan mencontek saat ulangan atau ujian. Bahkan, tak jarang terdengar ungkapan yang pantas untuk dikikis habis, bahwa mencontek adalah sebuah seni dalam sekolah; atau pernyataan bahwa seseorang akan dianggap aneh atau tak wajar jika dalam hidupnya tidak pernah mencontek. Sungguh memprihatinkan. Sudah saatnya secara bersama dan terprogram kebiasaan tidak mencontek menjadi tujuan pokok pengembangan sikap peserta didik.
Perbaikan mutu pendidikan dapat diharapkan jika ketika memperingati Hari Guru dan Hari Aksara Internasional pada 2 Desember lalu di Senayan Presiden SBY tidak hanya menekankan perihal kesejahteraan guru (karena penaikan gaji semata-mata tanpa dibarengi program yang jelas tidak akan membuahkan hasil pada kemajuan pendidikan), tetapi juga menitipkan sebuah program kepada para guru agar melatihkan kebiasaan tidak mencontek di sekolah. Bukan mustahil, kebiasaan untuk tidak mencontek menjadi program nasional. Sebab, sebenarnya justru di situlah masalah pokok dunia pendidikan kita.

Penggalakan kebiasaan untuk tidak melakukan kegiatan mencontek amat terakomodasi dalam Kurikulum 2004. Kurikulum menyediakan ruang selebar-lebarnya untuk mengembangkan sikap hidup (ranah afektif) dari setiap peserta didik, selain pemahaman/pengetahuan (ranah kognitif) dan keterampilan praktik (ranah psikomotorik). Setiap guru atau pendidik diberi kebebasan untuk menentukan sikap-sikap mana dari peserta didik yang perlu dikembangkan.

Dalam hal ini, jika mau dipadukan dengan tekad untuk memberantas korupsi seperti dicanangkan pemerintahan SBY, sudah selayaknya sekolah mengimbangi dengan terus menghidupkan kebiasaan untuk tidak mencontek; daripada disibukkan dan dipusingkan dengan mencari-cari kompetensi ranah afektif yang harus dituliskan ke dalam rapor.

Memang, memerangi kebiasaan mencontek bukan pekerjaan mudah karena harus melibatkan seluruh komponen sekolah, yaitu guru, peserta didik bersama orangtua, dan penyelenggara sekolah dalam langkah-langkah terpadu. Semua harus setuju dan mengusahakan langkah konkret-operasional agar kebiasaan mencontek tidak ada di sekolah.

Semua harus memusatkan diri pada pendampingan peserta didik yang penuh tantangan untuk menjadi bangga dan mencintai kejujuran serta biasa tidak mencontek. Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor.(Baskoro Poedjinoegroho E Direktur SMA Kanisius Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 7 Januari 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan