BI Tebar Rp 31,5 Miliar ke DPR
Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan yayasan.
Bank Indonesia dikabarkan membagi-bagikan total Rp 31,5 miliar ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 2003. Dana itu digunakan untuk pembahasan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Dari dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun Buku 2004, yang salinannya diterima Tempo, diketahui dana itu diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) senilai Rp 100 miliar. Kedua yayasan itu ada di bawah naungan Bank Indonesia.
Dari jumlah itu, Rp 31,5 miliar di antaranya dibagi-bagikan ke sejumlah anggota DPR. Sisanya, Rp 68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum mantan pejabat Bank Indonesia. Pada saat itu sejumlah mantan petinggi BI, seperti J. Sudradjad Djiwandono, Heru Supraptomo, Hendrobudianto, dan Paul Sutopo, sedang tersangkut kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Menurut laporan itu, penggunaan dana tersebut adalah hasil keputusan rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam dua kali pertemuan. Dalam pertemuan pertama, 3 Juni 2003, diputuskan penggunaan dana LPPI senilai Rp 100 miliar untuk membiayai kegiatan yang insidental dan mendesak di Bank Indonesia. Rapat ini diputuskan antara lain oleh Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Aslim Tadjudin. Kemudian, pada rapat 22 Juli 2003 diputuskan Bank Indonesia akan memberikan bantuan peningkatan modal kepada LPPI sebesar Rp 100 miliar untuk menggantikan penyisihan dana itu.
Dokumen ini semakin mengukuhkan pandangan tentang maraknya praktek suap-menyuap di parlemen. Awal Agustus lalu, Indonesia Corruption Watch melaporkan Bank Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi karena lembaga itu diduga memberikan suap senilai Rp 3,8 miliar untuk pembahasan undang-undang.
Pencairan dana untuk DPR ini, berdasarkan dokumen tersebut, diserahkan melalui salah seorang anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari salah satu fraksi terbesar di Senayan. Sedangkan pencairan dana Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum mantan pejabat bank sentral dilakukan lewat sejumlah kantor hukum.
Ketua BPK Anwar Nasution membenarkan soal dokumen tersebut. Menurut dia, dokumen tersebut adalah hasil pemeriksaan yang menemukan adanya transaksi janggal di Bank Indonesia. Itu (dokumen) adalah bagian dari surat saya ke lembaga penegak hukum setahun yang lalu, katanya kepada Tempo dan Liputan 6-SCTV, Kamis lalu.
Adapun Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjuddin mengaku tak tahu-menahu soal aliran dana ke DPR itu. Saya tidak tahu itu, ujarnya.
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan membenarkan adanya permintaan bank sentral kepada LPPI senilai Rp 100 miliar itu. Menurut dia, tidak ada yang salah dengan permintaan tersebut. Karena dana yang ada di LPPI adalah milik Bank Indonesia. Jadi itu bukan milik negara, katanya. Soal penggunaan dana tersebut, Aulia mengaku tidak mengetahuinya. Saat itu memang tak spesifik untuk apa, banyak.
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Rizal Djalil, mengaku tidak mendengar soal adanya aliran dana tersebut. Saat itu saya lebih banyak di Jambi, katanya. SETRI YASRA | ANNE L HANDAYANI | AGOENG WIJAYA | YULIAWATI | RAFLY WIBOWO | AGUS SUPRIYANTO | KARANIYA DHARMASAPUTRA | MOHAMAD TEGUH
Sumber: Koran Tempo, 27 Agustus 2007