BI Kucurkan Rp3,8 Miliar untuk Anggota DPR

Bank Indonesia (BI) mengalirkan dana sebesar Rp3,885 miliar kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 ketika pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) dan penetapan anggaran BI 2005.

Aliran dana itu terjadi saat pembahasan RUU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), RUU Likuidasi Bank, RUU Kepailitan, RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dan anggaran BI 2005 (lihat grafis).

Demikian data-data dalam dokumen lembar disposisi dan bukti pertanggungjawaban keuangan BI yang diperoleh Media Indonesia, pekan lalu. Disposisi itu berisi permintaan uang kepada tiga Deputi Gubernur BI (kala itu), yakni Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin yang diajukan Biro Gubernur BI Rizal A Djaafara dan Erwin Riyanto.

Jumlah permintaan dana terbesar adalah ketika pembahasan RUU SPPN dan RUU Kepailitan yang mencapai Rp2,65 miliar. Dalam disposisi itu disebutkan, uang akan digunakan untuk mendiseminasikan dua RUU tersebut kepada publik sebagai wujud dukungan dan tetap membina hubungan baik dengan DPR, mengingat sebagian besar anggota Panja DPR (periode 1999-2004) akan mengakhiri masa jabatan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ketika itu telah mengadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dugaan politik uang dalam pembahasan RUU tersebut.

Indikasi suap
Direktur Humas BI Budi Mulya mengatakan pihaknya memang menganggarkan dana untuk kegiatan diseminasi pembahasan UU. Dana itu diajukan dan dibahas secara resmi serta dipakai untuk seminar, sosialisasi, diskusi kelompok terfokus, dan sejenisnya. Itu sudah berlangsung sejak 1999, kata Budi di Jakarta, kemarin.

Bagaimana dengan dana yang disebutkan sebagai bentuk apresiasi, dukungan, dan membina hubungan baik dengan DPR? Soal itu, sebaiknya saya no comment dulu, katanya.

Secara terpisah, Koordinator Bidang Korupsi Politik ICW Ibrahim Fahmi Badoh mengatakan aliran dana itu merupakan petunjuk awal terjadinya suap. Fahmi menegaskan pemberian dana semacam itu amat membuka peluang terjadinya korupsi dan merupakan bentuk pelanggaran etika anggota dewan. Untuk pelanggaran etika, Badan Kehormatan (BK) DPR bisa mengusut penerima yang sekarang masih menjabat, sedangkan KPK bisa mengusut kasus dugaan suapnya.

Mantan Ketua Komisi IX DPR (periode 1999-2004) Emir Moeis mengatakan mungkin saja ada dana itu. Apalagi, ketika itu DPR belum memiliki anggaran untuk sidang. Tapi kalau ada uang yang diberikan untuk hal di luar sidang, saya tidak tahu, kata Emir. Emir juga mengaku heran ketika baru bergabung dengan Komisi IX karena berlarut-larutnya pembahasan UU BI hingga hampir lima tahun. Saya heran, kenapa susah sekali membahas UU BI, ujarnya. (Aka/X-10)

Sumber: Media Indonesia, 31 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan