Betul, Korupsi Memang Sudah ke Mana-mana [12/06/04]

DALAM kampanye pemilihan presiden 2004 yang kini sedang berlangsung, hampir semua calon presiden dan wakil presiden meneriakkan tekad untuk memberantas korupsi. Isu pemberantasan korupsi menjadi tema paling menarik perhatian para calon itu. Tidak heran kalau pada setiap kampanye selalu diselipkan: memberantas korupsi adalah salah satu agenda utama yang akan dikerjakan jika mereka terpilih nanti.

KORUPSI ibarat penyakit kronis berkepanjangan, seakanakan tak kunjung sembuh. Tak heran kalau orang tak kaget lagi jika tiba-tiba terbongkar kasus korupsi di sebuah instansi. Bahkan megakorupsi rasanya sudah biasa terdengar di telinga orang Indonesia.

Kasus demi kasus korupsi tampaknya terus saja bergulir seakan tiada kendali. Baru saja masyarakat digegerkan dengan korupsi di satu daerah, eh tiba-tiba muncul kasus korupsi di daerah lain. Seperti virus yang menyebar, yang namanya korupsi muncul di mana-mana. Tidak pandang kasta lagi, apakah itu birokrasi, badan yudikatif, maupun legislatif, semuanya masuk dalam jerat korupsi.

Ironis memang. Dulu praktik korupsi hanya terjadi di ranah birokrasi dan perbankan, kini merambah masuk sampai ke lingkungan legislatif yang seharusnya menjadi tiang penjaga anggaran negara kalau eksekutif atau yudikatif mau mencoba mengelabui anggaran yang disusunnya.

Tetapi itulah kenyataannya. Bukannya menyaring dengan ketat anggaran yang akan dikeluarkan, yang terjadi malah para wakil rakyat di hampir semua daerah kini berlomba-lomba menyunat dana negara. Dan, itu dilakukan atas nama kesejahteraan: dana untuk konsolidasi partai, dana operasional kunjungan kerja, dana pensiun, sampai yang dikemas dengan bahasa halus uang tali asih atau dana purnabakti.

Itu di luar perilaku sebagian anggota dewan, yang secara personal berbuat tak terpuji. Di DPRD Jawa Tengah, misalnya, beberapa tahun silam pernah tercatat anggota dewan yang berani menyunat dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk rumah ibadah di sebuah kabupaten. Itu baru kelakuan perorangan, belum yang dilakukan secara berjemaah, seperti yang diistilahkan kejaksaan mengenai korupsi yang dilakukan bersama-sama. Bahkan, untuk legitimasi, pengeluaran dana masuk dalam peraturan daerah.

Merebaknya kasus-kasus korupsi di daerah tentu saja membuat aparat penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan, harus ekstra kerja keras.

Jaksa Agung MA Rachman beberapa waktu lalu menyatakan, modus operandi yang paling canggih dari tindak pidana korupsi saat ini adalah melalui kebijakan publik, baik yang dikeluarkan legislatif, eksekutif, maupun lembaga pembuat keputusan di badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD) dan perbankan. Apalagi, sejak era otonomi daerah, berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah membuka peluang tiap daerah untuk mengeluarkan produk legislatif, baik berupa peraturan daerah (perda), surat keputusan, maupun kebijakan rapat.

Ironisnya lagi, kebijakan-kebijakan tersebut diputuskan melalui mekanisme resmi yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Kebijakan itu telah melegalkan pembuatannya walaupun ternyata mengandung unsur-unsur yang masuk dalam pengertian melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sebagaimana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.

Pembuat kebijakan publik ini, kata Rachman, bervariasi. Mulai dari pejabat legislatif, baik pemimpin maupun anggota DPR atau DPRD, hingga pejabat eksekutif seperti menteri, gubernur, bupati, dan kepala dinas atau direksi BUMN/BUMD serta perbankan milik pemerintah. Dari catatan Kejaksaan Agung, kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan produk kebijakan publik ini telah digelar di pengadilan di berbagai wilayah Indonesia.

Untuk kasus yang melibatkan pemimpin dan anggota DPRD, sejauh ini sejumlah kasus sudah dibawa ke pengadilan, antara lain kasus di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Cianjur, Cirebon, Ciamis, Garut, DIY, Surabaya, Kalsel, Rantau, dan NTB.

Sedangkan untuk kasus pejabat eksekutif, seperti gubernur, sekda, bupati, wali kota, tercatat Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumbar, Sumsel, Lampung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Kalsel, Kaltim, Kalbar, Sulut, Sulteng, Sultra, Tual, dan beberapa kabupaten di Papua.

Dari kasus-kasus tersebut, yang telah dilimpahkan ke pengadilan selama ini sebagian sudah ada yang diputus dan berkekuatan hukum tetap. Namun, ada yang masih dalam proses upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali serta sebagian lagi telah dibebaskan oleh hakim.

BAGAIMANA sebenarnya sikap kejaksaan menangani perkara korupsi yang dibungkus dengan kebijakan publik ini? Jaksa Agung MA Rachman mengatakan, kejaksaan telah berupaya semaksimal mungkin memproses semua perkara itu.

Sayangnya, ketika kasus tersebut diajukan kejaksaan ke pengadilan, pengadilan-dalam hal ini hakim-menyikapinya dengan beragam. Ada yang sependapat dengan jaksa penuntut umum dan menjatuhkan hukuman terhadap pelakunya. Tetapi, tidak sedikit hakim yang tidak sependapat dengan jaksa dan membebaskan terdakwa, katanya.

Alasan tersebut masuk akal karena memang banyak terdakwa kasus korupsi yang lolos dari hukuman: pengadilan membebaskannya dari dakwaan. Kalaupun dihukum, vonisnya rendah. Namun, itu bukan satu-satunya yang membuat upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air tidak berjalan seperti yang diharapkan. Karena kenyataan di lapangan: sering juga penanganan kasus korupsi di daerah tidak berjalan karena sikap kejaksaan sendiri yang tidak seragam melihat kasus-kasus korupsi di berbagai daerah.

Misalnya, di satu daerah aparat kejaksaan begitu gencar mengungkap kasus korupsi yang dilakukan DPRD dan pejabat pemda setempat sehingga penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan berjalan cepat. Namun, di daerah lain, tak hanya lamban penanganannya, kejaksaan kadang-kadang terkesan menarik ulur proses hukumnya. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi jika proses hukum terhadap seorang pejabat atau anggota dewan yang diduga terlibat korupsi sering berlarut-larut karena tergantung pada mau tidaknya pemimpin kejaksaan setempat, baik Kepala Kejaksaan Negeri maupun Kepala Kejaksaan Tinggi, memproses hukum tersebut.

Berlanjut tidaknya sebuah proses hukum konon tergantung dari perintah atasan, dalam hal ini petinggi di Kejaksaan Agung. Tidak hanya itu. Ada indikasi karena sama-sama duduk di muspida, sering kali kejaksaan merasa sungkan memeriksa rekan muspida yang terindikasi korupsi.

Tidak heran, meski di daerah tertentu begitu kuat desakan masyarakat, baik dalam bentuk seruan maupun aksi yang digelar mahasiswa atau lembaga swadaya masyarakat, desakan itu sepertinya tidak mempan. Apakah ini juga terkait dengan apa yang diakui Jaksa Agung bahwa kejaksaan memiliki kelemahan yang dapat dilihat dengan jelas, yakni masalah sumber daya (SDM) aparat penegak hukum, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya?

Walaupun telah dilakukan upgrading berbagai kemampuan teknis SDM jaksa, saat ini semakin sulit memperoleh tenaga jaksa yang bermutu karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, kata Rachman dalam seminar hukum di Semarang awal Mei lalu.

Padahal, kata Rachman, kasus-kasus korupsi yang terjadi saat ini kian kompleks. Dari segi waktu, untuk mengungkap terjadinya korupsi, kejaksaan sering menghadapi kendala. Apalagi kalau perbuatan korupsi baru diketahui beberapa tahun kemudian. Menghadapi kasus seperti ini, biasanya kejaksaan-dalam hal ini penyidik-kesulitan membongkar karena pelaku makin canggih menyembunyikan perbuatannya.

Perbuatan korupsi di lingkungan birokrasi, misalnya, sering kali dikemas dengan berbagai mekanisme administrasi sehingga tidak dapat segera terungkap. Di lapangan, penyidik sering kesulitan mengumpulkan alat bukti, menemukan tersangka dan saksi, hanya karena pelaku sudah pindah atau pensiun. Kesulitan lain yang dihadapi jaksa terutama dalam hal menghitung jumlah kerugian yang dialami negara. Apalagi, dari pengalaman para penyidik selama ini, instansi tempat di mana terjadinya tindak pidana korupsi justru cenderung menutupi aib di lingkungannya.

MENGHADAPI maraknya kasus korupsi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Sudhono Iswahyudi menegaskan bahwa kejaksaan tidak pernah berdiam diri. Penegakan hukum terus dijalankan. Bahkan, saat ini kejaksaan sedang meneliti sejumlah peraturan daerah yang dibuat DPRD setempat, apakah ada yang melanggar hukum atau tidak.

Penelitian dilakukan karena ada sinyalemen pemberian dana terhadap anggota dewan di sejumlah daerah sudah tidak logis lagi. Misalnya, ketika anggota dewan berhenti, diberikan uang pesangon atau uang purnabakti atau apalah namanya dalam jumlah yang tak sedikit. Pemberian uang itu disahkan melalui perda.

Apakah kejaksaan sendiri kewalahan, Sekretaris Jampidsus Chairuman Harahap menegaskan, kejaksaan tetap akan melakukan kontrol dan melakukan penyelesaian melalui jalur hukum pidana.

Soal tidak seragamnya proses hukum, menurut Harahap, itu bergantung pada strategi aparat kejaksaan di daerah yang bersangkutan. Yang jelas, kinerja setiap aparat kejaksaan di daerah terus dipantau dan dinilai. Yang berprestasi, tentu diberikan reward. Sebaliknya, yang tidak berprestasi akan dikenai punishment. Penilaian ini dilakukan tiap bulan, katanya.

Mengenai tuduhan lambatnya proses perkara karena adanya kongkalikong antara aparat kejaksaan dan pejabat setempat, menurut Harahap itu kecil kemungkinannya karena pengawasan tetap dilakukan dari atasan melalui tim intelijen yang diturunkan.

Memang akhir-akhir ini pengungkapan kasus korupsi yang berlanjut dengan ditetapkannya sejumlah anggota DPR atau pun pejabat pemerintah di daerah sebagai tersangka mulai meningkat. Tetapi, mungkin juga ada yang belum sama sekali tersentuh oleh kejaksaan.

Pengungkapan kasus ini, yang berlanjut dengan proses hukum terhadap sejumlah anggota DPR dan pejabat di daerah, sesungguhnya tidaklah terlepas dari kuatnya desakan publik. Namun, apakah masyarakat harus terus-menerus turun ke jalan mendesak supaya kejaksaan membongkar kasus-kasus korupsi? Kalau upaya memberantas korupsi selalu dilakukan hanya karena ada dorongan pihak eksternal, jangan heran kalau Andi Hamzah menyatakan bahwa pemberantasan korupsi masih omong kosong! Song. (SONYA HELLEN SINOMBOR)

Sumber: Fokus Kompas, 12 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan