BERPOTENSI BERMASALAH, 12 ALASAN DANA ASPIRASI DPR HARUS DITOLAK!

DPR kembali mewacanakan adanya dana pembangunan dapil atau dana aspirasi. Usulan yang pernah sempat menjadi polemik pada 2010 lalu ini kembali digulirkan untuk masuk dalam RAPBN 2016. Usulan ini bahkan disertai dengan peningkatan besaran, dari Rp 15 Miliar per anggota DPR per tahun menjadi Rp 20 Miliar per anggota per tahun.

DPR berdalih, dana aspirasi dengan total 11,2 T ini merupakan bentuk pertanggungjawaban anggota DPR pada daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Selama ini, anggota DPR mengaku merasa kesulitan merespon atau menindaklanjuti keluhan dan aspirasi masyarakat di dapilnya. Lalu, apakah pemberian dana aspirasi menjadi solusi yang tepat?

Koalisi Kawal Anggaran melihat dana aspirasi tidak akan menjawab persoalan penyerapan aspirasi masyarakat oleh wakilnya. Sebaliknya, dana aspirasi akan menimbulkan sejumlah masalah. Mulai dari ketimpangan pembangunan hingga potensi penyalahgunaan. Oleh karena itu, Koalisi Kawal Anggaran menyatakan penolakan usulan dana aspirasi oleh DPR. Berikut 12 alasan penolakan tersebut :

  1. POTENSIAL MEMPERLUAS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN

Salah satu argumentasi DPR dalam mengusulkan dana aspirasi adalah mempercepat pembangunan daerah. Padahal, dana aspirasi justru bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan. Usulan tersebut jelas tidak sejalan dengan rencana pembangunan nasional yang menempatkan persoalan ketimpangan pembangunan, khususnya antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, sebagai isu utama.

Alasannya, dana aspirasi akan melekat pada setiap anggota DPR. Artinya, besaran dana aspirasi di setiap provinsi bergantung pada berapa banyak anggota DPR yang berasal dari dapil dalam provinsi tersebut. Konsekuensi logis dari dana aspirasi adalah memperlebar kesenjangan pembangunan sehingga pembangunan antar wilayah semakin timpang. Sebaran anggota DPR per provinsi, dapat dilihat sebagai berikut :

Sumber : Dok. ICW, diolah dari data KPU

Dari sebaran anggota DPR per provinsi diatas, dapat disimpulkan bahwa dana aspirasi akan banyak mengalir pada provinsi-provinsi dengan dengan jumlah kursi terbanyak di DPR. Pulau Jawa dengan total 306 kursi sangat mendominasi. Padahal, rencana pembangunan nasional tengah memprioritaskan percepatan pembangunan di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

  1. POTENSI MENIMBULKAN CALO ANGGARAN

Dengan adanya dana aspirasi, fungsi DPR secara tidak langsung bertambah, yaitu sebagai middle man atau calo anggaran. Dilihat dari rencana penyaluran dana aspirasi, peran DPR adalah “pengantar” proposal konstituen di dapilnya masing-masing. Dalam hal ini, DPR tidak hanya menjadi middle man tunggal. Dikhawatirkan, dana aspirasi juga akan menciptakan calo-calo anggaran lain yang akan memenuhi Rumah Aspirasi DPR di daerah untuk “menyalurkan aspirasi” dalam bentuk proposal permohonan dana aspirasi. Kekhawatiran ini mengacu kepada berbagai macam modus korupsi anggaran yang sudah diungkap oleh penegak hukum selama ini.

  1. FUNGSI BARU DPR DALAM PENYALURAN DANA APIRASI AKAN MENGGANGGU FUNGSI DPR YANG LAINNYA

Dana aspirasi akan melahirkan fungsi dan tanggung jawab kerja baru bagi DPR. Padahal, DPR telah mempunyai fungsi dengan turunan kerja yang cukup padat. Pada fungsi legislasi, misalnya. DPR mempunyai target RUU dalam prolegnas yang harus disahkan setiap tahunnya. Dalam fungsi pengawasan,  DPR tidak hanya melakukan pengawasan terhadap APBN tetapi juga pelaksanaan UU dan kebijakan pemerintah lainnya. Oleh karena itu, dana aspirasi dikhawatirkan akan membuat kuantitas dan kualitas kinerja DPR dalam fungsi pokok yang telah diatur UU menurun.

  1. MENGACAUKAN SISTEM ANGGARAN BERJALAN DAN TUMPANG TINDIH DENGAN ANGGARAN LAIN

Anggaran disalurkan untuk mewujudkan rencana pembangunan dan kebutuhan masyarakat, baik ditingkat desa dengan APBDes, ditingkat daerah dengan APBD, ataupun ditingkat nasional dengan APBN. Karena itulah anggaran direncanakan dengan melihat rencana pembangunan dan usulan masyarakat yang dimulai dengan musrenbang desa hingga pembahasan di DPR (pembahasan bertahap).

Dana aspirasi yang diharapkan akan menjawab aspirasi konstituen DPR di dapil sangat rawan bersinggungan dengan anggaran yang telah disusun baik oleh desa, kabupaten/ kota, provinsi, bahkan nasional. Selain itu, akan sulit pula melihat atau mengukur efektifitas dana aspirasi pada suatu daerah karena tidak didasari pada data dan rencana yang jelas.

Anggaran yang efektif untuk pembangunan tentu tidak dapat serta merta dialokasikan hanya dengan mempertimbangkan aspirasi konstituen DPR di dapil masing-masing tanpa melihat rencana pembangunan dan data-data yang menjadi dasar kebutuhan masyarakat.

  1. POTENSI PENYALAHGUNAAN ATAU KORUPSI DANA ASPIRASI

Akibat perencanaan pengalokasiannya yang tidak jelas, dana aspirasi dikhawatirkan menjadi sumber baru korupsi yang berlansung secara massif. Dana aspirasi sangat potensial menyuburkan “proyek fiktif” berjudul aspirasi yang diaktori oleh anggota DPR bersama dengan kroninya di dapil masing-masing.

Proyek fiktif, baik berbentuk pembangunan, penyelenggaraan kegiatan, atau pengadaan fiktif, merupakan salah satu modus korupsi yang banyak terjadi, baik dalam APBN ataupun APBD. Dengan sistem yang berjalan sekarang saja, korupsi di sektor penganggaran sangat banyak terjadi, maka potensi penyimpangan yang lebih besar sangat mungkin terjadi dalam dana aspirasi. Modus yang paling potensial terjadi adalah kick back terhadap program tertentu dengan cara memperdagangkan pengaruh (trading in influence) terhadap alokasi dana yang “dipegang” oleh masing-masing anggota.

  1. BERTENTANGAN DENGAN UU 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA

Dalam pasal 12 UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditegaskan bahwa RAPBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan penyusunan tersebut berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Artinya, APBN adalah domain pemerintah, bukan DPR. Dana aspirasi akan membuat DPR sebagai lembaga legislatif masuk terlalu jauh ke ranah eksekutif.

  1. DPR TIDAK MEMPUNYAI HAK MENGALOKASIKAN ANGGARAN

Fungsi anggaran DPR telah dijelaskan dalam UU No. 17 tahun 2014. Dalam pasal 70  ayat 2 disebutkan bahwa fungsi anggaran DPR dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan atau UU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Untuk menyikapi, menyalurkan, dan menindaklanjuti aspirasi konstituennya, anggota DPR berhak mengajukan usulan rancangan undang-undang. Bukan dengan menggoalkan proposal konstituen untuk pembangunan atau kegiatan lainnya.

Dalam penentuan dana transfer daerah, usulan anggota berdasarkan aspirasi dapil juga dapat diusulkan. Kemudian, Badan Anggaran menerima, membahas, dan mengintegrasikan usulan tersebut kepada komisi terkait. DPR dapat memanfaatkan hak ini untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi konstituennya untuk masuk dalam program pemerintah. Bukan kemudian mengambil jalan pintas dengan jalur dana aspirasi.

  1. BIAS FUNGSI PENGAWASAN.

Selain fungsi legislasi dan anggaran, DPR memiliki fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan tersebut juga termasuk dilakukan terhadap keuangan negara (pelaksanaan APBN). Dengan adanya dana aspirasi, fungsi pengawasan DPR menjadi bias dan lemah. Pertanyaan sederhananya, bagaimana DPR dapat menjalankan fungsi pengawasannya dengan optimal, apabila DPR telah berbenturan dengan objek yang diawasi?

  1. PEMBOROSAN ANGGARAN (ANGGARAN TIDAK EFEKTIF).

Dalam konsep dana aspirasi, besaran anggaran telah terlebih dahulu ada sebelum ada usulan program atau kegiatannya. Hal ini dikhawatirkan akan berujung pada pemborosan anggaran atau anggaran dialokasikan tidak efektif, tidak tepat sasaran, dan tidak sesuai kebutuhan. Terlebih lagi, daerah telah mempunyai anggarannya sendiri-sendiri, dimulai dari anggaran desa, kabupaten/ kota, hingga provinsi.

  1. TIDAK JELASNYA MEKANISME  DPR  DALAM MENGHIMPUN ASPIRASI MASYARAKAT

Dalam pasal 210 UU No. 17 tahun 2014 disebutkan bahwa dalam pembukaan ruang partisipasi publik, anggota DPR dapat membuat Rumah Aspirasi. Namun hingga saat ini, tidak jelas bagaimana DPR mengimplementasikan sistem menghimpun aspirasi masyarakat tersebut. Apabila dana aspirasi disetujui, bagaimana DPR menghimpun aspirasai masyarakat, termasuk pertimbangan keadilan dan pemerataan, akan menjadi pertanyaan penting yang harus dijawab dengan aturan yang jelas.

  1. SEMAKIN MEMBEBANI APBN

Problem nyata yang akan terjadi jika dana aspirasi disetujui adalah akan semakin  terbebaninya APBN untuk memenuhi kebutuhan politik para politisi DPR di dapil (dalam menjawab aspirasi konstituen di dapil). Bukan tidak mungkin hutang negara akan bertambah untuk ini. Atau potensial lainnya anggaran di Kementrian atau Lembaga Negara lain akan dikurangin untuk dialihkan kepada anggaran dana Aspirasi. Padahal, masih banyak sektor penting berbasis kebutuhan utama masyarakat yang belum terpenuhi. Misalnya pemerataan pelayanan kesehatan dan pendidikan.

  1. POTENSIAL DIGUNAKAN SEBAGAI  MESIN POLITIK PATRONASE ANGGOTA DPR

Dana aspirasi lebih mengarah pada kebijakan publik yang bersifat populis dan dirancang untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan atau yang biasa disebut dengan pork barrel. Dalam hal ini, DPR sebaiknya belajar dari pengalaman Filipina yang pernah melembagakan pork barrel. Setiap anggota  House of Representative di Filipina mendapat 12,5 juta peso dan untuk senator sebesar 18 juta peso sebagai “amunisi” untuk membina daerah pemilihan dan konstituennya. Dana tersebut dapat digunakan untuk jenis pekerjaan umum dan pembangunan. Sayangnya, dana tersebut banyak digunakan untuk kepentingan politik, menjaga mesin politik patronase, dan mengikat dukungan konstituen. Alokasi dana tersebut kemudian disadari tidak sesuai dengan kebutuhan lokal masyarakat (ICW, 2010).

Simpulan dan Rekomendasi

Berangkat dari 12 permasalahan diatas, Koalisi Kawal Anggaran menolak usulan dana aspirasi anggota DPR. Dana aspirasi dikhawatirkan akan menjadi masalah baru yang justru menyuburkan korupsi, memperluas gap ketimpangan pembangunan antar daerah, mengacaukan anggaran, dan memerosotkan kinerja DPR. Untuk itu, kami merekomendasikan :

  1. DPR membatalkan usulan dana aspirasi kepada 560 anggota DPR.

  2. Pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Menteri Keuangan, menolak usulan dana aspirasi DPR.

  3. Anggota DPR mendorong konstituen di dapilnya masing-masing untuk mengoptimalkan alokasi dana desa dengan berpartisipasi aktif, baik dari perencanaan, penyusunan, pengawasan, hingga pelaporan penyalahgunaan.

  4. Anggota DPR lebih bertindak aktif menyerap aspirasi konstituen di dapilnya lalu memperjuangkannya dalam menjalankan fungsi dan hak DPR dalam pembahasan anggaran dan pengawasan.

  5. DPR memaksimalkan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan untuk menjawab aspirasi masyarakat.


 

                                                                                           Jakarta, 15 Juni 2015

                                                                                      Koalisi Kawal Anggaran

Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah,  Indonesia Parliamentarty Center (IPC), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Center (IBC), Komunitas Indonesia untukDemokrasi (KID), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat (YAPPIKA), Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan