Berpolemik, RUU PPH Harus Dikawal

Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Pengrusakan Hutan (RUU  PPH) yang saat ini tengah dibahas Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyisakan polemik. Materi dalam RUU tersebut dinilai masih mentah dan berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan.

RUU PPH menurut peneliti dari Silvagama, Grahat Nagara, masih memiliki kelemahan sistemik, karena hanya menyadur aturan dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal, UU tersebut terbukti tidak efektif menjerat pelaku kejahatan kehutanan karena hanya mengatur soal ada atau tidaknya ijin pembukaan kawasan hutan untuk bisnis perkebunan atau pertambangan. UU Kehutanan tidak memiliki pasal yang menyebut penyalahgunaan wewenang kepala dareah atau pejabat dalam penerbitan ijin, sehingga kewenangannya sangat terbatas.

Selain itu, Grahat menilai RUU RPH yang sebelumnya disebut RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar memuat banyak celah yang dapat disalahtafsirkan oleh aparat penegak hukum. Salah satu catatan, delik rumusan pasal 27 a RUU tersebut masih rancu dalam mamberikan tafsir kerusakan hutan. Tidak adanya tafsir definitif yang secara jelas tentang kerusakan hutan memberikan peluang salah tafisr yang dapat berujung pada penyalahgunaan ijin produksi yang menguntungkan pengusaha, atau sebaliknya, mengkriminalisasi masyarakat lokal yang hidup di kawasan hutan.

"Ada sejumlah pasal yang berpeluang mempidana masyarakat, yang justru sama sekali tidak mengarah kepada upaya penindakan terhadap para aktor kejahatan kehutanan yang terorganisir," terangnya dalam media briefing di Cikini, Jakarta, Kamis (29/9/2011).

Catatan lain, RUU ini dinilai akan menghambat upaya pemberantasan korupsi di sektor perhutanan. Kekhawatiran ini timbul karena RUU PPH mengamanatkan pendirian sebuah lembaga yang khusus akan menangani masalah kejahatan kehutanan. Lembaga yang baru akan dibentuk ini disinyalir dapat memblokade kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk masuk ke wilayah korupsi kehutanan. "Sementara, hingga saat ini, KPK masih menjadi satu-satunya aparat yang dapat kita percaya," tukas anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho.

Emerson juga mengkritisi pembahasan RUU PPH yang dilakukan secara diam-diam, sementara substansi yang dibahas sangat sensitif. "Proses pembahasan tidak transparan, menimbulkan kecurigaan RUU disisipi kepentingan para mafia hutan," kata Emerson.

Ketua Dewan Kehutanan Nasional Agus Setiarso menambahkan, dirinya menyetujui usulan pembentukan lembaga khusus yang menangani persoalan kehutanan. "Dengan catatan, lembaga ini harus independen, bukan berada di bawah struktur Kementerian Kehutanan ataupun Polri," tegasnya.

Sementara itu, praktisi hukum dari Universitas Al Azhar Agus Surono menilai RUU PPH tidak diperlukan. Menurutnya, akan lebih baik jika UU 41/1999 direvisi dengan mengoptimalkan kesatuan dengan UU Tipikor dan UU Pencucian Uang. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan