Bermimpi Pendidikan Gratis

Dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, berbagai kebijakan telah ditempuh oleh pemerintah, satu di antaranya melalui peningkatan pemberdayaan partisipasi masyarakat. Hal ini sejalan dengan Rencana Program Pembangunan Nasional (Propernas) di mana dikatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dengan school based management dan community based participation.

Melalui pendekatan ini diharapkan pendidikan di Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi masyarakat diharapkan juga berpartisipasi dalam menangani permasalahan dan penyelenggaraan pendidikan di lingkungan masing-masing.

Dengan demikian, manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijaksanaan pendidikan nasional. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program, sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Terlepas dari kebijakan pemerintah tentang manajemen berbasis sekolah dan manajemen berbasis masyarakat, sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar anak-anak usia sekolah bisa menikmati pendidikan secara keseluruhan, karena tidak semua orang tua siswa mampu membiayai pendidikan putra-putrinya.

Mengapa harus mengikuti pendidikan, kalau untuk makan saja masih menunggu uluran tangan dari orang lain. Bagaimana dengan kondisi orang tua siswa yang datang ke sekolah hanya dengan berpakaian seadanya, jalan kaki atau naik becak, dengan satu tujuan yaitu membayar sumbangan pendidikan semurah-murahnya dan jika perlu dibebaskan.

Pada umumnya, siswa-siswi yang berkemampuan rendah berasal dari orang tua yang kemampuan ekonominya berada di bawah pendapatan per kapita nasional. dan yang perlu menjadi perhatian adalah ternyata dari mereka itu sebagian besar memperoleh pendidikan di sekolah yang belum memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan. Padahal dalam pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Sisdiknas menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Berdasarkan pasal 34 ayat 2 jelas merupakan tindakan positif untuk mengantisipasi orang tua siswa yang tidak mampu membiayai pendidikan, sehingga putra-putrinya tetap bisa sekolah. Tetapi berdasarkan kenyataan yang ada, masih banyak anak-anak putus sekolah, dan lebih senang membantu orang tua untuk meringankan beban ekonomi rumah tangga.

Ini merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi, baik oleh pemerintah, orang tua maupun masyarakat. Sekarang akan muncul permasalahan baru, mampukah pemerintah menyelenggarakan pendidikan tanpa memungut biaya dari orang tua siswa, atau dengan kata lain, gratis, khususnya pada jenjang pendidikan dasar.

Kompensasi BBM
Pemerintah dalam salah satu programnya adalah menaikkan harga BBM yang tidak mungkin lagi untuk dipertahankan. Subsidi yang diberikan pemerintah sudah terlalu besar, padahal kekuatan keuangan negara sangat terbatas. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan bahwa pemerintah akan meyediakan pelayanan gratis untuk pengobatan di rumah sakit kelas tiga dan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun bagi keluarga miskin, sebagai kompensasi pencabutan subsidi harga bahan bakar minyak.

Ini merupakan janji seorang menteri yang juga kepala Bappenas, mudah-mudahan bukan hanya sekadar basa-basi untuk meredam masyarakat agar tidak bergejolak dengan adanya kenaikan BBM. Walaupun bidang pendidikan termasuk salah satu yang dibiayai dari dana kompensasi BBM, namun jangan sampai hanya sekadar sebagai alasan agar masyarakat miskin betul-betul bisa menikmati bantuan tersebut.

Perlu diketahui bahwa dengan adanya kenaikan harga BBM pasti akan memengaruhi sektor lain yang dirasakan oleh masyarakat kecil, karena kenaikan harga kebutuhan sehari-hari dan transportasi jelas akan menjadi rintangan dalam kehidupan. Bidang pendidikan bisa teratasi, tetapi bagaimana mereka berangkat ke sekolah, makan setiap harinya, peralatan pendidikan dan sebagainya yang sekarang sudah mulai merambat naik harganya di pasaran.

Akan menjadi semakin prihatin lagi adalah dampak dari kenaikan harga BBM. Selama ini pencabutan subsidi harga BBM hanya akan dinikmati oleh masyarakat kelompok atas, karena mereka tidak terpengaruh oleh kenaikan harga BBM, mau dijual berapa pun pasti bisa membayar. Masyarakat atas tidak harus menanggung penambahan beban sendiri, sebab mempunyai kemampuan untuk membagi beban itu kepada orang lain, termasuk kelompok masyarakat bawah. Kemudian setiap kali dilakukan pencabuan subsidi BBM, maka bebannya akan berlaku sama bagi seluruh anggota masyarakat, padahal banyak kelompok menengah ke bawah yang menjadikan BBM sebagai kebutuhan pokok, seperti untuk tujuan produktif.

Bagi kelompok menengah ke bawah, penghapusan subsidi BBM sudah menjadi beban mereka, berbagai harga kebutuhan pokok sehari-hari sudah mulai naik, karena untuk mengantisipasi kenaikan BBM. Apabila kenaikan harga BBM benar-benar terjadi, beban masyarakat menengah akan semakin bertambah, karena akan terjadi spekulasi bagi pihak-pihak yang mengambil keuntungan, dengan menghilangkan barang-barang yang ada di pasaran, sehingga harga menjadi semakin mahal.

Keadaan seperti ini yang menjadi korban adalah masyarakat kelas bawah, sebab selalu tidak berdaya diakibatkan tidak memiliki akses terhadap informasi dan harus menerima keadaan.

Atas dasar tersebut kalau memang subsidi BBM harus dicabut, tetapi mengapa justru yang dijadikan kambing hitam adalah bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin. Setiap kali akan terjadi pencabutan subsidi BBM, selalu pendidikan dan kesehatan dijadikan komoditi unggulan, walaupun sampai sekarang masih banyak masyarakat merasa keberatan untuk membiayai pendidikan putra-putrinya. Mereka sangat berharap pada pemerintah, agar pendidikan gratis menjadi kenyataan.

Berdasarkan hasil sidang kabinet terbatas, yang langsung dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memutuskan bahwa akan menambah dana Rp 10,6 triliun dana kompensasai kenaikan harga BBM, yang akan dijadikan subsidi kepada rakyat miskin menjadi Rp 17,9 triliun, karena anggaran sebelumnya yang tertuang dalam APBN hanya Rp 7,3 triliun. Dana yang dialokasikan khusus untuk pendidikan sebesar Rp 5,6 triliun, diprediksikan untuk 9,6 juta jiwa siswa mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan SLTA. Andaikata jumlah kompensasi yang diberikan sebesar Rp 10,6 triliun, untuk 36 juta sasaran orang miskin, maka setiap orang akan menerima Rp 250.000, sedang setiap keluarga akan menerima sebesr Rp 750.000 setiap bulan jika terdiri dari tiga orang dalam satu keluarga.

Anggaran Negara Cukup
Walaupun pemerintah sudah menganggarkan dana kompensasi subsidi BBM sebesar 17,9 triliun, namun tidak semua digunakan untuk kepentingan pendidikan, pada sektor pendidikan hanya memperoleh bagian Rp 5,6 triliun untuk 9,6 juta jiwa siswa, sedangkan lainnya digunakan untuk sektor jaminan kesehatan, bangunan infrastruktur pedesaan, pembangunan perumahan rakyat dan sebagainya. Suatu data yang cukup membuat untuk berfikir lebih jauh lagi, karena berapa jumlah siswa yang harus disubsidi sebenarnya, jangan justru dengan buaian Rp 5,6 triliun masyarakat sudah merasa puas, padahal jumlah siswa yang dianggarkan hanya 9,6 juta jiwa, mulai dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Menurut perkiraan sementara, data siswa yang tidak mampu bisa mencapai lebih dari 22 juta siswa, ini diambil dari keluarga prasejahtera sesuai dengan ketentuan yang ada. Belum lagi yang tidak terdaftar dalam keluarga, anak jalanan dan data sekolah yang tidak akurat, sangat memungkinkan anak yang tidak mampu membayar sekolah akan bertambah.

Seandainya biaya pendidikan SD diambil standar minimal sebesar Rp 15.000, SMP sebesar Rp 30.000 dan SLTA sebesar Rp 50.000, maka pemerintah akan mengeluarkan dana untuk subsidi pendidikan mencapai lebih dari Rp 21 triliun. Ini belum termasuk biaya pemeliharaan gedung, operasional laboratorium dan sebagainya. Padahal pemerintah hanya menganggarkan Rp 5,6 triliun siswa yang tidak mampu. Apabila pemerintah menganggap pendidikan sebagai investasi, sebaiknya anggaran pendidikan dasar harus lebih besar dari anggaran infrastruktur yang mencapai Rp 60 triliun setahun. Sebab pendidikan merupakan investasi SDM yang tak kalah strategisnya dibandingkan dengan pembangunan jalan, jembatan dan lainnya.

Di sini, pemerintah tidak perlu ragu-ragu dengan mengatakan bahwa anggaran tidak cukup untuk membebaskan biaya pendidikan bagi setiap warga negara. Perlu dikaji sampai sejauh mana para birokrat mulai dari tingkat pusat sampai dengan daerah berani mengalokasikan anggaran dari hal yang tak substantif ke yang substantif untuk pendidikan. Perlu juga efisiensi dan pengawasan yang diperketat pada hilangkan biaya-biaya birokrasi organisasi pemerintah, dan lebih diutamakan pada hal-hal yang riil, serta meninjau ulang pemborosan anggaran yang tidak jelas kepentingannya. Berikan anggaran tersebut untuk kepentingan pendidikan langsung kepada siswa atau institusi penyelenggara pendidikan, termasuk bagaimana nasib kesejahteraan guru. Taruhlah jumlah guru di Indonesia sekitar 2,2 juta, apabila setiap guru menerima tambahan sebesar Rp 500.000 sebulan, maka anggaran tambahan yang diperlukan kurang dari Rp 2 triliun. Berarti akan menambah semangat bagi guru untuk mengajar, maka mutu pendidikan akan menjadi semakin meningkat.

Jangan Ditunda
Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda terselenggaranya pendidikan gratis, sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas pasal 34 ayat 2, dan konvensi internasional tentang education for all. Masyarakat sangat berharap pemerintah mau mewujudkan dan tidak mengingkari untuk menunda pendidikan gratis. Jangan terulang lagi janji-janji dengan mengulur-ulur dan mengalihkan ke subsidi silang dalam membiayai anggaran pendidikan, karena dalam perhitungan, pemerintah mampu untuk memberikan pedidikan gratis bagi sekolah tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah hendaknya mengfasilitasi keperluan pendidikan secara keseluruhan, sehingga masyarakat tidak terbebani lagi biaya pendidikan yang dirasa semakin lama semakin mahal.

Tidak ada alasan untuk menarik dana dari orang tua siswa, sehingga orang tua kesulitan untuk membayar, sementara pemerintah tidak mampu mengendalikan, akhirnya akan menghambat masyarakat yang memperoleh pelayanan pendidikan. Tidak kalah pentingnya bagaimana agar masyarakat yang betul-betul membutuhkan bantuan bisa kena sasaran, karena selama ini bantuan yang dijanjikan oleh pemerintah, terutama dana kompensasi BBM belum berpengaruh terhadap keberlangsungan pendidikan. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada siswa hanya untuk biaya sumbangan pendidikan di sekolah, belum menyangkut biaya lainnya, termasuk pembelian buku, transportasi, pakaian dan sebagainya bagi masyarakat yang membutuhkan.

Masih dijumpai peserta didik yang tidak mau sekolah karena takut belum mampu membayar biaya sumbangan pendidikan. Walaupun pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah mulai mencoba untuk mengfasilitasi buku ajar, tetapi belum bisa menjangkau semua lapisan siswa, dan lebih meprihatinkan lagi jika ada sebagian sekolah masih mencoba menjual buku disekolah dengan harga yang cukup tinggi, tanpa memperhatikan kualitas dari buku itu sendiri. Beban yang diderita orang tua siswa semacam ini hendaknya segera diakhiri dengan mempertegas kebijakan pemerintah tentang pengalokasian dana untuk kepentingan pendidikan dan melarang untuk tidak menjadikan sekolah sebagai komoditi perdagangan terselubung.

Perlu adanya data yang akurat agar penyaluran dana kompensasi BBM tidak terlalu banyak menyimpang, pengawasan yang lebih intensif. Pemetaan dan pendataan harus dilakukan secara terbuka, trasparansi penyalurannya dilakukan sejak pemetaan dan pendataan di tingkat sekolah, dan perlu adanya sosialisasi secara terus menerus tentang kriteria penerima beasiswa. Selain dari pihak sekolah, untuk menghindari terjadinya ketidakakuratan data dan ketelitian pendataan, maka pihak kelurahan juga harus ikut bertanggungjawab dalam melakukan pendataan dan pemetaan. Jangan sampai terjadi apa yang seharusnya diterima oleh siswa, tetapi justru malah salah sasaran atau ada yang tidak terkena sama sekali.

Niat baik yang dilakukan pemerintah perlu menjadi pertimbangan berikutnya, karena tidak semua dana yang diberikan cukup untuk membiayai sumbangan pendidikan. Masih banyak orang tua yang harus menambah biaya sendiri demi memenuhi kekurangan yang harus dibayarkan kesekolah. Belum biaya-biaya tambahan yang tidak tertulis dalam ketentuan yang dikeluarkan sekolah.

Seandainya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk subsidi pendidikan tingkat SD sebesar Rp 20.000 per bulan setiap siswa, SMP sebesar Rp 50.000 dan SLTA sebesar Rp 100.000 sesuai dengan rencana yang diusulkan Depdiknas, ini sudah merupakan angin segar bagi penyelenggara pendidikan untuk mencapai standar pelayanan minimal, namun karena jumlah yang akan diberi subsidi hanya sekitar 9 juta siswa mulai dari tingkat SD sampai dengan SLTA, berarti bagi sekolah yang mendapatkan subsidi kurang dari yang diharapkan, akan sama saja artinya dengan tidak mendapatkan bantuan, karena biaya operasional yang diperlukan jauh lebih tinggi dibanding dana yang diterima. Belum lagi dengan adanya sekolah yang menetapkan sumbangan pendidikan lebih tinggi dari anggaran yang sudah ditentukan, tetap akan memberatkan orang tua.

Sekarang masyarakat hanya menunggu dan menbuktikan sampai sejauh mana keseriusan pemerintah dalam memajukan dan memikirkan generasi penerus lewat pendidikan, jangan sampai pendidikan dijadikan alasan untuk menghapuskan subsidi bahan bakar minyak, sehingga dengan mudahnya harga BBM menjadi naik. Kalau memang pendidikan akan gratis, biayailah secara riil dan transparan agar masyarakat tidak terlalu berharap dengan janji-janji pendidikan gratis.(Drs Sukirman SPd SH MM, Kepala SMP Negeri 3 Semarang)

Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 28 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan