Berlanjut, Desakan Reformasi Polri

Tindakan penahanan Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, yang menuai kecaman banyak pihak seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika tetap tidak ada perbaikan total, citra polisi akan kian terpuruk di mata masyarakat.

Demikian disampaikan sejumlah kalangan sipil dan purnawirawan polisi di Kantor Imparsial, Jakarta, Senin (2/11). ”Kejadian ini harus menjadi pelajaran untuk mereformasi proses penegakan hukum menjadi lebih transparan dan adil,” kata Komisaris Besar (Purn) Alfons Loe Mau, alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1974.

Desakan reformasi Polri itu sebelumnya juga diserukan Neta S Pane dari Indonesian Police Watch dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Edy Prasetyono (Kompas, 2/11).

Guru besar Universitas Indonesia, yang juga mantan polisi, Bambang Widodo Umar, mengaku prihatin dengan apa yang dilakukan polisi. ”Polisi bukan sekadar penegak hukum normatif, tetapi harus dapat menjadi pengayom masyarakat. Bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat,” katanya.

Apa yang terjadi saat ini, kata Bambang, menunjukkan bahwa polisi sama sekali tak profesional. ”Penahanan terhadap Bibit dan Chandra menunjukkan, mereka grogi setelah ada permintaan Mahkamah Konstitusi untuk membuka rekaman. Ke depan harus ada lembaga pengawas yang kuat terhadap polisi agar mereka tidak melakukan tindakan sewenang-wenang lagi,” kata alumnus Akpol tahun 1971 ini.

Neta S Pane mengatakan, kasus Bibit dan Chandra hanya satu kasus yang disorot publik. ”Banyak kasus lain yang luput dari perhatian. Ini puncak dari kesewenang-wenangan polisi. Hal ini terjadi karena tidak ada lembaga kontrol atau penyeimbang terhadap polisi,” ujarnya.

Selain mereformasi polisi, menurut Neta, tindakan jangka pendek yang harus dilakukan adalah Kepala Polri mundur dari jabatannya. ”Atau, pilihannya, Presiden harus mencopot Kepala Polri,” kata dia.

Menurut Bambang dan Alfons, tindakan polisi yang cenderung mengada-ada dalam menangani kasus Bibit dan Chandra kemungkinan karena ada tekanan dari kekuatan yang lebih besar.

”Apa yang dilakukan polisi sangat aneh. Perumusan masalah tidak jelas dan pasal yang dituduhkan berubah-ubah. Saya menduga ada kekuatan yang lebih besar menekan mereka atau ada kecenderungan individu yang membawa-bawa organisasi,” kata Alfons. (AIK)

Sumber: Kompas, 3 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan