Berkampanye dengan Uang Rakyat
Cukup mengejutkan mendengar rencana pemerintah merombak anggaran di penghujung hari menjelang pemilu. Bongkar pasang anggaran tentu bukan persoalan yang mudah. Ketika terjadi pada saat kampanye pemilu, tentu dapat dengan mudah hal itu disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Belum tuntas kerisauan publik akan maraknya iklan layanan "berkedok kampanye", muncul alasan kedaruratan fiskal sehingga harus merombak alokasi anggaran negara. Sebelumnya, juga telah ada catatan tentang peningkatan signifikan anggaran belanja sosial menjelang pemilu di dalam anggaran pusat 2008-2009. Sebelum ada terang kejelasan, soal ini masih akan menimbulkan kecurigaan.
Pengalaman Pemilu 2004 menunjukkan maraknya penggunaan uang negara untuk kampanye. Masih terbayang jelas kasus di Departemen Kelautan dan Perikanan (Kasus DKP) saat itu, anggaran dari sumber nonbujeter meluap untuk pembiayaan kampanye.
Catatan mantan Menteri Rokhmin Dahuri, total Rp 1,6 miliar kas dana taktis departemen yang dipimpinnya mengalir ke beberapa tokoh nasional yang sedang mencalonkan diri menjadi calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004.
Dana taktis itu juga diberikan ke beberapa petinggi partai politik, ormas, dan tim sukses kampanye dengan total nilai mencapai Rp 885 juta. Daftar panjang berjumlah ratusan penerima manfaat dana DKP menunjukkan betapa rapuh dan rentannya sistem keuangan pemerintah ketika berada di bawah posisi-posisi publik yang terdistribusi secara politik.
Rekening Liar
Rekening liar di departemen dapat menjadi salah satu sumber pendanaan segar untuk kepentingan kampanye. Kasus DKP adalah salah satu contoh bagaimana uang negara yang terparkir di luar entitas keuangan negara (nonbujeter) mudah dikorupsi. Jika tidak segera dibereskan, rekening yang berjumlah ribuan dengan dana yang tersimpan hingga triliunan rupiah tentu dapat menjadi santapan segar. Terutama bagi mereka yang mampu mengontrol dan mendistribusikannya.
Yang mengkhawatirkan dari adanya rekening liar, selain nilainya besar, jumlah pertambahannya juga fantastis dari tahun ke tahun. Pada 2004, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 277 rekening pemerintah dengan nilai Rp 3,5 triliun di Bank Indonesia dan 29 rekening di bank umum pemerintah dengan nilai Rp 13,5 triliun.
Pada 2005, BPK merilis nilai dan jumlahnya yang membengkak menjadi 1.303 rekening liar yang tersebar di 34 departemen dan lembaga pemerintahan dengan total nilai Rp 8,5 triliun. Dapat dibayangkan, jika kasus DKP dengan dugaan korupsi sebesar lebih dari Rp 32 miliar hanya 2 di antara ribuan rekening liar, lantas berapa besar potensi yang dapat dikorupsi dari jumlah dan nilai rekening liar yang masih ada dan belum ditertibkan?
Mudahnya rekening liar digunakan serampangan oleh pejabat departemen antara lain disebabkan oleh sifat rekening ini yang berada di luar entitas keuangan negara dan sering tidak ikut dilaporkan di dalam audit BPK. Rekening liar biasanya juga digunakan dengan otoritas langsung dari pejabat instansi tanpa kontrol dan peruntukan yang jelas. Ini karena banyak dari rekening nonbujeter tidak memiliki dasar kebijakan di dalam penggunaannya.
Peningkatan Belanja Sosial
Selain melalui rekening liar, dana kampanye dapat berasal dari anggaran resmi atau bujeter. Pengaruh besar dari kader-kader partai politik di pemerintah maupun parlemen dapat digunakan untuk mengarahkan dokumen anggaran pada jenis pembiayaan yang dapat mendukung kampanye. Modus yang sering muncul biasanya lewat iklan layanan, acara-acara perayaan, bantuan beras untuk rakyat miskin, bagi-bagi uang untuk ormas dan bantuan kredit lunak.
Kajian Indonesia Corruption Watch terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran 2008-2009 menunjukkan peningkatan alokasi belanja sosial yang cukup signifikan. Jika dilihat menurut fungsi, belanja bantuan sosial meningkat tajam. Pada 2008 Rp 63,1 triliun dan Rp 64,7 triliun pada 2009. Peningkatan ini cukup signifikan dibanding alokasi belanja sosial APBN 2007 yang hanya Rp 49,4 triliun.
Selain peningkatan menurut fungsi, anggaran bantuan sosial di beberapa departemen meningkat tajam. Di antanya Departemen Dalam Negeri dari 1,4 triliun pada 2007 menjadi lebih dari dua kali lipat Rp 3,5 triliun di pada 2008 dan Rp 6,33 triliun pada 2009.
Di Departemen Pekerjaan Umum juga meningkat hampir dua kali lipatnya pada 2009 menjadi Rp 2,6 triliun, dibanding 2008 senilai Rp 1,8 triliun. Peningkatan juga terjadi di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Departemen Agama.
Lemah Aturan
Praktik perencanaan anggaran negara menjelang Pemilu memang kerap terlihat ganjil. Salah satu keganjilannya adalah kecenderungan peningkatan signifikan dari belanja untuk pos anggaran tertentu sehingga terlihat seperti pemborosan. Sayan, sulit sekali mempermasalahkan hal ini secara hukum. Hal ini disebabkan pertama, aturan pemilu tidak tegas membatasi kategorisasi iklan layanan oleh incumbent pada masa kampanye adalah masuk kategori kampanye.
Kedua, penggunaan anggaran yang resmi ada dalam dokumen anggaran dipandang tidak melanggar hukum. Meskipun, itu sebenarnya dapat dipertanyakan dari sisi pertanggungjawaban kinerjanya.
Ketiga, bejibunnya rekening liar masih belum tuntas dibereskan oleh Departemen Keuangan. Hingga saat ini belum ada aturan tegas yang melarang instansi membuat rekening liar. Padahal, skandal publik seperti kasus DKP, kasus Dana Abadi Umat di Departemen Agama, dan Dana Yayasan di Bank Indonesia adalah contoh korupsi rekening liar.
Ibrahim Zuhdhi Fahmy Badoh, koordinator Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch (ICW)di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 20 Februari 2009