Berharap Saksi Aman Terlindungi

Sebuah bank swasta merilis laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang transaksi mencurigakan yang dilakukan bendahara bank. PPATK langsung menelusuri aliran dana tadi. Ternyata kecurigaan bank tadi benar. PPATK menemukan unsur pidana perkara pencucian uang sehingga merasa perlu melapor kepada polisi. Polisi juga tak kalah sigap bertindak.

Dalam penelusuran polisi, pihak yang tersangkut transaksi mencurigakan tadi ternyata kerabat seorang bupati. Keruan saja bupati ini tak terima dan meminta agar polisi menyebutkan si pelapor. Mungkin karena tak enak, polisi membeberkan asal muasal laporan tadi. Keruan saja bank yang melapor kena getahnya. Mungkin polisinya belum tahu adanya undang-undang perlindungan saksi, kata Ketua PPATK Yunus Husein dengan nada geram.

Kegeraman Yunus itu disampaikan dalam sebuah seminar partnership di Jakarta awal Maret lalu. Kejengkelan Yunus makin tinggi karena polisi menganggap UU Perlindungan Saksi cuma sebatas wacana. Tak aneh jika polisi tetap bersandar pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengharuskan saksi menjadi salah satu alat bukti. Jika saksi atau pelapor tidak dilindungi, jangan harap kejahatan bisa dibasmi.

Memang UU Perlindungan Saksi masih sebatas rancangan yang belum disahkan. Namun, perlindungan saksi dan pelapor sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003, sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena itu, Yunus mendesak Indonesia segera memiliki UU Perlindungan Saksi. Tujuannya untuk menjamin keamanan saksi dan pelapor sebuah kejahatan.

Nasib nahas yang dialami saksi dan pelapor sudah berulang kali terjadi di Indonesia. Bahkan ada yang berbalik menjadi terdakwa dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kasus Endin Wahyudin, misalnya. Pelapor kasus permintaan sogok seorang jaksa ini malah diseret sebagai tersangka pencemaran nama baik. Begitu pula Kito Irkhamni, yang membeberkan kepemilikan rumah mewah Jaksa Agung M.A. Rachman di Cinere. Gara-gara laporan itu, Kito merasa diteror dan akhirnya dia terlempar dari pekerjaannya sebagai jaksa.

Perlakuan tak nyaman ini diakui Komisaris Besar Wilmar Marpaung dari Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Wilmar mengeluhkan cara hakim mencecar dan menyudutkan saksi. Kadang-kadang saksi ahli diperlakukan kurang baik oleh hakim, ujarnya. Polisi pun kerap merogoh kocek sendiri untuk mengamankan saksi. Dia berharap, jika UU Perlindungan Saksi disahkan, hendaknya dicantumkan anggaran perlindungan mereka.

Menurut pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Rudi Satryo, saksi bukan hanya pelapor. Dia bisa korban, saksi korban, saksi pelapor, saksi mahkota, atau saksi sendiri. Saksi korban adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami, bahkan menjadi korban dari tindak kejahatan. Saksi pelapor adalah orang yang melihat dan mendengar kasus, lantas melaporkan tindak kejahatan itu. Sedangkan saksi biasa adalah saksi yang melihat dan mendengar kejahatan itu tapi tak melaporkannya.

Adapun saksi mahkota adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami, bahkan menjadi pelaku kejahatan itu tapi dia melaporkannya dengan harapan mendapatkan keringanan hukuman atau dibebaskan dari hukuman. Kasus ini ada pada Monsanto, yang melaporkan kasus penyuapan dan kemudian mendapatkan keringanan hukuman di Amerika, katanya. Hal ini dimungkinkan dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi yang diratifikasi Indonesia pada akhir 2003.

Konvensi itu juga mengatur pembebasan hukuman bagi seorang pelaku yang bersedia melaporkan tindak korupsi yang dilakukannya. Karena ada itikad baik, kata guru besar hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita. Dalam pasal 32 konvensi PBB itu disebutkan, setiap negara wajib memberikan perlindungan yang efektif kepada saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi, termasuk terhadap keluarganya atau orang yang dekat dengannya. Tapi RUU itu tidak menjadi prioritas pembahasan di DPR, kata Romli.

Ketua Badan Legislasi DPR A.S. Hikam menolak anggapan bahwa DPR tidak menempatkan RUU Perlindungan Saksi sebagai prioritas. Menurut politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini, RUU itu merupakan satu dari 55 RUU yang akan menjadi prioritas pembahasan DPR dan pemerintah pada 2005.

Menurut Romli, selama ini, hukum tidak menjamin keamanan saksi. Satu contoh, timpangnya tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang tidak dilengkapi peranti perlindungan hukum kepada saksi. Dalam KUHAP dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999, bahkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pembentukan KPK, tidak ada ketentuan khusus mengenai perlindungan hukum atas saksi, baik dalam proses pemeriksaan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan.

Selain itu, masih muncul kelucuan. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, saksi atau pelapor tidak akan diberi perlindungan hukum jika terdapat cukup bukti mereka terlibat korupsi yang dilaporkannya itu. Bagaimana mengharapkan partisipasi masyarakat kalau mereka merasa tidak terlindungi? katanya.

Yang lebih menyedihkan, RUU buatan DPR yang terdiri atas 32 pasal itu belum memberikan perlindungan hukum yang kuat. Menghadapkan saksi di muka persidangan dan bertemu dengan terdakwa masih dianggap sebagai unsur penting. Aturan ini yang sering membuat saksi ketakutan. Ingat! Kesaksian itu hak, bukan kewajiban, kata Romli. Artinya, dengan hak yang dimilikinya, dia mendapatkan jaminan perlindungan hukum, baik fisik maupun psikologis. Ini juga melingkupi keluarga dan orang terdekatnya, sehingga dia bebas berbicara tanpa merasa takut.

Karena itu, Romli, Yunus, Rudi, dan Wilmar sepakat bahwa model kesaksian harus diubah. Saksi tak mesti dihadapkan dengan terdakwa di muka persidangan. Hukum juga harus bisa menjamin kerahasiaan saksi, termasuk identitasnya. Seorang saksi cukup memberikan keterangan tertulis di bawah sumpah, tanpa harus hadir di persidangan. Ini sudah dilakukan dalam persidangan kejahatan narkotik. Saksi tak perlu dihadirkan di persidangan. Dalam pemeriksaan pun dia tak perlu dihadapkan dengan tersangka. Bahkan ada yang harus mengubah jenis seksnya untuk menutupi identitas saksi, kata Rudi. istiqomatul hayati

Sumber: Koran Tempo, 14 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan