Berharap Perubahan di Tubuh Polisi
Kapolri sekarang dinilai sebagian elemen masyarakat sebagai Kapolri terburuk dalam perjalanan sejarah negeri ini (JP, 23 November 2009). Penilaian demikian tentu saja menempatkan Polri layaknya terpidana akibat vonis distorsi dan degradasi kepercayaan masyarakat.
Penilaian itu tentu tidak harus membuat geram Kapolri dan jajarannya. Pasalnya, produktivitas Polri dalam menunjukkan kinerja pengabdiannya kepada masyarakat, yang membuat masyarakat terlindungi hak-haknya, khususnya hak keselamatan dari ancaman kejahatan-kejahatan bercorak istimewa (extraordinary crime) atau yang bermodus pemberatan seperti terorisme, penculikan bayi, perampokan, dan lainnya, cukup lumayan.
Kalau kemudian masyarakat terasa kurang menghargai atau seperti melupakan apa yang diperbuat Polri itu, polisi pun selayaknya menyadari bahwa masyarakat sudah lama menuntut reformasi maksimal dalam diri Polri, bukan setengah-setengah. Masyarakat mengidam-idamkan lahirnya polisi yang gigih membentuk dirinya menjadi pembaru. Bukan sekadar teguh menerapkan hukum sesuai dengan das sollen-nya, tetapi juga menjadikan hukum sebagai ''investasi edukasi" yang bisa mendidik dan mencerahkan masyarakat.
Sebenarnya, tanpa dipengaruhi permintaan (tuntutan) presiden atau Tim 8 sekalipun, Polri mempunyai kewajiban meningkatkan integritas moral maupun kemampuan akademis atau intelektualitas (nalarnya). Kemampuan akademis itu akan membuat Polri lebih cermat, cepat, dan cerdas dalam menerjemahkan (menginterpretasikan) perkembangan kriminalitas, termasuk membaca berbagai model perangkap, jebakan, atau pola-pola rekayasa yang dilakukan kalangan pelanggar hukum.
***
Ketika aparat penegak hukum (Polri) ikut diposisikan bersalah atau jadi ''terpidana" itu, tentu sebenarnya yang digugat adalah penyakit atau akar penyebab yang membuat polisi "terjerumus" di dalamnya. Mengapa sebagai pilar terdepan, polisi masih gagal menjalankan tugas dengan baik dan bahkan "dikadali" segelintir pengusaha atau broker-broker perkara? Mengapa yang diledek publik sebagai "jenderal" bintang lima bukan Polri, tetapi Anggodo?
Akar penyakit lainnya yang membuat terhujat adalah "kegagapannya" dalam menegakkan hukum. Kegagapan tersebut tak lepas dari budaya sabdo pandito yang selama ini dipertahankan sebagai doktrin di tubuh Polri. Doktrin sabdo pandito ini telah membuat mentalitas aparat polisi tidak bening dan tidak cerdas dalam membaca, menerjemahkan, serta menafsirkan kinerjanya dengan bebas.
Padahal, kalau memahami garis ideal dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, polisi bisa membentuk dirinya sebagai mujtahid atau pembaru, yang dengan kemampuan fisik, psikologis, dan terutama nalar intelektualitasnya mampu membedah penyakit sosial, struktural, dan kultural dengan cara menafsirkan serta mempraksiskan nilai-nilai humanitas di antara kompetensinya sebagai "mesin" bekerjanya hukum.
Sayang, ketika kinerjanya terkerangkeng dalam tirani doktrin yang berkarakter represif, polisi menjadi tidak leluasa dalam menjalankan dan mengembangkan profesinya. Apa yang dikerjakan tidak ubahnya robot yang dikendalikan remote yang menentukan arah, proyek, dan trayek yang dilakukan.
Dalam kondisi itu, jelas polisi lebih dominan menjalankan pekerjaannya berdasar "ökol" dan bukan berpijak pada akal. Kemampuan akalnya sebagai mujtahid dikalahkan atau dilindas kekuatan okol yang dibingkai ambisi mengingkari Tribhata, yang juga dimenangkan berkat dukungan doktrin sabdo pandito.
Doktrin tersebut mengikat ketat polisi untuk berbuat (bertindak) melebihi apa yang sudah digariskannya sehingga unsur ketundukan dan kepatuhan dominan menguasainya. Kekuatan garis komando membuatnya dituntut mengikuti alur pola homogenitas atau gerak penyeragaman. Dengan penyeragaman ini, setiap individu polisi adalah segmentasi sistem yang menghegemoninya.
Berkat doktrin itu, polisi juga mengidap perasaan miopik untuk berkreasi atau berinovasi karena ada sanksi yang membayang-bayanginya jika keluar dari doktrin. Padahal, dalam berkreasi dan berinovasi tersebut, sulit rasanya menghindar dari kemungkinan terjerembab dalam kekhilafan dan kesalahan. Dan faktanya, tidak (pernah) ada kemajuan yang bisa diraih tanpa dilalui kesalahan yang diperbuatnya, kecuali kesalahan yang diproduk dari unsur kesengajaan. Dari pola bereksperimen yang ternyata salah, seseorang bisa memperoleh banyak pelajaran berharga untuk menjadi yang terbaik.
Doktrin itu jelas tidak bisa dipertahankan bukan semata demi pemberdayaan dan pencerdasan aparat polisi, tetapi juga memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan pembaruan atau reformasi di tubuh polisi. Masyarakat sangat berharap terhadap kinerja polisi yang berbasis moralitas, profesionalitas, dan intelektualitas
Masyarakat yang terus berubah dan membutuhkan layanan prima merupakan kawah candradimuka bagi polisi. Layanan prima itu hanya bisa dilakukan jika polisi mampu menangkap, membaca, dan menafsirkan kebutuhan masyarakat yang dilayani. Dalam tataran ini, polisi berarti tidak boleh mendiamkan dirinya dalam jagat eksklusif yang memisahkan atau mengalienasikan dari pencari keadilan. Pasalnya, beratnya tantangan tidak bisa hanya dijawab dengan kemampuan ala kadarnya sehingga memerlukan modal pendidikan lintas institusi yang bersifat inklusif dan egaliter.
Kasus-kasus kejahatan yang bersifat extraordinary crime membutuhkan jawaban cepat, kemampuan prima, dan keberanian memutuskan, tanpa harus mengikuti regulasi birokrasi berbasis "meminta dan menunggu petunjuk". Jika regulasi demikian yang menghegemoni, tidak salah stigma publik yang menempatkan polisi sebagai subjek hukum yang selalu kalah berpacu dengan penjahat-penjahat kakap.
Kalau masih dikerangkeng doktrin bercorak patron-client itu, berarti polisi tidak akan bisa membahasakan kepentingan masyarakat dengan bahasa kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Sebab, apa yang dilakukan polisi tersebut jelas-jelas paradoks dengan doktrin yang mengikatnya. Doktrin pertuanan yang hanya membolehkan polisi melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan protap represif adalah rambu-rambu yang membuat polisi tidak bisa berpikir dengan bening serta beraksi dengan cepat dan humanistis. (*)
Abdul Wahid, dekan Fakultas Hukum dan pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang dan penulis buku ''Republik Kaum Tikus "
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 November 2009