Berebut Kursi Gubernur

MENJADI gubernur itu enak. Betapa tidak, dana taktis relatif besar dan itu cenderung bisa ditabung. Setiap proyek bisa dapat fee sampai 5 persen. Bayangkan, satu proyek senilai Rp 160 miliar akan menambah isi tabungan Rp 8 miliar. Hitung sendiri, berapa banyak proyek selama lima tahun menjadi orang nomor satu di provinsi.

Tidak itu saja, proyek-proyek yang sifatnya penunjukan langsung, tanpa tender, bisa jatuh ke anak, saudara, istri, dan keluarga lainnya walau yang maju akhirnya orang lain. Sementara anak, saudara, dan istri gubernur hanya bermain di belakang layar dengan perolehan keuntungan yang wajar pula. Ini bukan rahasia umum lagi.

Makanya, jangan heran, banyak orang yang berminat menjadi gubernur. Bahkan, mantan gubernur pun berminat kembali jadi gubernur. Entah motivasinya karena enak menjadi gubernur tadi atau ingin melanjutkan program yang masih terbengkalai. Ada tokoh partai politik, ada birokrat, ada teknokrat, ada tokoh perantau, ada pengacara, ada juga pengusaha. Usianya beragam, dari yang muda sampai yang relatif tua. Ada yang berpengalaman dan berprestasi, ada juga yang tidak.

Bahkan, untuk mendongkrak popularitas, beragam upaya dilakukan. Bikin iklan di media massa, bikin kalender, bikin foto, spanduk, dan-sepertinya-ada yang bikin sensasi.

Menurut mantan Gubernur Sumatera Barat yang juga mantan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin, menjadi calon kepala daerah ibarat main lotre. Mereka memakai filosofi untung-untungan. Mencalonkan diri tidak melihat potensi atau mengukur diri sehingga calon-calon yang muncul memprihatinkan.

WAJAR kalau ada yang menilai calon gubernur yang muncul terkesan memprihatinkan. Karena, yang mengemuka adalah uang. Kalau tak punya uang, jangan mimpi menjadi gubernur.

Anggota Komisi A Bidang Pemerintahan dan Hukum DPRD Sumbar, Amora Lubis, memprediksi, calon gubernur di Sumbar yang maju bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) minimal harus memiliki modal Rp 20 miliar. Gunanya, proses perkenalan kepada rakyat.

Kebutuhan modal itu adalah tuntutan yang realistis untuk menjadi calon gubernur saat ini. Dana itu bukan untuk politik uang, tapi dana realistis untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat, katanya.

Senada dengan itu, tokoh masyarakat Sumbar yang juga tokoh pers nasional, Basril Djabar, mengatakan, semasa Orde Baru calon gubernur cukup menguasai wakil rakyat di DPRD dan uang yang perlu disiapkan sekitar Rp 1-3 miliar. Namun, dengan pemilihan kepala daerah langsung, uang Rp 3 miliar tidak cukup. Minimal punya dana Rp 20 miliar. Ini pertanda demokrasi itu mahal, katanya.

Karena butuh uang miliaran rupiah, Gamawan Fauzi, Bupati Solok dua periode, penerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) 2004, sempat gamang. Gamawan bukan pejabat yang punya banyak uang karena konsisten anti- KKN. Ia mengibaratkan dirinya calon gubernur yang marasmus kurang energi protein. Sementara Marlis Rahman yang berniat jadi calon gubernur membatalkan niatnya karena alasan uang tadi dan cukup menjadi calon wakil gubernur. (yurnaldi)

Sumber: Kompas, 23 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan