Berbagai Kecurangan Nodai Pemilu Presiden [06/07/04]

Berbagai bentuk indikasi pelanggaran dan kecurangan mewarnai pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakilnya kemarin. Indikasi berbagai pelanggaran dan kecurangan ini juga telah menodai pemilu langsung yang baru pertama kali dalam sejarah.

Di Jakarta misalnya, sekitar 200 orang asal Bogor berusaha mencoblos di Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Menurut Wakil ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Jakarta Pusat, D. Suhardadi, massa yang dikoordinasikan tokoh masyarakat Kwitang, Habib Fuad, diduga telah melakukan pelanggaran prosedural pemilu. Meski diakuinya Habib Fuad telah mendapat rekomendasi dari anggota Komisi Pemilihan Umum Jakarta Pusat berinisial Z untuk meloloskan pendaftaran 200 orang itu, menurut Suhardadi, kehadiran massa itu patut dicurigai. Itu aneh, ujarnya kemarin.

Di antara massa itu ada tiga orang anak perempuan yang tertangkap tangan oleh petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) 8 Kelurahan Kwitang. Berdasarkan kartu pemilih milik ketiga anak yang hendak melakukan pencoblosan itu diketahui bernama Tri Dewi Yulia, 17 tahun, Nurul Khotimah (15), dan Yeni Suryani (16).

Ketiganya, kata Suhardadi, kemudian dibawa ke kantor Panwaslu Jakarta Pusat dan kemudian diserahkan ke Polda Metro Jaya. Panwaslu sendiri, menurut Suhardadi, akan menyelidiki kasus ini sebelum membuat kesimpulan. Ketiga anak yang diwawancarai Tempo News Room menolak memberi penjelasan. Kami berhak diam dan tidak harus menjawab pertanyaan wartawan, kata seorang anak yang mengenakan baju berwarna pink.

Dari Solo, Bejo Siswo Mulyono, pelaku politik uang ditangkap dan dihajar massa pendukung Mega-Hasyim. Penduduk asal Kampung Losari RT 004/RW 003, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, tertangkap tangan dini hari kemarin sedang membagi-bagikan uang dan buku panduan mencoblos yang dikeluarkan tim kampanye Susilo Bambang Yudhoyono tingkat pusat.

Alhasil, Bejo pun digiring ke Mapolsek Pasar Kliwon untuk diperiksa karena tindakannya itu dianggap bentuk politik uang. Bejo juga dilaporkan kepada Panwaslu setempat. Kepala Polsek Pasar Kliwon AKP D. Edi Suroso mengaku telah menerima laporan dari kader PDIP yang menangkap Bejo. Dalam pemeriksaan, Bejo mengaku berusaha mencari seseorang untuk diberi honor sebagai saksi di TPS. Dari pengakuannya, Bejo memang mendapat uang sebesar Rp 625 ribu dari seseorang yang bernama Herlan, ketua Forum Masyarakat Pendukung SBY yang dimaksudkan untuk dibagikan kepada saksi di TPS, kata Edi kemarin.

Menurut Koordinator Bidang Penerimaan Laporan dan Tindak Lanjut Panwaslu Kota Solo, Aiptu Sakir, pihaknya masih menyelidiki kebenaran pengakuan Bejo. Boleh saja sebagai saksi mendapatkan honor, tetapi yang menjadi masalah apakah Bejo memiliki otoritas untuk membagikan honor tersebut. Karena saksi di TPS adalah urusan tim kampanye, ujar Sakir.

Sementara itu, Panwaslu menangkap Bari, warga Kudu, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur. Bari diketahui telah mencoblos di tempat lain sebelum di TPS 8 Desa Kudu. Yayuk, petugas TPS 8 Desa Kudu yang pertama kali mencurigainya. Saat pencelupan tinta, Yayuk menjelaskan, jempol tangan kanan Bari sudah ada tanda tintanya saat datang ke TPS 8. Lalu dia melaporkan pria itu ke petugas KPPS.

Sayangnya, surat suara yang telah dicoblos Bari telah dimasukkan ke kotak suara. Petugas KPPS pun membuka segel dan gembok kotak suara untuk mencari surat suara yang dicoblos Bari. Setelah empat kali menunjukkan kepadanya kertas suara yang telah dicoblos itu, petugas KPPS berinisiatif mencoblos lagi surat suara Bari dengan pasangan capres/cawapres lain dengan maksud membuat surat suara itu tidak sah. Bari selanjutnya diperiksa di Polsek Kertosono.

Di hadapan Panwaslu Kabupaten Nganjuk, Bari mengakui dia telah lebih dulu mencoblos di TPS Desa Mojokarang, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerta. Dia mencoblos dua kali karena memiliki dua kartu pemilih dan dua kartu undangan dari dua TPS di dua kabupaten berbeda. Hal ini terjadi karena dia memiliki dua KTP, kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Mojokerto.

Namun, inisiatif KPPS membongkar kotak suara disesalkan Panwaslu. Menurut Ketua Panwaslu Kabupaten Nganjuk, Herman, langkah KPPS ini bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran. Untuk membuktikan seseorang melanggar, tidak harus dengan cara melanggar pula, katanya.

Bentuk pelanggaran berupa serangan fajar juga ditemukan di antaranya di Kendari pada Minggu (4/7) malam. Tim sukses pasangan Wiranto-Wahid membagi-bagi baju kaus, stiker, serta pamflet kepada ratusan warga di Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan. Aksi bagi-bagi itu juga disertai ajakan mencoblos pasangan Wiranto-Wahid.

Sialnya, aksi bagi-bagi itu tanpa melakukan identifikasi. Akibatnya, seorang Koordinator Kecamatan Partai Amanat Nasional di Kecamatan Konda bernama Elsianto yang notabene pendukung Amien Rais ikut kebagian kaus.

Saya sangat kaget karena ketika sedang duduk-duduk di rumah tadi malam (4/7) tiba-tiba didatangi oleh sejumlah orang yang langsung membagikan baju kaus, stiker, dan pamflet disertai ajakan untuk mencoblos pasangan Wiranto-Wahid, kata Elsianto kepada Tempo News Room di Kendari kemarin.

Menurut Elsianto, salah seorang yang memberinya baju kaus bergambar Wiranto-Wahid diketahui mengaku bernama Abdullah Pidani. Orang itu, kata dia, datang bersama seorang rekannya dengan mengendarai mobil Nissan Terrano. Namun, Ketua Tim sukses Wiranto-Wahid di Sulawesi Tenggara, Amir Pidani membantah Abdullah Pidani sebagai anggota tim sukses.

Namun, anggota Panwaslu Sulawesi Tenggara Arief Rahman membenarkan adanya laporan serangan fajar di Kendari itu oleh tim sukses Wiranto-Wahid. Saat ini kami masih sedang mengumpulkan bukti-bukti, katanya kemarin.

Serangan fajar ternyata juga terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Dua pengurus PDIP di Sidoarjo membagi-bagi beras pada Minggu (4/7) malam. Panwaslu Sidoarjo menerima laporan dari Seno, seorang warga desa Segodobancang, Kecamatan Tarik, yang mengaku didatangi dua pengurus anak cabang PDIP Tarik, sekitar pukul 21.00

Dua pengurus partai yang bernama Sugeng dan Sunaryo itu mendatangi rumah Seno dan memberikan beras 2,5 kilogram sambil berpesan agar mencoblos gambar Mega-Hasyim. Namun, keduanya salah informasi karena setelah beras diterima, Seno mengatakan dia telah beralih mendukung SBY-Kalla.

Karena kecewa keduanya berniat meminta kembali beras itu, namun ditolak oleh Seno. Bahkan Seno melaporkan kejadian itu ke Panwaslu Sidoarjo sambil membawa barang bukti beras 2,5 kg. Panwaslu Sidoarjo langsung menyita barang bukti itu dan diserahkan kepada Panwas Kecamatan Tarik.

Di kota Padang, Panwaslu menemukan stiker kampanye Wiranto-Wahid berukuran 10 cm x 20 cm tertempel di meja salah satu bilik suara di TPS 4 Kelurahan Ulakkarang Selatan. Ketua Panwaslu Kota Padang M. Rifki mengatakan, temuan itu awalnya didapat dari pesan lewat SMS (short message service) ke telepon selulernya yang melaporkan ada stiker Wiranto-Wahid di bilik suara. Setelah saya cek ternyata informasi itu benar, ujarnya kemarin.

Pelanggaran lain, kata dia, petugas KPPS di TPS 9 Kecamatan Padang Barat membagi dua kotak suara menjadi untuk laki-laki dan untuk perempuan. Menurut Rifki, hal ini termasuk pelanggaran karena saat penghitungan suara ada potensi tekanan terhadap pemilih perempuan.

Dari Cirebon, sehari menjelang pencoblosan beredar selebaran gelap yang isinya mendiskreditkan kandidat presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Selebaran itu antara lain berisi daftar kepengurusan DPD Partai Demokrat di sejumlah daerah serta daftar nama caleg yang ditandai dengan tanda salib atau beragama Kristen.

Sumber: Koran Tempo, 6 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan