Berantas KKN Buku Pelajaran

Sekolah mana pun, baik negeri maupun swasta, tidak diperbolehkan lagi melakukan penjualan buku pelajaran secara paksa kepada anak didiknya. PP Menteri Diknas tersebut harus secepatnya disosialisasikan. Bagi yang melanggar PP tersebut akan dikenai PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Keluarnya PP No. 11 Tahun 2005 ini bisa menjadi tindak lanjut dari gebrakan Presiden RI tentang program buku lima tahun dan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pemerintahan SBY-Kalla dengan Kabinet Indonesia Bersatu-nya pada awal kekuasaannya telah mencanangkan buku yang berlaku 5 tahun, sehingga terbit peraturan presiden. Untuk pengaturan tersebut tidak ditempuh dengan SK presiden, melainkan dengan perpres, karena itu diharapkan akan berdampak pada sanksi bagi pelanggar. SK tersebut menekan, bahkan harus menghilangkan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) masalah perbukuan antara dinas pendidikan terkait dengan penerbit.

Sesederhana itukah menangani pemberantasan KKN masalah perbukuan di sekolah SD,SMP, dan SMA? Membenahi alur pemasaran buku ajar mengarah pada clean government menurut istilah Dr. Indra Jati Sidi, bagai menegakkan benang kusut. Ada apa sebenarnya dengan projek perbukuan di sekolah?

Persoalan perbukuan begitu kompleks, sebab masalah peredaran buku terkait banyak pihak. Permasalah pertama, kenyataan di lapangan pemerintah daerah yang masih ragu-ragu dalam melakukan pengaturan tata niaga buku di kawasan kabupaten/kota. Surat Keputusan Dirjen Dikdasmen Nomor 455/2004 dan Nomor 505/2004 tentang buku SD Berstandar Nasional masih belum ditindaklanjuti di daerah. SK itu sudah menjelasakan bahwa buku-buku yang terdapat dalam kedua SK tersebut adalah berstandar nasional. Masyarakat dipersilakan untuk memilih dari sejumlah buku yang terstandar. Demikian pula dengan dana bantuan pemerintah pusat dalam bentuk block grant disalurkan langsung kepada sekolah agar memilih buku terstandar tersebut sebagai buku pelajaran yang dibeli dari dana block grant tersebut.

Sebagai pihak yang mendapat wewenang otonomi pendidikan, pemerintah kabupaten atau kota seharusnya berani mengambil sikap dalam mengatasi tata niaga buku, yaitu misalnya dengan menggunakan surat edaran kepada semua kepala sekolah atau komite sekolah dan orang tua untuk diharapkan menggunakan buku-buku bersatandar nasional dan menghindari penjualan kepada siswa atau pembelian orang tua melalui guru berupa LKS (lembar kerja siswa). LKS secara umum setelah dianalisis isi yang terkandung di dalamnya, tidak berorientasi kepada Kurikulum 2004, selain itu tidak tampak suatu proses pembelajaran yang mengarah pada peningkatan kegiatan siswa dalam belajar mata pelajaran tersebut.

Permasalah kedua, sekolah telanjur janji dengan penerbit tertentu. Biasanya menjelang tahun ajaran baru, penerbit sudah melobi instansi terkait. Mereka berebut projek untuk pengadaan buku. Para penerbit begitu royal kepada pihak sekolah, dinas, dan orang berwenang lainnya. Mereka, selain menyodorkan diskon harga atau potongan harga yang signifikan, antara 40-50%, memberikan pula hadiah. Hadiah yang diberikan penerbit, di antaranya pengadaan alat-alat laboratorium, menyumbang perangkat komputer, perlengkapan olah raga, bahkan ada yang memfasilitasi guru-guru dan keluarganya berwisata.

Lobi penjualan buku tersebut dimulai dari tingkat dinas terkait, agar turun surat rekomendasi untuk menggunakan buku tersebut. Biasanya susuguh untuk pembuat keputusan, bisa berupa uang dengan patokan harga tertentu, atau berdasarkan persentase jumlah buku yang beredar. Misalnya, sepuluh persen dari buku yang terjual di sekolah. Apabila sudah mengantongi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan