Beranikah Capres-Cawapres Buka SPT Pajak?

Membuka Surat Pertanggungjawaban Pajak (SPT Pajak) adalah bukti komitmen dan kejujuran kedua pasangan capres-cawapres. Bahwa wacana soal kebocoran keuangan negara dan janji-janji kampanye mereka bukan hanya omong kosong. SPT Pajak juga dapat menjadi alat ampuh membuktikan bahwa kekayaan para calon didapat dengan cara yang taat hukum, dan tidak ada pengemplang pajak yang menyumbang dana kampanye.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas menyatakan bahwa cerita-cerita dalam kampanye Pemiliihan Presiden 2014 oleh kedua pasang kandidat soal “kebocoran uang negara, Indonesia bangkit, Indonesia sejahtera, dan lain-lain”, akan menjadi omong kosong belaka kalau masing-masing pasangan kandidat tidak membuka Surat Pemberitahuan Pajak (SPT pajak).

“Kalau mereka tidak berani membuka ke publik, maka cerita-cerita kebocoran dan kesejahteraan hanya akan jadi omong kosong belaka,” ujar Firdaus dalam konferensi pers di kantor ICW, Senin (30/6) lalu. “Sebagai bagian dari komitmen integritas dan keseriusan dia dan janji kampanyenya, kita meminta buka SPT-nya.”

Menurut Firdaus, koalisi masyarakat sipil menantang kedua pasangan capres-cawapres untuk membuka SPT-nya paling tidak untuk tiga tahun terakhir. Sebab, menurut Firdaus, kedua pasangan calon menjadikan kebocoran penerimaan negara sebagai bahasan penting dalam kampanye mereka. Maka, kandidat ditantang untuk memulai langkah konkret untuk mengatasi kebocoran tersebut dengan membuktikan ketaatan pajak diri mereka sendiri.

Walaupun Undang-Undang Perpajakan menjamin kerahasiaan SPT Pajak, SPT tetap dapat dibuka oleh wajib pajak (WP) sendiri sebagai pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atau setelah mendapatkan izin Kementerian Keuangan.

Firdaus mengajak publik melihat latar belakang keempat calon presiden dan wakil presiden yang semuanya pengusaha.

“Mereka semua berangkat dari latar belakang pengusaha. Tapi yang ingin kita tahu, apakah dengan latar belakang pengusaha, apakah didorong oleh tim sukses –baik langsung maupun tidak langsung—yang sebagian besar berasal dari kalangan pengusaha,” kata Firdaus.

“Apakah kedua pasang kandidat bisa menjamin dana kampanyenya bisa diverifikasi oleh publik? Ini dimulai dari menyampaikan SPT terutang tiga tahun terakhir. Ini jadi ukuran penting, seberapa besar kejujuran dan komitmen mewujudkan janji-janji mereka soal mengatasi kebocoran,” ujar Firdaus.

Firdaus berharap publik mau sungguh-sungguh menilai siapa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tidak mau atau tidak jujur dalam menyampaikan data pajak.

Jangan sampai omong doang

Peneliti Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Mouna Wasef menyampaikan bahwa para calon diduga menerima dana tidak sedikit di musim kampanye dari pengusaha dan orang pribadi.

“Jangan sampai mereka tidak buka SPT karena para penyumbang dari pengemplang pajak,” Mouna memperingatkan. “Keberanian para capres-cawapres membuka SPT mereka adalah komitmen mereka terhadap transparansi dan anti politik transaksional.”

“Kalau bukti konkretnya mereka tidak melaksanakan, berarti sebatasan omong doang,” tegas Mouna.

Sebelumnya, Forum Pajak Berkeadilan sudah mengirimkan surat yang meminta masing-masing pasangan capres-cawapres untuk membuka SPT Pajak dan kedua pasangan sudah menerima suratnya. Dari pemberitaan di media, masing-masing tim capres-cawapres menyatakan kesediaan.

“Kita sudah mengirimkan itu tanggal 11 Juni kemarin dan ternyata, respon dari mereka kurang positif. Jadi di media bagus, tapi ketika kita minta klarifikasi pernyataan soal SPT, mereka tidak bersedia datang. Ini antara yang diucapkan dan dilakukan berbeda,” tutur Direktur Perkumpulan Prakarsa Setyo Budiantoro dalam kesempatan yang sama.

“Kalau kita mau pembangunan berhasil, kita butuh anggaran cukup dan artinya pajak kita harus optimal. Dan kalau seperti ini saja, tidak akan optimal. Maka kedua pasangan capres-cawapres harus kasih contoh, data-data pajak dibuka ke publik agar publik juga patuh lebih baik terhadap pajak,” saran Budi.

Budi melanjutkan bahwa kubu Prabowo-Hatta Rajasa paling responsif menanggapi permintaan ini, setidaknya di media.

“Nurul Arifin mengatakan bersedia. Kalau lihat isunya, mereka yang lebih berkepentingan untuk membuktikan. Tapi dari Jokowi-JK, terutama JK, mau memperlihatkan itu,” jelas Budi.

Menurut dia, tanggapan dari kubu Prabowo-Hatta maupun Jokowi-Jusuf Kalla sangat positif karena masalah besar Indonesia adalah korupsi.

“Kalau kekayaan pejabat publik itu dibuka, dan kemudian kita bisa menelusuri ke depan, apakah kekayaannya bertambah signifikan atau tidak wajar? Apakah ada yang disembunyikan?” tambahnya.  Sebab, kata Budi, kalau publik tahu berapa kekayaan mereka, publik bisa menelusuri.

“Kalau tidak, di pemerintahan selanjutnya, dari presiden ke bawah kemudian tidak bisa ditelusuri pendapatannya dari mana, kalau dari pemberantasan korupsi juga susah,” tuturnya.

Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang wajib diserahkan semua calon presiden dan wakil presiden, tidak mencantumkan ketentuan mengenai pajak.

“(LHKPN) cuma dinamisasi kekayaan. Dalam LHKPN tidak dicantumkan terkait misalnya kewajiban pajak,” kata Firdaus.

Firdaus menambahkan, SPT bisa jadi alat yang ampuh untuk saling mengonfirmasi kebenaran dengan LHKPN, walau ia mengakui masih banyak modus untuk memanipulasi baik SPT dan LHKPN.

Namun, Firdaus mengingatkan, semangat membuka SPT adalah “melihat niatan baik dari kedua kandidat.”

“Kalau dia bicara tentang ‘bocor, bocor…’, tapi terakhirnya, ‘ah nakal’, kan seperti iklan jadinya,” seloroh Firdaus.

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), memang tidak ada kewajiban untuk melampirkan SPT pajak. PKPU hanya mewajibkan pelaporan dana dan belanja kampanye serta LHKPN untuk calon yang bekerja sebagai pejabat negara.

“Untuk pajak belum ada,” kata Firdaus.

Kemudian kedua, karena besok KPU akan mengumumkan hasil laporan harta kekayaan capres-cawapres nomor dua, maka besok kami teman-teman koalisi kami akan menyampaikan permintaan ini resmi ke KPU. Karena di sini akan hadir perwakilan tim sukses masing-masing pasangan calon.

Alat ampuh melawan politik transaksional

Peneliti dari Indonesia Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar menyatakan bahwa SPT bisa meminimalisir praktek politik transaksional pada rezim kepemimpinan mendatang.

“Sebagaimana kita ketahui, semua calon berjanji akan ada perubahan mendasar dalam budaya politik kita. Pertanyaannya, di mulai dari mana? Dari SPT pajak. Sejauh mana dia bisa transparan dengan apa yang pernah dilakukan dan apa yang dimilikinya. Di titik itu, kalau para calon ini transparan terhadap hal-hal yang menyangkut isu publik seperti korupsi, hal itu bisa meminimalisir tawanan atau jebakan lawan-lawan politiknya,” tukas Erwin.  

Erwin mengingatkan, dalam sepuluh tahun terakhir, kebijakan-kebijakan publik bukan dibuat atas dasar prinsip demokrasi tapi sebatas transaksi politik belaka.

“Karena saling memegang rahasia, dan kepentingan publik yang dikorbankan,” kata Erwin prihatin. “Maka, membuka SPT pajak adalah upaya pertama untuk meminimalisir praktek-praktek transaksional.” 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan