Bencana ketika Pemilu Berlalu

KETIKA musibah Situ Gintung meledak (27/3), presiden dan wakil presiden langsung terjun ke lokasi hari itu juga. Reaksi solidaritas bermunculan, khususnya dari politisi (baca: calon legislatif) dan partai politik. Bahkan, SBY rela dibonceng menggunakan sepeda motor menerjang kemacetan jalanan menuju tempat becana.

Inilah momen paling strategis bagi politisi untuk menunjukkan kepedulian kepada masyarakat. Sebab, bencana itu ''datang tepat'' pada waktunya. Yakni, kurang lebih satu minggu sebelum pemilu legislatif berlangsung.

Namun, kepedulian yang ditunjukkan para elite politik tersebut kini berbanding terbalik saat terjadi gempa di Tasikmalaya beberapa hari lalu (2/9). Tidak ada satu pun pejabat penting yang langsung terjun ke lokasi, kecuali pejabat lokal. Padahal, ribuan pengungsi korban gempa berkekuatan 7,3 skala Richter tersebut hingga hari ini masih telantar di Tasikmalaya. Lengkap sudah derita mereka ketika bantuan dari para pemimpin dan pemerintah yang diharapkan pun tidak datang dengan mudah.

Sungguh sebuah respons dan sikap yang jauh berbeda ketika bencana terjadi sebelum pemilu. Gempuran bantuan dan empati seakan lenyap seiring kepentingan politik itu selesai. Bencana memang benar-benar bencana bagi rakyat ketika pemilu berlalu. Bandingkan dengan reaksi terhadap bencana Situ Gintung, misalnya. Semestinya, bencana -apalagi yang menewaskan korban jiwa- bagaimanapun dan sekecil apa pun, tidak boleh dibedakan; melepas segala kepentingan.

***

Absennya kepedulian para politisi dan partai dalam bencana ketika pemilu usai dapat menyeruakkan keraguan publik bahwa para politisi tidak benar-benar memedulikan nasib rakyat. Mereka peduli ketika butuh suara rakyat saat pemilu. Ironisnya, justru pada saat korban bencana merana, para wakil terpilih, DPR-DPD 2009-2014, rencananya menghabiskan biaya pelantikan yang sangat besar, sekitar Rp 75,61 miliar.

Para politisi seolah hanya memikirkan bagaimana mendapatkan pundi-pundi untuk kelompoknya semata; merebut kabinet dan jabatan di parlemen. Sementara rakyat yang terkena bencana tidak lagi diperhatikan karena momen kepentingan pilitik itu telah usai. Bukankah mereka tidak akan pernah duduk sebagai wakil tanpa dukungan para korban bencana tersebut?

Beberapa catatan perlu disampaikan terkait kondisi tersebut. Pertama, bencana mudah dijadikan komoditas politik, karena mampu mereproduksi citra populis/peduli para donatur untuk korban. Inilah yang disebut pseudo-populis atau populis tipuan (Agus Hilman, Jawa Pos, 1/4). Partai dan politisi hanya melihat bencana dalam kalkulasi politik. Jika menguntungkan bagi citra dan kekuasaannya, bencana diperhatikan. Tetapi, bencana diabaikan jika dianggap tidak produktif.

Kedua, fenomena tersebut menegaskan diskontinuitas/inkonsistensi perilaku politisi dan partai terhadap konstituen. Keberjarakan politisi dan parpol akibat menguatnya mindset pragmatisme politik yang transaksional antara politisi dan konstituen. Politik uang (money politics) yang dikeluarkan untuk merayu pemilih dikalkulasi sebagai bentuk transaksi jual-beli suara. Tesis yang terbangun kemudian politisi merasa relasi tanggung jawabnya terhadap konstituen sudah putus ketika pemilu usai, karena relasinya jual-beli.

Arjen Boin dan Paul Hart pernah menganalisis bagaimana politik merespons bencana di Belgia yang mampu menjelaskan varian respons terhadap bencana. Terkadang bencana yang lebih besar tiada respons, tetapi sisi lain bencana yang lebih kecil justru mendapat porsi respons yang cukup besar dari politisi. Hal ini bisa jadi disebabkan aspek "keuntungan" politik yang terkandung di dalamnya lebih menguntungkan daripada pada bencana lain yang lebih besar.

Cerita bencana yang selalu dimanfaatkan, baik secara politik atau bahkan ekonomi, memang bukanlah lembar cerita baru. Selalu ada aktor yang menunggangi bencana untuk kepentingan sendiri. Di dunia ekonomi, bencana acap menjadi ladang konspirasi untuk mengeruk keuntungan oleh kaum pemodal yang sering disebut kapitalisme bencana (disester capitalism). Menurut Naomi Klein (2007), bencana acapkali dijadikan momentum yang tepat untuk memengaruhi kebijakan publik dan menancapkan pasar bebas.

Nyatanya di beberapa negara, pascabencana dijadikan lahan untuk mengeruk keuntungan modal melalui proyek recovery. Ini terjadi, baik pada bencana alam maupun yang sengaja diciptakan, seperti perang. Di Iraq, misalnya, pascaagresi tentara Amerika Serikat, para konglomerat yang turut memenangkan George W. Bush sebagai presiden AS, langsung mendapat jatah untuk menguasai kilang-kilang minyak di sana (Amy Goodman, 2003). Sebuah bencana yang diciptakan melalui perang untuk kepentingan korporasi. Inilah salah satu perangai disester capitalism.

Bencana memang selalu tidak memihak kepada korban. Ibarat jatuh tertimpa tangga, duka karena lenyapnya harta benda dan ancaman rusaknya tata nilai lokal akibat bencana, malah menjadi bahan komoditas. Bencana benar-benar menjadi bencana ketika kejujuran mata hati ditutupi oleh kabut hasrat kekuasaan dan kapital.

Kini, bencana alam akan terus mengancam ke depan. Sementara harapan terhadap para pemimpin/politisi untuk benar-benar berpihak tanpa pamrih semakin tipis. Haruskah menunggu pemilu lagi agar kepedulian politisi dan partai bergairah kembali?

Agus Hilman, mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UI, Depok

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan