Bencana Kekuasaan Kehakiman
Boleh jadi hari Selasa (7/10) merupakan salah satu hari ”penting” dalam perkembangan sejarah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Pada hari itu, Bagir Manan tetap menjadi Ketua MA meski usianya telah melewati batas maksimal yang ditentukan undang-undang; dan pengunduran diri Jimly Asshiddiqie sebagai hakim konstitusi meski masa jabatan lima tahun baru dijalani kurang dari dua bulan.
Jika diletakkan dalam upaya pembaruan kekuasaan kehakiman, kedua kejadian itu amat bertolak belakang. Di satu sisi, Bagir yang telah lama didesak untuk pensiun, tetap bertahan sebagai Ketua MA. Bahkan, saat batas usia sebagai hakim agung terlewati, Bagir tidak melakukan langkah nyata untuk berhenti sebagai ketua MA. Sementara itu, saat kehadirannya masih dibutuhkan guna melanjutkan pengembangan MK, Jimly merasa tidak perlu melanjutkannya sebagai hakim konstitusi.
Dengan kejadian itu, wibawa MA kian tergerus. Begitu pula pengunduran diri Jimly, kenegarawanan seorang hakim konstitusi dipertanyakan banyak kalangan. Meski dikatakan bertolak belakang, pilihan Bagir dan Jimly dapat bermuara pada titik yang sama: bencana di ranah kekuasaan kehakiman.
Inkonstitusional
Dua tahun lalu, saat sejumlah hakim agung memasuki usia 65 tahun, tindakan Bagir memperpanjang usia pensiun sejumlah hakim agung termasuk dirinya menjadi 67 tahun, memicu kontroversi. Meski UU No 5/2004 tentang MA memberi ruang untuk perpanjangan usia pensiun hakim agung, kontroversi itu tidak bisa dihentikan karena tidak jelasnya kriteria ”mempunyai prestasi kerja luar biasa” sebagaimana disyaratkan Pasal 11 Ayat (2) UU No 5/2004.
Sesuai kriteria itu, sejumlah kalangan yang concern atas pembaruan dan kinerja MA menilai, sebagian hakim agung yang mencapai usia 65 tahun tidak layak diperpanjang. Gugatan perpanjangan usia pensiun dari 65 tahun menjadi 67 tahun menghadapi kendala yuridis karena Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU No 5/2004 memberi cek kosong kepada MA untuk menentukan sendiri kriteria ”mempunyai prestasi kerja luar biasa” itu.
Ketika batas maksimal usia 67 tahun datang, tidak ada lagi argumentasi yuridis yang dapat membenarkan Bagir bertahan di MA. Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan yang mengatakan, sejak tanggal 6 Oktober, tidak ada dasar hukum lagi bagi Bagir untuk bertahan sebagai Ketua MA, termasuk menjalankan fungsi administratif (Kompas, 8/10). Sulit dibantah, batas maksimal itu pula yang mendorong sejumlah partai politik mempercepat revisi UU No 5/2004.
Namun, apa pun yang terjadi dengan UU No 5/2004, ia tidak lagi berpengaruh terhadap Bagir. Dalam pengertian itu, desakan Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, agar DPR segera menyelesaikan revisi UU No 5/2004 yang memperpanjang usia pensiun hakim agung dari 67 tahun ke 70 tahun (Kompas, 8/10) tidak bisa mempertahankan Bagir sebagai hakim agung dan sebagai Ketua MA. Semua pihak hendaknya menyadari, sejak 6 Oktober 2008 Bagir tidak lagi memenuhi ”syarat” sebagai hakim agung, termasuk sebagai Ketua MA. Meminta Bagir bertahan merupakan tindakan inkonstitusional.
Ujian negarawan
Berbeda dengan Bagir, langkah Jimly menimbulkan perasaan campur sari berbagai kalangan yang selama ini concern terhadap perkembangan MK. Mayoritas kalangan sepakat, Jimly memberi kontribusi besar menjadikan MK seperti hari ini. Selama dua periode kepemimpinannya, MK tumbuh dan berkembang menjadi sosok peradilan modern. Dengan keterbukaan, akses publik, dan manajemen perkara yang dibangun selama ini, MK jauh meninggalkan MA.
Karena keberhasilan itu, pernah muncul wacana terbatas kalangan pemerhati MK untuk menyebut Jimly sebagai ”Bapak Peradilan Modern Indonesia”. Wacana itu menghilang seiring dengan kian terbacanya imajinasi Jimly menoleh ke ”luar” MK. Padahal, karena satu-satunya jabatan publik yang mensyaratkan negarawan, menjadi hakim konstitusi seharusnya menjadi puncak karier. Begitu seseorang terpilih menjadi hakim konstitusi, ia harus membunuh semua keinginan dan godaan yang ada di luar gedung MK.
Ujian sebagai seorang negarawan tidak hanya dapat dilihat dari kemampuan membunuh keinginan dan godaan itu, tetapi juga dari kesiapan menerima proses internal MK. Dalam kaitan itu, pengunduran diri itu menunjukkan kepada kita, Jimly gagal melewati salah satu ujian menjadi negarawan.
Alasan Jimly mundur karena merasa tugasnya membangun institusi MK telah rampung dan merasa bisa lebih bebas berbicara kepada publik setelah mundur sulit diterima dalam posisinya sebagai seorang hakim konstitusi. Pertanyaannya sederhana, apakah alasan-alasan itu akan tetap muncul jika Jimly terpilih lagi menjadi Ketua MK Agustus lalu?
Pelajaran
Saya sepandapat dengan Tajuk Rencana (Kompas, 8/10), kita tidak ingin hakim agung dan hakim konstitusi terjebak permainan politik kekuasaan. Karena itu, pengalaman Bagir dan Jimly harus menjadi pelajaran penting dalam pembangunan kekuasaan kehakiman ke depan.
Dalam hal ini, MA harus membenahi proses pengisian jabatan Ketua MA. Harus ada pengaturan yang jelas, dalam waktu tertentu, sebelum berakhirnya jabatan Ketua MA harus dilakukan pemilihan ketua baru. Dengan cara seperti itu, tidak akan ada lagi Ketua MA melewati batas usia yang ditentukan undang-undang. Jangan terlantarkan posisi Ketua MA karena proses politik di luar gedung MA.
Begitu juga dengan MK, proses internal tidak boleh menempatkan Ketua MK sebagai atasan yang membuat posisinya menjadi amat berbeda dengan hakim-hakim konstitusi yang lain. Jika dibuat perbedaan mencolok, setiap Ketua MK pasti gamang kembali menjadi hakim biasa. Berkaca pada proses internal perguruan tinggi. Seorang dosen bisa saja terpilih menjadi dekan atau rektor, begitu tidak lagi menjadi rektor atau dekan, mereka kembali menjadi dosen biasa.
Perlu dicatat, mengabaikan proses-proses internal di MA dan MK berpotensi menimbulkan bencana di ranah kekuasaan kehakiman. Kalau itu terjadi, hakim agung dan hakim konstitusi akan mudah terjebak pada permainan politik kekuasaan.
Saldi Isra Direktur Pusat Studi Konstitusi; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unand Padang; Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 Oktober 2008