Benarkah KPK Diskriminatif?
Menarik menyimak hasil rapat dengar pendapat antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi masalah hukum, dan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin (26/9) malam.
Dalam pertemuan, sejumlah anggota Komisi III DPR mempertanyakan mengapa sampai saat kini KPK hanya menyentuh sebagian kalangan yang terkait dengan skandal korupsi di Komisi Pemilihan Umum.
Sejumlah anggota Komisi III DPR menilai KPK bersikap diskriminatif dalam pengusutan kasus korupsi di tubuh KPU karena pengusutan itu tidak berlaku sama terhadap semua anggota KPU.
Padahal, menurut seorang anggota Komisi III, Trimedya Panjaitan dari Fraksi PDI Perjuangan, pengakuan saksi-saksi (seperti Hamdani Amin, Sussongko Suhardjo, dan bendahara KPU Sri Ampini) di pengadilan sudah cukup untuk menyeret semua anggota KPU. Bahkan, dalam pandangan anggota Komisi III yang lain, Benny K. Harman dari Fraksi Partai Demokrat, sejak kasus KPU muncul, ia sudah mencium ada beberapa orang yang tidak akan diseret KPK (Kompas, 28/9).
Lalu, benarkah KPK diskriminatif dalam penanganan skandal korupsi yang terjadi di KPU? Pertanyaan ini menjadi amat masuk akal karena sampai saat ini beberapa orang anggota dan bekas anggota KPU belum tersentuh sama sekali. Apalagi sebagian dari yang belum terjamah itu (seperti Hamid Awaluddin dan Anas Urbaningrum) punya relasi yang cukup kuat dengan pusat kekuasaan.
Sebetulnya, kalau dilihat kronologi pengungkapan skandal korupsi yang terjadi di KPU, saya termasuk orang yang percaya bahwa semua kalangan yang tersangkut dengan kasus itu akan dengan mudah diungkap ke permukaan. Keyakinan ini tidak hanya karena kesigapan KPK dalam menelusuri kasus penyuapan seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang dilakukan oleh Mulyana W. Kusuma, tapi juga karena kemampuan KPK menggeledah dan mengumpulkan barang bukti di gedung KPU.
Hasil dari semua terobosan itu, KPK menahan beberapa orang tokoh penting di KPU, termasuk Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin.
Dengan penahanan beberapa orang tokoh penting itu, saya semakin yakin bahwa perubahan status hukum anggota dan bekas anggota KPU yang lain hanya masalah waktu.
Dikatakan demikian karena, dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, kalau seorang di antaranya sudah dijadikan tersangka, yang lain pun tidak ada alasan untuk tidak dijadikan sebagai tersangka.
Dalam teori penyertaan, semua pihak yang turut serta melakukan tindak pidana tidak mungkin menghindar dari kemungkinan ancaman pidana. Keterlibatan bisa bermacam-macam, baik orang yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doen plegen), maupun turut melakukan (medepleger).
Berdasarkan argumentasi di atas, terasa aneh kalau KPK belum mau melangkah lebih jauh menentukan status hukum anggota KPU yang lain karena terkendala masalah pembuktian.
Setidaknya, sampai sejauh ini, beberapa saksi yang diperiksa sudah menegaskan bahwa semua anggota KPU menerima dana taktis yang berasal dari rekanan KPU. Artinya, dengan keterangan yang ada, sudah cukup alasan untuk menjadikan semua anggota dan bekas anggota KPU sebagai tersangka.
Apalagi, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, seseorang dapat dijadikan tersangka berdasarkan bukti permulaan sehingga yang bersangkutan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Menyangkut keterangan saksi, sampai sejauh ini, KPK kesulitan mengelola keterangan yang ada. Tambahan lagi, beberapa keterangan (terutama anggota dan bekas anggota KPU) cenderung tidak konsisten dan bertentangan.
Terkait dengan masalah ini, dalam Quo Vadis Kasus Korupsi KPU (Koran Tempo, 27/4), saya menyatakan, untuk menghadapi keterangan saksi yang demikian, KPK harus mampu menemukan benang merah dari semua keterangan yang ada.
Bisa saja keterangan yang inkonsisten dan bertentangan itu sudah dirancang sedemikian rupa sehingga KPK kesulitan bergerak lebih jauh untuk mengungkap skandal korupsi yang terjadi di KPU.
Kalau masih kurang yakin dengan keterangan yang ada, KPK masih bisa menambah dengan hasil audit investigasi BPK. Berdasarkan keterangan Ketua BPK Anwar Nasution, semua anggota KPU yang terlibat lima proyek pengadaan logistik Pemilihan Umum 2004 diduga melakukan korupsi (Koran Tempo, 21/4).
Temuan BPK masih bisa dilengkapi dengan bukti-bukti milik Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pemilihan Umum Bersih dan Berkualitas. Jauh sebelum skandal korupsi KPU mencuat, Koalisi LSM ini telah menunjukkan penyelewengan, dari pengadaan kendaraan operasional sampai distribusi logistik, dari penyediaan formulir sampai validasi film surat suara, dan dari pengadaan kartu pemilih sampai pengadaan segel.
Sebetulnya, dengan segala macam keterangan dan bukti permulaan yang sudah ada, tidak cukup kuat alasan mengatakan bahwa masalah pembuktian merupakan hambatan terbesar untuk menjadikan semua anggota dan bekas anggota KPU sebagai tersangka.
Saya percaya, semua bukti pendukung yang menjadikan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin sebagai tersangka hampir sama kuatnya dengan bukti-bukti keterkaitan anggota dan bekas anggota KPU yang lain. Artinya, kalau sebagiannya masih tetap dengan status sekarang, amat mungkin perbedaan perlakuan itu dipengaruhi oleh faktor nonhukum.
Secara hukum, bukti-bukti permulaan sudah cukup. Bahkan beberapa orang (baik yang terindikasi sebagai pleger, doen plegen, maupun medepleger) sudah dinyatakan bersalah, dijadikan tersangka, dan ditahan.
Tambahan lagi, skandal korupsi di KPU sangat memenuhi anasir Pasal 11 UU Nomor 30/2002, yaitu tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.
Saya percaya apa yang telah dicapai KPK selama ini amat positif dalam agenda pemberantasan korupsi. Namun, satu tantangan terberat KPK saat ini adalah membuktikan bahwa tudingan sejumlah anggota Komisi III DPR tidak benar.
Caranya, segera tuntaskan skandal korupsi yang terjadi di KPU. Kalau tidak, tudingan diskriminatif sulit untuk dihindari. Sebagai superbody dalam agenda pemberantasan korupsi, KPK tidak boleh kehilangan kekuatan menghadapi skandal korupsi yang terjadi di KPU.
Saldi Isra, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang;Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 Oktober 2005