Benang Kusut Lembaga Peradilan

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sangat kontroversial. Putusan tersebut secara ringkas mengandung tiga hal.

Pertama, permintaan 31 hakim agung pemohon pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial (UU KY) untuk tidak memasukkan hakim agung sebagai bagian dari definisi hakim dianggap tidak beralasan.

Kedua, wewenang mengawasi hakim yang dijabarkan dalam UU KY menggunakan rumusan kalimat yang berbeda dengan konstitusi sehingga bermasalah dalam normanya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan demikian, sampai dengan UU KY diubah, wewenang KY untuk mengawasi perilaku hakim tidak ada lagi.

Ketiga, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tidak termasuk dalam definisi hakim sehingga hakim konstitusi tidak termasuk obyek pengawasan KY.

Jalan keluar?
Berbagai kritik atas putusan tersebut tentu saja bisa dilontarkan. Sebab, implikasinya adalah digunakannya mekanisme pengawasan internal Mahkamah Agung (MA) yang sudah banyak menuai kritik. Yang lebih parah, MK menyatakan sendiri bahwa ia tidak bisa diawasi.

Namun, sesungguhnya putusan ini mengandung aspek penting yang tidak banyak disorot. Kebanyakan pihak melihat putusan ini sebagai lanjutan dari perseteruan MA-KY. Padahal, putusan ini bisa jadi merupakan jalan keluar perseteruan itu.

Dalam negara demokrasi modern, penyelenggaraan kekuasaan negara dibagi dalam cabang-cabang kekuasaan secara agak ketat. Pemerintah menyelenggarakan negara, lembaga perwakilan memberikan arahan umum (dalam bentuk undang-undang dan anggaran) serta mengawasi penyelenggaraan negara, dan lembaga peradilan memutus sengketa dan gangguan ketertiban. Karena kekuasaan memutusnya yang khusus, independensi lembaga peradilan harus dijaga ketat. Peradilan harus bebas dari intervensi dua cabang kekuasaan negara lainnya. Karena itulah, walaupun perseteruan MA dan KY sudah sangat meletihkan, sulit untuk bisa mengatasinya secara kelembagaan.

Dalam konteks ini, satu-satunya intervensi yang bisa dilakukan oleh dua cabang kekuasaan negara lainnya adalah dengan menggunakan fungsi yang dimilikinya, yaitu fungsi legislasi. Sayangnya, peran ini agaknya tidak disadari oleh keduanya. Kalaupun mungkin disadari, tidak ada tenaga pendorong untuk segera melakukannya. Di sinilah peran putusan MK ini.

Perbaikan menyeluruh
Sembilan hakim MK dalam pertimbangan hukum merekomendasikan kepada pembuat undang-undang (DPR dan Presiden) untuk segera menyempurnakan UU KY, termasuk memasukkan rincian prosedur pengawasan. Bahkan, MK menganjurkan pula perbaikan menyeluruh sistem peradilan. Dikatakannya, perlu ada Perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.

Masuknya rincian rekomendasi seperti itu dalam putusan dapat menimbulkan pro-kontra di kalangan ahli hukum. Namun melalui putusan ini, MK sesungguhnya mengangkat isu besar: kekusutan sistem peradilan kita. Misalnya saja, bagaimana menyinkronkan putusan dua lembaga, MK dan MA, atas peraturan perundang-undangan? Sebab MK menguji materi UU berdasarkan konstitusi, sementara MA menguji peraturan di bawah UU berdasarkan UU. Begitu pula dengan pembedaan proses sengketa hasil pemilihan umum yang dilakukan MK dan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilakukan MA.

Bola panas di DPR
Pertanyaan penting: bisakah DPR dan pemerintah mengambil peran ini? Padahal pekerjaan rumah legislasi sudah menumpuk. Sementara itu, harus diakui DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang juga sering lalai dalam merespons putusan MK yang kadang menimbulkan kekosongan hukum. Harus ada pendorong agar mereka mau dan mampu menyelesaikan tugas ini. Tenaga pendorong ini berupa kondisi politik yang memaksa mereka bergerak cepat.

DPR harus melihat kondisi ini sebagai kondisi politik yang luar biasa. Anggota DPR sebaiknya tak lagi berkutat dan terjebak dalam opini soal kekalahan KY dan buruknya putusan MK. DPR harus tangkas mengambil momentum ini untuk menunjukkan keberpihakannya pada rakyat.

Putusan MK ini menyatakan bahwa sampai UU KY direvisi mekanisme pengawasan internal MA-lah yang akan digunakan. Akibatnya, mafia peradilan leluasa bergerak dan pencari keadilan yang tidak punya akses modal dan kekuasaan akan selalu dikalahkan. Begitu pula mekanisme pengawasan atas MK harus dibicarakan lebih lanjut. Karena itu, DPR yang peduli seharusnya merespons sesegera mungkin dengan tindakan.

DPR harus memfasilitasi pertemuan yang menghadirkan MA, MK, KY, dan pemerintah, sebagai pemangku kepentingan sistem peradilan. Untuk membuatnya efektif, setiap lembaga harus membuat suatu identifikasi masalah secara tertulis terlebih dulu. Masukan tertulis dan curah pendapat dalam rapat inilah yang dituangkan dalam sebuah laporan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan