Benahi Sektor Migas

Sektor minyak dan gas (migas) kembali menjadi sorotan. Kali ini Depkeu menguak fakta bahwa ada lima kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang menunggak pajak penghasilan (PPh) selama 2008-2009. Nilai tunggakan itu plus sanksi bunganya cukup besar. Yakni, USD 113,11 juta atau hampir Rp 1,3 triliun, meski kemarin Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merevisi menjadi USD 83,493 juta atau sekitar Rp 1 triliun.

Berdasar hasil audit BPKP, kelima kontraktor migas tersebut adalah ExxonMobil, JoB Pertamina-Golden Spike Raja Blok, Kangean Energy, Santos UK (Kakap 2), dan Kodeco Energy. PPh migas harus dibayar paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Apabila pembayaran pajak penghasilan terlambat, dikenakan bunga 2 persen per bulan.

Cukup banyaknya kontraktor migas yang menunggak pajak itu tentu mengejutkan. Sebab, para kontraktor migas tersebut sudah diberi banyak keistimewaan. Antara lain, pemerintah telah memberikan sejumlah insentif perpajakan. Belum lagi fasilitas cost recovery atau biaya produksi migas yang ditagihkan ke negara yang kadang kelewatan.

Anggota Pansus Hak Angket BBM menduga tunggakan pajak itu lebih besar apabila sanksi bunga ExxonMobil dan Santos diperhitungkan. Jumlahnya juga sangat bergantung kepada lama tunggakan. Karena jumlahnya relatif besar, untuk menimbulkan efek jera, pemerintah sebaiknya mengejar direksi lima KKKS tersebut. Pemerintah bisa mengenakan paksa badan (gijzeling) seperti yang pernah diterapkan kepada penunggak pajak nonmigas.

Diakui atau tidak, sektor migas selama ini memang kurang transparan. Terutama berkaitan dengan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan kontraktor migas. Itu pula yang membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai turun tangan. Bahkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menemukan kerugian negara Rp 74,595 triliun dari penerimaan gas 2000-2008.

ICW merujuk laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) periode 2000-2008 bahwa total penerimaan negara dari gas Rp 440,447 triliun. Padahal, berdasar jumlah lifting gas per tahun, seharusnya total penerimaan negara 2000-2008 adalah Rp 515,045 triliun. Jadi, ada selisih cukup besar antara data dan fakta di lapangan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa cost recovery itu menjadi ajang aji mumpung para kontraktor migas. Dari hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) beberapa waktu lalu, banyak komponen cost recovery yang diklaimkan ke pemerintah tidak pada porsi sebenarnya. Misalnya, ongkos main golf, biaya kesehatan, corporate social responsibility (CSR), hingga biaya liburan oleh kontraktor dibebankan ke pemerintah.

Padahal, nilai cost recovery terus merangkak naik dari tahun ke tahun. Sebaliknya, produksi migas terus menurun. Pada 2008, pemerintah menetapkan plafon USD 9,05 miliar (Rp 107 triliun) dari pengajuan cost recovery USD 10,44 miliar (Rp 124 triliun). Tahun ini, kontraktor migas mengajukan USD 12,9 miliar (153 triliun). Namun, sementara yang disetujui pemerintah USD 11,04 miliar (Rp 130 triliun).

Berangkat dari situ, kita semua harus melakukan introspeksi. Tidak bisa tidak, semua lini sektor migas harus dibenahi. Itu mengingat kontribusi sektor migas terhadap perekonomian nasional luar biasa besar. Kita berharap pemerintah serius sehingga kasus-kasus yang merugikan tidak terulang.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 23 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan