Benahi Koordinasi

Setahun usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, masalah koordinasi di antara menteri dan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih menjadi kendala. Karena itu, koordinasi dan sinkronisasi mendesak dibenahi.

Selain koordinasi dan sinkronisasi, masalah yang harus dibenahi adalah kedisiplinan di jajaran kementerian dan kepala daerah agar lebih optimal. Untuk membenahi hal itu, ujar Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, kepada Kompas, Senin (18/10), pemerintah berupaya mengadakan rapat kerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah setiap tiga bulan.

”Rapat kerja pemerintah sejauh ini berjalan rutin dan lancar sehingga sumbatan pelaksanaan program bisa diterobos (debottlenecking). Untuk menerobosnya, kami ubah sejumlah ketentuan, misalnya Keputusan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa telah diubah menjadi Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa,” ujar Sudi.

Pemerintah tengah mengubah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. ”Dengan revisi UU Pemerintah Daerah, kita harapkan Menteri Dalam Negeri bisa lebih mudah melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan kepala daerah,” katanya.

Sudi mengatakan, Menteri Dalam Negeri nantinya diatur dapat memberikan sanksi kepada kepala daerah yang lalai atau mengabaikan tugasnya yang dapat mempersulit koordinasi. ”Kalau ada kepala pemerintah daerah yang sering meninggalkan posnya di daerah, Menteri Dalam Negeri bisa memberikan sanksi. Mulai dari teguran sampai sanksi administratif agar ada koordinasi dan kedisiplinan,” katanya.

Sudi mengatakan, yang harus diperhatikan dalam empat tahun mendatang adalah sinkronisasi antarperaturan daerah, juga antara ketentuan daerah dan pusat. ”Masih ada ribuan peraturan daerah yang tumpang tindih sekarang ini,” katanya.

Koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kata dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Purwo Santoso, harusnya dipegang gubernur sebagai ”kaki tangan” presiden di daerah. Fungsi paling penting yang harus dijalankan gubernur dalam konteks hubungan pusat-daerah adalah fungsi pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintah kabupaten/kota.

Direktur Econit Hendri Saparini menegaskan, dalam setahun pertama pemerintahan ini, bagi rakyat jelas tidak ada pertumbuhan ekonomi yang signifikan. ”Namun, dapat saja pemerintah berdalih sudah berhasil karena referensinya berbeda,” katanya.

Bagi pengamat ekonomi Faisal Basri, pertumbuhan ekonomi Indonesia terendah di kawasan. Seharusnya, katanya, minimal 8 persen setahun sebagaimana rata-rata di Asia Tenggara.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengakui kelemahan infrastruktur di Indonesia. ”Saya akui infrastruktur kita itu masih lemah dan perlu perhatian lebih besar. Itu hambatan yang harus kita perbaiki. Karena pembangunan untuk infrastruktur tidak mungkin hanya dari dana APBN saja. Oleh karena itu, diperlukan investasi,” kata Hatta.

Sementara itu, terkait kritik terhadap kinerja pemerintahannya (Kabinet Indonesia Bersatu II), Presiden Yudhoyono menilainya wajar-wajar saja di dalam sistem politik yang demokratis. ”Terkait dengan itu, para gubernur diminta menjawab kritik dengan memberikan penjelasan sekaligus menunjukkan kinerja yang lebih baik lagi,” ujar Presiden saat membuka Rapat Kerja Gubernur Seluruh Indonesia di Makassar, Sulsel, Selasa (19/10).

Acara yang dihadiri 33 gubernur itu dihadiri Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Mensesneg Sudi Silalahi, Menteri Perhubungan Freddy Numberi, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad. Kunjungan SBY di Makassar diwarnai aksi unjuk rasa mahasiswa di sekitar Hotel Clarion, tempat raker gubernur tersebut.

Presiden mengingatkan, kritik sosial dan unjuk rasa hendaknya tetap menjunjung tinggi etika sehingga tidak menjurus pada anarki. Jika terjadi, kekerasan tentu masuk pada ranah hukum. Presiden juga mengingatkan, jika ada pihak yang menyatakan negara ini mundur dan gagal dalam segala hal, maka para gubernur harus memberikan penjelasan tentang kinerja masing-masing.

Terkait upaya menjaga kerukunan sosial yang belakangan ini mudah terganggu, Presiden juga meminta para gubernur beserta unsur terkait agar lebih tanggap sebelum eskalasinya meluas.

Menurut Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang juga anggota Komisi I DPR, berbagai evaluasi terhadap pemerintahan SBY itu penting untuk penyempurnaan kinerja pemerintah. (HAR/ENG/EDN/OSD/RYO/NAR/GUN)
-------------
SATU TAHUN PEMERINTAHAN SBY-BOEDIONO
Terantuk dalam Percaturan Simbolik

Menurunnya kepuasan terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono merupakan akibat dari melemahnya kekuatan Presiden dalam menancapkan simbol kepemimpinannya di tengah permasalahan bangsa yang mendera. Diperlukan lebih dari sekadar penguatan kelembagaan untuk mengangkat kembali citra pemerintah yang menurun.

Kepercayaan yang sangat tinggi, yang ditumpukan ke pundak Presiden Yudhoyono pasca-Pemilu 2009, perlahan-lahan turun. Keyakinan terhadap kemampuan SBY menangani bidang ekonomi, politik-keamanan, hukum, dan kesejahteraan sosial yang semula (Juli 2009) mencapai titik tertinggi, di atas 83 persen, menurun secara gradual dan kini berada di kisaran 51-56 persen.

Penurunan ini terjadi seiring merosotnya citra SBY, yang pernah mencapai 94,3 persen pada Juli 2009, menjadi 67,8 persen pada Oktober ini. Kebanggaan publik kepada Presiden SBY pun mengalami penurunan. Penurunan terhadap citra pribadi itu berimbas pada menurunnya kepuasan terhadap kepemimpinannya dalam kabinet, dan pada preferensi pilihan publik terhadapnya.

Jika kepuasan pada kepemimpinan SBY dalam kabinet tiga bulan lalu masih di kisaran 62,1 persen, sekarang tinggal 44,3 persen. Sementara preferensi publik untuk memilihnya sebagai presiden, jika saat ini dilakukan pemilu, juga menurun drastis. Menjelang Pemilu 2009, harapan publik memilihnya masih di kisaran 82,6 persen, tetapi kini hanya sekitar 34,2 persen.

Kekalahan simbolik
Penurunan citra yang dihadapi SBY dalam setahun ini lebih merupakan akibat dari lemahnya kemampuan Presiden dan tim di belakangnya dalam merebut wacana dalam percaturan simbolik. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menangani berbagai bidang adalah imbas dari luruhnya bangunan imajinasi tentang sosok kepemimpinan ideal. Sejumlah peristiwa yang terjadi dalam setahun ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden untuk membentuk simbol kepemimpinan yang kuat. Langkah kepala negara yang cenderung lebih memilih berada dalam jalur aman membuat keyakinan terhadap kepemimpinan SBY pun berada di ambang batas yang rawan.

Kado manis pemilu yang diberikan 60,8 persen masyarakat pemilih dalam satu kali putaran seharusnya menjadi bekal kepercayaan yang kuat bagi Presiden melakukan perubahan lebih cepat. Sayangnya, langkah Presiden kemudian bukan dihadapkan pada dunia kerja yang mudah dipahami, tetapi dihadapkan pada serangkaian kemelut simbolik yang sulit diukur, tetapi berpotensi memengaruhi ”volatilitas” dukungan kepada kepemimpinannya.

Dalam rentang waktu antara Pemilu Presiden Juli 2009 hingga pelantikan Presiden Oktober di tahun yang sama, kepala negara dihadapkan pada kisruhnya hubungan antarlembaga hukum setelah kepolisian menahan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Lembaga hukum yang selama ini menjadi ujung tombak guna mendongkrak popularitas SBY ternyata kedodoran menghadapi kasus korupsi, bahkan saling memojokkan.

Anekdot ”Cicak vs Buaya” menjadi wacana baru yang memperlihatkan berantakannya kesatuan alat penegak hukum, membuat posisi Presiden tidak nyaman. Lebih tidak nyaman lagi manakala pasca-pelantikan anggota kabinet yang baru, Presiden dihadapkan pada mencuatnya kasus Bank Century yang menyeret nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Presiden Boediono.

Ketegasan dan jiwa kenegarawanan seorang pemimpin kabinet yang diharapkan muncul mengatasi ketegangan antara sikap anggota DPR yang keras dan anggota kabinetnya yang tersudut tidak terlihat. Peluang membentuk imajinasi kepemimpinan yang ideal, di tengah krisis politik dan hukum, pun terlewatkan ketika Presiden lebih condong mengambil sikap safety player. Namun, pukulan sebenarnya terhadap simbol kepemimpinan SBY adalah dengan keluarnya Sri Mulyani dari Kabinet Indonesia Bersatu II yang selama ini dibangun dengan hati-hati dan cermat.

Sejumlah kejadian lain juga menjadi momen yang terlewatkan bagi Presiden untuk menampilkan citra kepemimpinan yang mengayomi. Pemihakan dan perhatian kepada masyarakat bawah, yang seharusnya muncul dalam aneka peristiwa ledakan tabung elpiji 3 kilogram, menjadi peluang yang terlewatkan Presiden. Korban ledakan, yang mendatangi Istana untuk meminta bantuan, gagal bertemu dan dianjurkan ke Kementerian Sosial. Meskipun benar secara protokoler dan birokrasi, sosok Presiden tak ayal menjadi tampak dingin dan berjarak.

Keberanian pemimpin negara juga diuji ketika sehari menjelang pidato kenegaraan presiden pada peringatan Kemerdekaan RI, tiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan ditangkap dan ditahan Polisi Diraja Malaysia. Barter antara pencuri ikan warga Malaysia dan tiga polisi perairan Indonesia mempertontonkan rendahnya martabat bangsa ini dan lemahnya diplomasi Indonesia. Di balik jargon demi keselamatan warga Indonesia yang bekerja di sana dan menjaga hubungan baik, tersembul sebuah simbol ketakutan.

Keraguan terhadap kualitas kepemimpinannya makin kuat manakala kebebasan beribadah juga mulai terancam dengan maraknya permusuhan terhadap kaum minoritas penganut agama tertentu. Selama tiga bulan terakhir, ketidakpuasan responden terhadap langkah pemerintah dalam menjamin kebebasan beribadah meningkat dua kali lipat, dari 14 persen menjadi 30,1 persen.

Lagi-lagi, alih-alih membangun simbol keberanian dan ketegasan untuk bangsa ini, Presiden mempertontonkan sebuah drama yang membalikkan imajinasi kepemimpinan dalam peristiwa rencana kunjungan ke Belanda. Batalnya kunjungan Presiden ke Negeri Kincir Angin itu kemudian lebih dimaknai sebagai ketakutan terhadap bayang-bayang ketimbang sebuah langkah kehati-hatian.

Peristiwa inilah yang menjadi kesalahan terbesar dalam politik pencitraan karena mencerminkan banyaknya kelemahan dalam mengambil momentum simbolik yang tepat. Pertama, tuntutan RMS agar Presiden SBY ditahan ternyata tidak dikabulkan pengadilan Belanda. Kedua, kejadian ini malah menaikkan popularitas RMS. Dan, terakhir, Presiden menampilkan citra tidak berdaya terhadap tekanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Sikap kritis terhadap kepemimpinan SBY makin ditegaskan bukan oleh publik saja, tetapi juga dari internal kelembagaan semacam TNI yang terbiasa menganut jalur komando. Telaah yang kritis dari seorang anggota TNI Angkatan Udara terhadap kepemimpinan SBY menjadi entakan palu godam yang keras. Dalam harian ini (6/9/2010) ia menuliskan keraguannya: ”Apakah SBY tetap pada komitmen perubahan?

(BAMBANG SETIAWAN-Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan