Belanja Publik dan Isu Pemerataan
Panitia anggaran di sejumlah daerah secara intensif sedang melakukan perubahan-perubahan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun anggaran 2005. Perubahan-perubahan diperlukan karena adanya pertimbangan terbatasnya potensi dan kemampuan daerah sebagai sumber penerimaan daerah sehingga anggaran daerah harus dikurangi dari jumlah yang ditentukan sebelumnya. Demikian pula halnya dengan perkiraan pengeluaran daerah yang diprediksi meningkat yang membuat anggaran harus ditambah. Perubahan dapat juga disebabkan mata anggaran yang diusulkan tidak memiliki tingkat urgensi yang tinggi bagi pembangunan daerah maupun kepentingan masyarakat umum.
Apabila telah disepakati dan disetujui oleh panitia anggaran legislatif dan eksekutif, maka RAPBD tersebut akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan disahkan melalui suatu rapat paripurna. RAPBD adalah catatan rincian rencana anggaran daerah satu tahun terdiri dari pos penerimaan dan pos pengeluaran. Pos penerimaan bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan daerah lainnya, sedangkan pos pengeluaran meliputi belanja aparatur dan belanja publik.
Sayangnya tidak banyak anggota masyarakat yang mengetahui detailasi apa-apa saja faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan panitia anggaran dalam menyusun dan menentukan anggaran belanja aparatur dan belanja publik. Padahal kedua anggaran belanja tersebut nantinya akan berimplikasi luas pada kepentingan masyarakat dan menjadi kunci sukses keberhasilan suatu proses pembangunan daerah dalam satu tahun dan pembangunan daerah di masa akan datang. Tidak kalah pentingnya adalah masyarakat juga ingin mengetahui agenda prioritas pembangunan daerah apa saja yang diusulkan oleh pihak eksekutif (pemerintah daerah) yang kemudian akan dibiayai dari dana APBD. Mengapa hal itu penting dan logis untuk dipertanyakan publik padahal DPRD adalah representasi wakil-wakil rakyat?
Di era keterbukaan dan akuntabilitas publik yang berlangsung bersamaan dengan gerakan reformasi di Indonesia selama ini, memang sudah sepatutnya masyarakat luas turut memahami dan mengerti secara komprehensif mengenai proses penentuan anggaran dan kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh belanja publik. Bahkan masyarakat perlu mengetahui sumber-sumber pendapatan daerah yang dapat dialokasikan untuk belanja aparatur dan belanja publik. Belanja aparatur erat hubungannya dengan kapasitas dan kompetensi aparatur dan pejabat publik dalam menjalankan tugas dan fungsi pelayanannya kepada masyarakat. Sedangkan belanja publik menyangkut pada jenis, jumlah, dan mutu pelayanan publik yang disesuaikan dengan kebutuhan yang tepat dan efektif. Jadi alangkah indah dan arifnya jika panitia anggaran dalam melakukan perubahan RAPBD memberi peluang dan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta memasukkan saran dan pendapatnya agar APBD benar-benar memang berasal dari rakyat dan untuk rakyat.
Keikutsertaan anggota masyarakat mencermati APBD merupakan cikal-bakal terbentuknya partisipasi publik sebagai pengejewantahan kepedulian dan keseriusan masyarakat dalam menyikapi terwujudnya pemerintahan yang didambakan yaitu pemerintah yang baik (good gevernence) dan pemerintah yang jujur dan bersih (clean government). Sikap publik seperti ini perlu ditumbuhkembangkan dan disebarluaskan dalam rangka menghasilkan sebuah struktur APBD yang berbasiskan pada partisipasi publik.
Partisipasi publik sangat penting dan menjadi isu utama dalam perumusan dan pelaksanaan APBD pada pemerintahan yang moderen guna mengurangi bahkan mengantisipasi oknum-oknum dan aparatur yang bermaksud melakukan tindakan distorsif terhadap penyaluran dan penggunaan APBD sebagaimana terjadi selama ini. Perlakuan distorsi ini jelas berakibat pada terganggunya proses delivery pelayanan publik dan berdampak negatif terhadap optimalisasi penggunaan anggaran bagi pembangunan di sektor publik. Bilamana hal itu terjadi, maka kondisi tersebut sama buruknya jika alokasi penyaluran dan penggunaan belanja publik tidak tepat pada sasarannya. Dengan kata lain pelayanan publik yang dibiayai dari belanja publik sebagai suatu koeksistensi sebuah kebijakan publik belum optimal merealisasikan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang adil dan merata sebagai sasaran utama APBD. Ini tentu meragukan masyarakat.
Keraguan publik atas kemungkinan pencapaian sasaran program pelayanan publik dan belanja publik yang meleset merupakan bentuk kekhawatiran masyarakat terhadap dimensi pemerataan dan mutu pelayanan sosial dasar terutama kebutuhan masyarakat atas pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang tidak sepenuhnya berpihak kepada penduduk yang berpenghasilan rendah. Padahal 17,8% dari total penduduk Indonesia masih dikategorikan sebagai penduduk miskin. Selain itu bagi kepentingan politik pemerintah, dimensi pendidikan dan kesehatan masyarakat merupakan kebijakan strategis dari misi pemerintah untuk membentuk bangsa yang cerdas, sehat, dan terampil.
Keberhasilan sejumlah pemerintah daerah di tanah air dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya memang belum maksimal kalau ditinjau dari pencapaian angka human development index (indeks pembangunan manusia-IPM) sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Saat ini IPM daerah-daerah baru mencapai angka 60 hingga 69. Sementara angka IPM ideal menurut World Bank adalah 80. Mengapa dimensi pendidikan dan kesehatan yang disoroti? Karena komposit yang dihitung dalam menentukan IPM adalah pendidikan dan kesehatan masyarakat melalui penghitungan angka melek huruf (AMH) dan usia harapan hidup (AHH).
Rendahnya angka IPM daerah-daerah di tanah air diperkirakan bersumber dari pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang belum merata disertai dengan daya beli masyarakat yang juga cukup rendah terkait dengan tingkat kesempatan kerja yang belum kondusif.
Di bidang pendidikan, fenomena menunjukkan bahwa semakin meningkat usia anak sekolah maka semakin timpang akses anak tersebut terhadap penerimaan pendidikan. Ditinjau dari aspek pemerataan, pencapaian pendidikan tingkat dasar (untuk jenjang pendidikan sekolah dasar) maka secara relatif pendidikan dasar sudah tercapai yang ditandai dengan bertambahnya jumlah pembangunan SD-SD Inpres di seluruh pelosok tanah air. Namun ketika anak-anak SD itu memasuki jenjang pendidikan SLTP, keadaannya mulai menunjukkan adanya ketimpangan dan kemudian untuk memperoleh jenjang pendidikan SLTA menjadi semakin senjang. Terdapatnya kesenjangan anak-anak SD dalam mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi dapat juga ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah anak putus sekolah di sejumlah daerah dari waktu ke waktu.
Sedangkan dilihat dari proporsi anak-anak yang menjalani pendidikan berdasarkan pengelola program pendidikan (negeri versus swasta) maka terdapat fenomena yang menunjukkan akses anak-anak sekolah dari kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah untuk dapat mengenyam pendidikan yang diberikan oleh pemerintah (sekolah negeri) relatif tinggi. Tetapi semakin tinggi usia anak sekolah secara relatif semakin menurun proporsi anak yang dapat akses ke sekolah negeri, dan pada akhirnya mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersekolah di sekolah swasta.
Sudah tentu biaya sekolah swasta relatif lebih mahal dibandingkan dengan sekolah negeri yang disubsidi pemerintah, meskipun tidak tertutup kemungkinan sekolah swasta juga mendapatkan subsidi yang tidak lebih besar dari sekolah negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa subsidi pemerintah terhadap pelayanan pendidikan relatif kecil dinikmati anak-anak SD dari golongan penduduk berpenghasilan rendah yang akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kalaupun subsidi pemerintah juga diterima sekolah swasta maka yang menikmati subsidi itu tidak saja anak-anak sekolah dari golongan penduduk berpenghasilan rendah melainkan juga yang berpenghasilan menengah dan tinggi.
Oleh sebab itu panitia anggaran yang menyusun RAPBD seharusnya menyadari betapa pentingnya memahami kondisi publik dengan menyertakan partisipasi publik untuk mencermati bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan anak-anak sekolah maka semakin besar kebutuhan biaya yang diperlukan, dan keadaan ini akan berdampak pada meningkatnya subsidi pemerintah yang dialokasikan. Hal itu diperlukan agar pelayanan pendidikan di tanah air dapat dilakukan secara merata dan adil.
Di bidang kesehatan tampaknya alokasi belanja publik tidak dapat ditawar-tawar lagi harus dialokasi dalam jumlah yang lebih besar ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan pos pelayanan terpadu (posyandu) dibandingkan dengan pemberian subsidi ke rumah-rumah sakit yang umumnya dapat dijangkau oleh golongan penduduk yang berpenghasilan menengah dan tinggi. Sebab kedua institusi kesehatan masyarakat tersebut (puskesmas dan posyandu) sudah menjadi tumpuan utama penduduk berpenghasilan rendah sebagai basis pelayanan masyarakat pertama yang dapat dimanfaatkan ketika mereka mengalami keluhan dan gangguan kesehatan. Puskesmas dan posyandu sudah teruji sejak seperempat abad yang lalu khususnya dalam melayani masyarakat yang memerlukan konsultasi kesehatan bagi ibu hamil dan anak balita, peningkatan daya tahan tubuh bagi orang tua lanjut usia, sosialisasi manfaat garam beriodium, promosi penggunaan air susu ibu (ASI), imunisasi, dan pemberian suplementasi vitamin A.
Namun seorang peneliti dari ISEI Padang, menyatakan bahwa terjadi kecenderungan manfaat fungsi puskesmas baru mencapai 40-50% dari seharusnya diberikan pemerintah, padahal target yang ingin dicapai seharusnya mendekati angka 85% dari masyarakat yang membutuhkan.
Diduga masih rendahnya pemanfaatan fungsi puskesmas oleh masyarakat disebabkan permintaan masyarakat yang juga rendah. Permintaan masyarakat terhadap jasa puskesmas memiliki korelasi dengan faktor-faktor, pendapatan, harga jasa kesehatan dan obat-obatan, selera yang terkait dengan kualitas jasa kesehatan, dan jasa kesehatan pengganti seperti pengobatan alternatif. Namun dari faktor-faktor yang berpengaruh tersebut ternyata diduga kuat faktor pendapatan atau daya beli merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Dengan begitu kebijakan fiskal daerah melalui alokasi belanja publik dalam bentuk subsidi pemerintah daerah dapat menjadi kompensasi dalam rangka menghasilkan belanja publik yang berorientasi pada peningkatan layanan kesehatan yang merata dan adil khususnya bagi golongan penduduk berpenghasilan rendah.
Penutup
Belanja publik sebagai bentuk peran politik pemerintah sekaligus terkandung di dalamnya makna ekonomis bilamana dialokasikan dengan baik berdasarkan pada partisipasi publik maka kapasitas potensi masyarakat akan meningkat. Hal itu akan mendorong masyarakat mampu menjangkau harga jasa pendidikan dan kesehatan melalui peningkatan daya belinya sehingga akan berdampak pada pengurangan pengeluaran pemerintah. Dengan demikian pemerintah khususnya di daerah-daerah dapat menggeser pengeluarannya kepada penduduk di wilayah-wilayah yang potensi ekonominya rendah agar pemerataan dalam mencapai pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat dapat tercapai.(Coki Ahmad Syahwier, pengamat ekonomi, Sekretaris ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Cabang Bandung Koordinator Jawa Barat)
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 28 Februari 2005