Belanja Pegawai Lima Kabupaten di Jateng Melebihi 60 Persen
Lima daerah di Jawa Tengah masuk dalam daftar 16 kota/kabupaten yang memiliki belanja pegawai melebihi 60 persen dalam APBD 2011. Kelimanya adalah Klaten, Sragen, Purworejo, Pemalang, dan Karanganyar.
Daftar tersebut disusun oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Lembaga ini menemukan 124 daerah di seluruh Indonesia yang memiliki belanja pegawai dalam APBD 2011 di atas 60 persen dengan belanja modal 1-15 persen.
”Tertinggi adalah Kabupaten Lumajang yang memiliki belanja pegawai hingga 83 persen dan belanja modal hanya 1 persen. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, kebangkrutan akan segera mengancam daerah dalam 2-3 tahun mendatang. Sebab, APBD-nya hanya digunakan membiayai pegawai. Otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan publik sulit tercapai dengan semakin besarnya 'ongkos tukang',” kata Sekjen Fitra, Yuna Farhan.
Berdasarkan analisis Fitra, pada tahun 2007 porsi rata-rata belanja pegawai daerah 44 persen. Jumlah itu meningkat menjadi 55 persen pada 2010. Sebaliknya, belanja modal mengalami penurunan dari 24 persen pada 2007 menjadi 15 persen pada 2010.
Fitra meminta Menteri Keuangan menciptakan formula dana perimbangan baru yang memberi insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan pendapatan dan mengurangi belanja pegawai. Dengan cara itu, diyakini banyak daerah yang akan melakukan perampingan birokrasi. ”Untuk itu, segera dilakukan perubahan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah,” imbuh Farhan.
Menurutnya, menkeu seharusnya menyadari keberadaan berbagai kebijakan pegawai selama ini menjadi penyebab tingginya belanja pegawai di tingkat pusat dan daerah. Pertama, remunerasi yang terbukti tidak mengurangi perilaku korupsi birokrasi.
Pada APBN-P 2010 dianggarkan Rp 13,4 triliun untuk remunerasi. Bahkan pejabat dengan grade I di Kementerian Keuangan dapat memperoleh remunerasi hingga Rp 46,9 juta.
Kebijakan lain yang menyebabkab tingginya belanja pegawai adalah kenaikan gaji secara berkala mulai 2007 sampai 2011 sebesar 5-10 persen dan pemberian gaji ke-13. Faktor ketiga adalah rekrutmen PNS terus menerus yang tidak memperhatikan keterbatasan anggaran.
Depolitisasi Birokrasi
Fitra juga menemukan kebijakan lain yang berimplikasi pada beban belanja pegawai adalah pengangkatan Sekdes menjadi PNS. Menurut Farhan, berbagai kebijakan itu membuat daerah, khususnya kabupaten/kota, memiliki potret APBD dengan ”ongkos tukang” yang lebih besar daripada belanja pekerjaan.
Akibatnya, belanja pegawai semakin menggerus belanja modal daerah. Selain memberi insentif, Fitra juga mengusulkan dilakukannya depolitisasi birokrasi.
Selama ini, Pembina Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah kepala daerah. Hal tersebut menyebabkan birokrasi menjadi ajang politisasi kepala daerah untuk meraih dukungan dengan menambah berbagai tunjangan dan rekrutmen PNS baru.
”Menyusun rasio jumlah pegawai harus dilakukan. Meski menurut Kementerian PAN rasio jumlah pegawai belum berlebihan dibandingkan jumlah penduduk, distribusinya tidaklah merata. Oleh karena itu, standar rasio pegawai tidak hanya berdasarkan jumlah penduduk, tapi juga memasukkan kondisi geografis dan kemampuan fiskal daerah,” ujar Farhan. (dtc-65)
Sumber: Suara Merdeka, 5 Juli 2011