Belajar memberantas korupsi dari Cina [29/07/04]

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Begitulah salah satu sabda Nabi Muhammad SAW. Sabda yang secarah harafiah menggambarkan kewajiban setiap umat Islam untuk menuntut ilmu walau untuk itu harus terkendala jarak dan kondisi geografis.

Yang cukup menarik untuk dicermati, kenapa Nabi Muhammad SAW memberikan contoh negeri Cina. Apakah secara kebetulan pada waktu itu nabi berdomisili di negeri Arab yang secara geografis letaknya berjauhan dengan negeri Cina? Ataukah karena sejak dulu kala negeri Cina merupakan salah satu pusat peradaban dunia?

Kita hanya bisa menerka dari jawaban itu. Yang pasti diakui atau tidak Cina memang sukup layak dijadikan teladan untuk belajar. Cina sekarang sudah tumbuh menjadi salah satu raksasa ekonomi Asia bahkan Dunia. Perkembangan industri yang menakjubkan telah membuat barang produksi Cina membanjiri seluruh pelosok dunia. Walaupun kualitas produknya masih di bawah produk Jepang dan Amerika, akan tetapi dengan harga yang jauh lebih murah membuat para konsumen menjadi tertarik untuk membeli.

Dari segi etos kerja, Cina juga patut untuk diti-ru. Orang-orang Cina terkenal ulet dan pekerja keras. Mereka dikenal pantang menyerah dan tekun dalam berusaha. Tanpa jauh-jauh ke Ci-na, di negara kita pun sudah dapat melihat dengan jelas betapa gigihnya orang Cina mau-pun keturunan Cina dalam berbisnis. Tidak heran kalau perekonomian negeri kita sebagi-an dikuasai oleh pengusaha kerurunan Cina.

Segi lain yang perlu dan seharusnya kita contoh adalah metode Cina dalam memberantas korupsi. Pada dasarnya Cina juga mempunyai masalah yang serupa dengan negara kita yaitu tingginya tingkat korupsi. Persekongkolan para Triad dan gangster yang menguasai tempat-tempat prostitusi, perjudian hingga peredaran obat terlarang dengan para birokrat yang duduk di pemerintahan merupakan masalah klasik. Konspirasi jahat mereka telah membuat sendi kehidupan Cina megap-megap dan para penduduknya hidup dalam jurang kesengsaraan. Sama halnya di Indonesia, korupsi juga menjangkiti semua sendi kehidupan bangsa cina mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif serta kalangan profesionalnya.

Akan tetapi sejak beberapa tahun lalu Presiden Cina mengumumkan perang terhadap korupsi, tingkat korupsi yang terjadi Cina mengalami penurunan drastis. Begitu dilantik presiden terpilih langsung memberikan pernyataan keras, Sediakan 100 peti mati, yang satu untukku bila aku melakukan korupsi sedangkan sisanya bagi para pejabat yang terbukti melakukan perbuatan serupa. Tak lama berselang seorang gubernur propinsi dihukum mati karena terbukti melakukan korupsi. Menyusul beberapa pejabat lainnya yang menemui nasib yang sama. Dalam jangka waktu sekitar dua tahun ratusan pejabat ditahan dalam penjara, puluhan dihukum mati serta lebih dari 2000 kasus korupsi berhasil diungkap. Sungguh prestasi yang luar biasa dalam memerangi korupsi.

Begitupun yang terjadi di Indonesia. Korupsi sudah menjadi budaya yang sulit dipisahkan dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Di lembaga legislatif baru-baru ini kita menemukan kasus korupsi yang dilakukan DPRD Jawa Timur. Kemudian di tingkat kabupaten terdapat kasus penyelewengan APBD sebesar RP 21,387 miliar yang melibatkan DPRD Sidoarjo. DPRD Kabupaten Malang juga diduga melakukan penyelewengan pos anggaran kesekretariatan sebesar RP 22,5 juta, DPRD Kota Malang tidak ketinggalan melakukan hal yang sama sebesar RP 2,1 miliar. Di Kabupaten Tulungagung DPRD menyelewengkan anggaran gaji sebesar RP 1,6 miliar, DPRD Nganjuk sebesar RP 2,5 miliar, belum lagi kasus yang menimpa DPRD Garut serta DPRD yang lainnya.

Di tingkatan eksekutif masih hangat dibicarakan kasus korupsi yang melibatkan gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh sebesar 4 miliar. Di lingkungan peradilan dan kejaksaan sudah terbiasa praktek jual beli perkara walaupun hal ini jarang diungkap di media. Kalangan professional pun juga gemar melakukan hal yang sama. Kasus LC fiktif yang menimpa BNI, penyelundupan gula impor yang melibatkan Nurdin Halid, kasus penjualan tanker pertamina yang tidak jelas merupakan sebagian contoh dari banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh penjahat kerah putih. Intinya korupsi sudah menjangkiti semua lini dan sendi kehidupan bangsa yang membuat negara kita ke dalam jurang kehancuran.

Karena itu pemberantasan korupsi harus mendapat prioritas yang utama bagi presiden yang terpilih mendatang. Kita tidak bisa mengharapkan budaya malu guna mengeliminir tingkat korupsi. Bangsa kita sudah kehilangan rasa malu. Terbukti setiap hari di telivisi disediakan menu (maaf) pantat bergoyang. Kalaupun masih ada itu hanya terbatas malu-malu kucing atau malu-maluin.

Dalil-dalil agama pun sudah tidak efektif mengingat masyarakat kita lebih takut lapar daripada masuk neraka. Seruan dua ormas keagamaan yaitu NU dan Muhammadiyah yang menyatakan perang terhadap korupsi hanya menjadi angin lalu. Agama tidak lebih sekadar ritus-ritus simbolik, pelengkap KTP atau bahkan untuk membungkus tindakan amoral mereka agar tidak kentara.

Maka tidak ada cara lain kalau tidak memakai shock theraphy, menyebarkan teror ketakutan bagi pelaku korupsi dengan meningkatkan dan memperberat sangsi (punishment). Apa yang dilakukan Cina kiranya bisa dijadikan contoh bagi kita dalam melawan korupsi. Memberikan hukuman mati merupakan sarana yang tepat dan efektif sehingga bisa memberikan teror/rasa takut kepada masyarakat agar tidak coba-coba melakukan korupsi. Kita tidak perlu takut pemberian hukuman mati dianggap melanggar HAM. Sebab dengan menghukum mati para koruptor kita justru melindungi hak seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Kalau negara berani menghukum mati para pengedar narkoba, kenapa negara juga tidak melakukan hal yang serupa terhadap koruptor? Bukankah pengedar narkoba dan koruptor sama-sama merugikan hajat hidup orang banyak?(Fayumi Umamah, adalah Sekjen Progresif Community of Malang-Pro Com)

Tulisan ini diambil dari Pos Kupang, 29 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan