Belajar Malu dari Roh Moo-hyun
Akhir pekan lalu, mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun, 62, bunuh diri meloncat dari bukit karang setinggi 20-30 meter di pegunungan dekat desa tempat tinggalnya di Kota Busan. Tindakan nekatnya itu ditengarai berkaitan dengan dugaan skandal suap USD 6 juta atau kira-kira setara dengan Rp 60 miliar dari seorang pengusaha sepatu saat dia menjabat presiden Korea Selatan pada 2003-2008 (Jawa Pos, 24/5, 2009).
Tindakan bunuh diri yang dilakukan Roh Moo-hyun cukup mengejutkan dan ekstrem. Sebab, hal itu dilakukan seorang mantan presiden. Namun, apa yang dia lakukan bila dicermati mengandung nilai-nilai negatif dan nilai-nilai positif. Negatif karena bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang agama apa pun di dunia. Positif karena merupakan wujud dari dorongan rasa pertanggungjawaban moral dan rasa malu atas perbuatan korupsi yang dituduhkan kepadanya.
Hanya, bentuk pertanggungjawaban moral dan rasa malu yang merupakan tindakan terpuji ternyata menutupi pikiran jernih sang mantan presiden. Sebab, dia lebih memilih mewujudkan itu dengan tindakan yang kebablasan (mengakhiri hidup secara tragis).
Bayangan kekotoran dirinya, hotel prodeo yang bakal ditempatinya, dan tatapan mata jutaan rakyatnya membuat dia kehilangan akal sehat dan ketabahan dalam menjalani sisa-sisa hidup. Dia memutuskan lebih baik mati daripada menjalani sisa hidup yang dia anggap telah hina dina.
Atas tindakan tersebut sebenarnya kita telah diajarkan secara nyata bentuk dari sebuah pertanggungjawaban moral dan rasa malu, tanpa harus menunggu-nunggu pembuktian oleh alat-alat negara, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Bandingkan dengan wujud pertanggungwaban atas dugaan kasus korupsi Yayasan Bea Siswa Supersemar yang menimpa almarhum mantan Presiden Soeharto beberapa waktu lalu. Keadaannya sungguh sangat bertolak belakang.
Dengan senyumannya yang sangat khas, almarhum mantan Presiden Soeharto pernah mengatakan, dirinya tidak mempunyai uang se-''sen'' pun. Secara harafiah, memang benar dan tidak ada yang salah dari pernyataannya. Tetapi, dalam bentuk ''triliunan rupiah'', Pak Harto tampaknya punya. Hitung saja berapa kekayaan anak-anaknya dan kroni-kroninya.
Perbuatan baik mendapatkan pujian, itu sudah hampir pasti. Tetapi, ternyata perbuatan buruk belum tentu akan mendapatkan celaan dan membuat rasa malu si pelakunya. Dan, di situlah perbedaan mencolok antara mantan presiden kita dan mantan presiden Korsel.
Mendiang mantan Presiden Roh Moo-hyun merasa bahwa suatu perbuatan tidak harus dipertanggungjawabankan di akhirat saja. Di dunia pun harus dipertanggungjawabkan. Meskipun bentuk pertanggungjawabannya di dunia adalah salah alias kebablasan. Namun, pelajaran paling penting yang bisa dipetik bahwa sosok mendiang mantan Presiden Roh Moo-hyun telah mengajarkan tentang harga diri, tentang rasa malu, dan tentang tanggung jawab.
Roh Moo-hyung merupakan sosok yang berani mati. Tidak berani hidup karena malu. Berbeda dengan kita yang berani hidup karena tidak punya rasa malu.
***
Dari sisi duniawi, niat bertanggung jawab dan punya rasa malu pada diri mendiang mantan Presiden Roh Moo-hyun di luar tindakan bunuh diri patut dipuji dan diacungi jempol. Sebab, dia telah bersikap gentleman dan kesatria. Sebagai seorang mantan presiden yang disegani dan dihormati rakyatnya, kemungkinan saja rasa bertanggung jawab dia secara moral dan rasa malu yang terpancar dari tindakan bunuh dirinya pasti akan mendapatkan tempat tersendiri di hati rakyat Korsel.
Itu tentunya sangat berbeda dan kontras dengan wujud pertanggungwawaban moral dan rasa malu yang dicontohkan para pepimpin di negeri ini. Banyak calon tersangka, terdakwa, dan koruptor, baik yang sudah dijebloskan ke penjara maupun yang masih dalam proses pengadilan. Semua menjalani dengan cara terpaksa dan raut muka penuh dengan rona kepengecutan. Jauh dari sikap kesatria. Boro-boro berpikir untuk bunuh diri, mau mengakui perbuatan korupsinya saja masih susah.
Parahnya lagi, budaya tidak punya rasa malu melakukan korupsi di negara kita sudah merambah ke seluruh pelosok tanah air. Sampai-sampai lagu kebangsaan Dari Sabang sampai Merauke telah dipelesetkan menjadi ''Dari sabang sampai Merauke berjajar maling-maling''. Bukan lagi berjajar pulau-pulau.
Sungguh sangat ironis. Yang sudah ditangkap dan dipenjarakan pelakunya pun beragam. Artinya, korupsi di Indonesia telah merata dilakukan semua lapisan masyarakat dan golongan. Mulai para pegawai negeri sipil kelas ecek-ecek hingga pejabat. Mulai perangkat desa, lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, menteri, hingga anggota dewan.
Meraka rata-rata ''tidak mau bertanggung jawab dan tidak punya rasa malu''. Mereka hanya tersedu-sedu saat diperiksa. Atau pura-pura sakit saat mau diperiksa. Bahkan, pura-pura bersikap suci dan saleh dengan melakukan ritual umrah atau naik haji ke Tanah Suci untuk menghindari pemeriksaan. A'uzu billah min zalik
Priyambodo , peneliti pada Balitbangda Provinsi Jawa Timur
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 27 Mei 2009