Belajar dari Mabes Polri setelah Komjen Suyitno Landung Jadi Tersangka.

Mafia Peradilan Subur karena Perkara Diulur-ulur
Catatan Baehaqi, Wartawan Jawa Pos

Mabes Polri menunjukkan taringnya. Tak tanggung-tanggung, jenderal yang terindikasi tidak bersih diperiksa. Bahkan, ada yang sudah dijadikan tersangka dan ditahan. Langkah itu patut dicontoh oleh lembaga penegak hukum lain, seperti kejaksaan dan kehakiman.

Agak mengejutkan, mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Suyitno Landung diperiksa. Dia pun langsung ditetapkan sebagai tersangka terkait penanganan kasus pembobolan BNI Rp 1,7 triliun oleh Adrian Waworuntu. Sebelumnya, nama yang pernah dikandidatkan sebagai Kapolri itu tidak pernah disebut-sebut.

Suyitno tidak sendiri. Mabes Polri juga sudah menetapkan dua anggotanya sebagai tersangka kasus itu dan menahannya. Yang satu, perwira menengah, Kombes Irman Santoso. Yang lain, perwira tinggi, Brigjen Pol Samuel Ismoko. Sebagian di antara 17 anak buah Irman di Unit II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri juga sudah diperiksa.

Keberanian Polri mengusut anggotanya tidak menyangkut kasus BNI saja. Malah, orang ketiga di Mabes Polri, Irwasum Komjen Binarto, juga akan diajukan ke sidang kode etik profesi. Binarto yang disebut-sebut mengintervensi kasus BBM ilegal di Surabaya akhirnya mundur sebelum diajukan ke sidang.

Kombes Toni Suhartono, mantan Dirpolair Polda Jatim yang mencokot Binarto, telah diajukan ke sidang kode etik. Dia yang melepas kasus BBM tangkapannya divonis bersalah dan dicopot dari jabatannya.

Sekarang Mabes Polri juga masih mengusut dua kasus lain yang diduga dilakukan dua perwira menengah. Yaitu, kasus penganiayaan terhadap anak buah yang diduga dilakukan oleh Kombespol Bambang Wasgito semasa menjabat Kapolwil Bogor (sekarang sudah dicopot). Lainnya, pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Kombespol Tjiptono, juga ketika menjabat Kapolwil Bogor pengganti Bambang (sekarang juga sudah dicopot).

Keberanian Mabes Polri untuk membersihkan anggotanya itu patut ditiru oleh lembaga penegak hukum lain. Sebab, selama ini aparat hukum dinilai masih setengah hati dalam menegakkan supremasi hukum. Itulah sebabnya, masalah yang menggerogoti perekonomian Indonesia, korupsi, masih subur. Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan perang terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kasus korupsi tetap merajalela. Indonesia pun tetap dinilai terkorup oleh Lembaga Transperency International.

Untuk memberdayakan penegakan hukum itu, tentu tak cukup berharap pada Polri. Lembaga penegak hukum lain, seperti kejaksaan dan kehakiman, juga harus mengambil langkah serupa.

Nyanyian pengusaha Probosutedjo bahwa dia telah mengeluarkan uang Rp 16 miliar untuk membebaskan dirinya dari hukuman perlu diperhatikan lebih serius. Uang itu, katanya, dikucurkan sejak kasusnya ditangani di pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung. Jaksa disebut-sebut ikut kecipratan.

Meski hakim dan jaksa membantah dan sampai sekarang memang belum ditemukan bukti, selayaknya lembaga itu memberikan atensi. Seperti halnya Polri, kejaksaan dan kehakiman mesti memeriksa orang-orang yang disebut-sebut menerima dana tersebut. Bersalah atau tidak, kalau sudah dilakukan pemeriksaan secara serius, masyarakat tidak bertanya-tanya lagi.

Memang sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang turun tangan. Lembaga itulah yang pertama membongkar kasus tersebut. Seorang bekas hakim tinggi dan lima staf Mahkamah Agung ditahan. Sudah ditemukan bukti bahwa mereka menerima uang dari Probo yang totalnya hampir Rp 5 miliar. Sayangnya, sampai sekarang, kasus itu belum kelar.

Bagir Manan dan hakim agung lain yang menangani perkara Probo dan disebut-sebut terindikasi suap baru sebatas diperiksa. Memang sulit menemukan bukti keterlibatan mereka. Sebab, uang yang disebut-sebut akan diberikan kepada Probo ternyata masih di tangan anak buahnya.

Sayangnya, MA tidak memiliki lembaga kode etik seperti Polri. Seandainya ada, mereka yang terindikasi menyalahgunakan wewenang bisa diajukan ke sidang sebelum pembuktian tindak pidananya.

Kalau kasus itu diungkap secara serius sampai ke akar-akarnya bisa menjadi tonggak pembersihan diri lembaga peradilan. Sebab, seperti yang mencuat sebelumnya, banyak markus (makelar kasus) yang berkeliaran. Ditengarai, mereka sudah menjadi mafia peradilan yang sangat kronis. Mereka menjalin kerja sama dengan pihak yang terlibat perkara dan aparat yang menanganinya.

Upaya pemberantasan mafia peradilan bukan tidak mungkin dilakukan. Mahkamah Agung -secara tidak langsung- telah memberikan contoh. Majelis hakim kasus Probo yang baru terbukti berhasil memutus perkara hanya dalam waktu satu bulan. Bandingkan dengan ketika kasus masih ditangani majelis hakim lama yang diketuai Bagir. Dalam kurun satu setengah tahun, kasasi tersebut belum diputus.

Terkatung-katungnya perkara sedemikian lama itulah, yang mungkin menyuburkan mafia peradilan. Ada alasan, jumlah hakim Agung hanya 49 orang. Kalau waktu yang dibutuhkan untuk memutus perkara sampai satu setengah tahun, bahkan ada yang lebih, tentu perkara menumpuk. Alasan itu bisa ditepis kalau satu perkara bisa diputus maksimal satu bulan.

Penanganan yang cepat juga diperlukan di tingkat banding. Kasus di tingkat itu tentu jauh lebih banyak daripada kasus yang masuk ke MA. Juga ketika perkara masih di tingkat penyidikan, baik di kejaksaan maupun kepolisian. Kasus suap yang menyeret Suyitno Landung juga terjadi ketika masih dalam penyidikan.

Sebenarnya, telah berkali-kali Kejagung Abdul Rahman Saleh dan Ketua MA Bagir Manan mengobarkan semangat pembersihan lembaganya. Bahkan, mereka mengancam akan menindak anggotanya yang menyalahgunakan wewenang. Namun, agaknya, gaung pernyataan jauh lebih nyaring daripada tindakannya.

Beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung memang mengungkapkan ada sekitar 70 pegawai di jajarannya yang dikenai sanksi. Sayang, MA tak mau berterus terang seperti Polri. Akibatnya, orang mungkin masih bertanya-tanya, dalam kurun waktu kapan penindakan dilakukan, siapa saja yang terkena, dan dalam kasus apa saja. Jangan-jangan dalam rentang waktu bertahun-tahun terhadap pegawai-pegawai kroco (baca: rendahan) dan dalam kasus kelas teri.

Kini, kita masih berharap pada Komisi Yudisial. Lembaga baru tersebut kelihatan memberikan harapan. Namun, karena usianya masih seumur jagung, lembaga itu belum berdaya. Sampai awal bulan ini, lembaga tersebut telah menerima 300 pengaduan. Sebagian besar mengenai putusan dan perilaku hakim. Dari jumlah itu, hanya 5-10 persen yang sudah ditindaklanjuti dan diselesaikan. (*)

Sumber: Jawa Pos, 15 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan