Bekas Konsul Jenderal Penang Divonis Korupsi
Tarif ganda perintah duta besar di Malaysia.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Erik Hikmat Setiawan, bekas Konsul Jenderal Indonesia di Penang, Malaysia, satu tahun delapan bulan penjara. Putusan ini lebih rendah satu tahun dua bulan daripada tuntutan jaksa penuntut umum.
Menurut majelis hakim yang dipimpin Mansyurdin Chaniago, Erik terbukti melakukan korupsi bersama Kepala Subbidang Keimigrasian Khusnul Yakin Payapo dengan cara memberlakukan tarif ganda pada pelayanan imigrasi. Erik memperoleh keuntungan dari selisih tarif pelayanan imigrasi 10 ringgit per paspor 24 halaman selama 2004-2005, kata Mansyurdin membacakan putusan kemarin.
Majelis juga menjatuhkan hukuman denda kepada purnawirawan kolonel tentara itu Rp 100 juta atau hukuman pengganti tiga bulan kurungan. Tapi majelis menolak tuntutan jaksa soal uang ganti rugi karena jaksa tak menguraikan secara jelas ganti rugi Rp 513 juta. Lagi pula keuntungan tak dinikmati secara pribadi oleh Erik, tapi untuk biaya operasional.
Dalam sidang yang berlangsung selama hampir dua jam itu, Erik, yang mengenakan kemeja safari lengan pendek berwarna hitam, terlihat tenang. Tapi istri dan ketiga anaknya tampak gelisah dan terus berdoa. Sambil memangku sebuah kitab, istri Erik terus berdoa menengadahkan tangan selama pembacaan vonis. Bahkan anaknya menangis tersedu mendengar vonis hakim. Erik pun menyatakan banding atas putusan itu.
Menurut Mansyurdin, Erik dilantik pada Februari 2004 dan berwenang memimpin, mengatur, serta mengarahkan kebijakan dalam pelayanan konsuler, terutama pengurusan imigrasi. Pelayanan imigrasi di Penang dilaksanakan oleh Khusnul Yakin Payapo. Nah, dalam pelayanan itu diberlakukan dua tarif, yakni tarif besar untuk pemohon dan tarif kecil yang disetor ke kas negara. Selisih di antara dua tarif tersebut 35 ringgit per paspor 24 halaman.
Khusnul melaporkan tarif ganda kepada Erik sesaat setelah ia menjabat konsul jenderal. Erik setuju, bahkan meminta bagian 10 ringgit per paspor 24 halaman dari selisih tarif. Kata Mansyurdin, persetujuan Erik, termasuk perintah melanjutkan pemberlakuan tarif ganda, membuktikan unsur penyalahgunaan kewenangan. Apalagi Erik tak menyetor seluruh penerimaan negara dari pungutan imigrasi, yang membuktikan tindakan merugikan keuangan negara.
Erik berkeras menyatakan tak bersalah. Ia mengaku hanya menjalankan perintah Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Sebagai konsul jenderal, ia tak berwenang mencabut surat keputusan duta besar. Tarif ganda berlaku di semua konsulat jenderal di Malaysia. Seharusnya kasus ini diusut seluruhnya supaya tuntas, ujarnya seusai sidang.
Nurhazizah, pengacara Erik, sependapat. Menurut dia, putusan majelis hakim membuktikan kliennya tak menikmati uang hasil tarif ganda. Kami akan banding, ucapnya. Jaksa Wisnu Baroto enggan berkomentar. Kami akan pikir-pikir dan melapor ke atasan, kata Wisnu. AGOENG WIJAYA
Sumber: Koran Tempo, 30 September 2006