Bedah Kasus Praktik Hukum Indonesia
PERISTIWA suap kepada petugas dan hakim di Mahkamah Agung yang terjadi akhir-akhir ini merupakan sebuah fenomena tersendiri. Suka tidak suka menjadikan posisi lembaga pengadilan semakin terpuruk di mata masyarakat.
Benar tidaknya peristiwa itu, kenyataannya isu suap itu benar-benar nyata. Apabila selama ini suap hanya sekadar isu atau sebagai obrolan warung kopi, kini harus bisa diterima semua pihak bahwa isu itu bukanlah isapan jempol.
Apakah peristiwa yang oleh sebagian kalangan dianggap hanya sekadar puncak dari sebuah gunung es ini bisa menyebabkan seluruh gunung es tersebut terlihat? Atau sebaliknya hanya akan menjadikan mitos mafia peradilan ini lebih kuat.
Apalagi dukungan dari pernyataan para pejabat pengadilan, bahwa penyimpangan tersebut hanyalah dilakukan sebagian oknum saja. Bukan merupakan bagian dari kejahatan yang terorganisasi dan sistematis.
Untuk mengetahui lebih dalam benar tidaknya mafia peradilan yang telah terorganisasi dan sistematis, merupakan pekerjaan yang luar biasa sulit.
Di samping itu proses pembuktiannya dilakukan sangat tertutup. Orang-orang yang terlibat adalah orang-orang yang biasa menikmati hasil dari proses kemafiaan tersebut. Oleh sebab itu, sudah pasti mereka saling melindungi satu sama lainnya.
Banyak cara untuk membuka tabir atau modus operandi dari bekerjanya jaringan tersebut. Beberapa dari jaringan itu dapat dilihat dari proses berjalannya sistem. Seperti misalnya kualitas putusan yang dihasilkan dan integritas personal dari aparaturnya.
Jenis-jenis penyimpangan
Sebagai suatu sistem, kinerja pengadilan sekarang ini berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat maupun para pencari keadilan, seolah-olah tidak lagi menjadi media kontrol. Harapan masyarakat pun pupus sudah.
Sesungguhnya, dalam teori, pengadilan mempunyai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di sisi lain, terciptanya suatu peradilan yang bersih, transparan, dan mengedepankan nilai-nilai keadilan. Satu hal lagi terpenting, sangat sulit menemukan aparat pengadilan yang bersih dan berwibawa saat ini.
Pengadilan seharusnya menjadi benteng terakhir melawan ketidakadilan. Namun, semua hanya mimpi belaka. Buruknya pelayanan lembaga peradilan dapat dilihat dan diukur dari lambatnya proses penyelidikan dan penyidikan suatu kasus.
Banyaknya persyaratan administratif yang harus ditempuh saat pendaftaran perkara di pengadilan. Pungutan di luar biaya administrasi resmi sampai kepada prosedur penetapan putusan pengadilan. Demikian pula tidak transparannya pelaksanaan eksekusi yang penuh kontroversi di hadapan publik.
Hal tersebut menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan semakin menipis dari hari ke hari. Di sisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga pengadilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya tidak independen dan mandiri. Terutama dalam menjalankan kinerja dan mengeluarkan putusan-putusan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme pun semakin marak dalam proses penyelesaian perkara. Adanya campur tangan pihak eksekutif dalam proses peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga peradilan.
Intervensi pihak eksternal kepada kekuasaan kehakiman/yudikatif (dalam hal ini kekuasaan dan uang) menjadi suatu masalah yang sangat serius untuk dipikirkan pemecahannya. Terutama setelah terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan suatu putusan pengadilan yang 'aneh-aneh'. Sehingga di sini akhirnya ungkapan politisasi terhadap kasus-kasus yang ada di pengadilan menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari.
Adanya ketidakberesan dalam proses beracara yang menyebabkan putusan-putusan yang keluar dari pengadilan, sering kali tidak sesuai dengan harapan publik. Banyaknya penyimpangan yang bermuara pada putusan pengadilan yang bertentangan dengan rasa keadilan publik itu sendiri.
Apalagi bila kita kaitkan dengan peristiwa kasus suap yang menggoyang dunia peradilan kita. Tidak tanggung-tanggung, kasus suap mulai menyentuh Mahkamah Agung, sebuah lembaga tertinggi dalam sistem peradilan kita. Dari hasil penelitian pun menyebutkan, Mahkamah Agung pun tidak lepas dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Pengawasan internal
Penyebab penyimpangan yang terjadi selama ini selain faktor sumber daya manusia, juga disebabkan faktor manajemen dan administrasi.
Oleh karena itu, apabila mempunyai iktikad baik untuk memperbaiki kekurangan, lembaga pengadilan, suka tidak suka, harus membenahi seluruh manajemen. Baik manajemen administrasi, manajemen organisasi, dan manajemen sumber daya manusia. Semua mutlak dilakukan pembenahan secara komprehensif.
Dalam hal ini pengertian administrasi peradilan tersebut sangat berkaitan erat dengan kesatuan tanggung jawab yudisial (judicial responsibility). Tanggung jawab yudisial ini mengandung tiga dimensi pertanggungjawaban, yaitu, tanggung jawab administrasi; tanggung jawab prosedural; tanggung jawab substansi.
Berbagai hal yang diuraikan di atas pada dasarnya menunjukkan bahwa lembaga peradilan harus lebih mengoptimalkan dan membenahi diri. Sebagai lembaga penegak hukum, seharusnya pengadilan memiliki wibawa di hadapan masyarakat. Di tengah krisis multidimensi ini, masyarakat berharap pengadilan bisa memberikan titik terang dalam penegakan hukum. Salah satunya adalah dengan mengadakan reformasi di tubuh lembaga peradilan itu sendiri.
Salah satu metode yang mungkin menjadi langkah strategis adalah meningkatkan sistem pengawasan eksternal. Selain itu peran masyarakat sebagai kontrol sosial bagi semua pelaksanaan kinerja lembaga peradilan tersebut.
Pengawasan eksternal
Pengawasan internal pada kenyataannya masih jauh dari harapan. Oleh sebab itu, lembaga peradilan harus melakukan langkah strategi jangka pendek untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Caranya dengan meningkatkan pengawasan eksternal terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan para oknum ataupun organisasi yang sistematis. Lembaga pengawas eksternal, dalam hal ini baik Komisi Yudisial atau Komisi Pemberantasan Korupsi harus bekerja keras membongkar, mengurai, dan membasmi jaringan mafia peradilan.
Banyak hal yang bisa dilakukan lembaga ini dengan cara laporan pengaduan masyarakat, pemeriksaan terhadap aparatur lembaga pengadilan secara cepat dan tidak diskriminatif. Kalau perlu dilakukan jemput bola agar menimbulkan efek jera. Asep Rahmat Fajar, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI).
(Media Indonesia, 17 Oktober 2005)