Bau Busuk di Gedung MA

BANGKAI yang disimpan rapi akhirnya tercium juga. Bau busuk pun merebak ke mana-mana. Aroma memuakkan itu datang dari Markas Besar Korps Pengadilan, Mahkamah Agung (MA).

Sang ketua yang dipilih secara demokratis oleh DPR dari lingkungan di luar korps pengadilan, kini dililit masalah. Ketua MA Bagir Manan yang diberi mandat membersihkan korps hakim dari mafia pengadilan, malah diduga menerima suap.

Adalah Harini Wiyoso mantan hakim tinggi yang mengaku sebagai pengacara Probosutedjo, yang mengatakannya. Ia ungkapkan praktik busuk itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Uang suap sebesar Rp5 miliar berasal dari Probosutedjo telah disiapkan untuk Bagir Manan.

Kepada KPK, Harini yang kini ditahan bersama lima pegawai MA mengakui untuk Parman Suparman dan Usman Karim sudah 'dibereskan'. Ketiga hakim agung itu adalah majelis hakim yang menangani perkara kasasi Probosutedjo dalam korupsi dana reboisasi di Kalimantan Selatan senilai Rp100,9 miliar.

Bagir pun membantah, walaupun mengakui pernah jumpa Harini. Begitu juga dengan Parman yang membantah kepada wartawan melalui siaran pers. Usman pun ikut membantah keras. Belakangan Probosutedjo pun mengaku telah mengeluarkan uang Rp10 miliar untuk kasus yang sama di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.

Jelas itu tindakan suap! Bukankah korupsi di pengadilan salah satu bentuknya adalah suap menyuap? Artinya ada yang menyuap dan yang disuap. Probosutedjo pun berkelit bahwa dulu ia tidak melaporkannya karena belum ada KPK. Tapi, mengapa ia tidak lapor kepada polisi atau bidang pengawasan MA? Bukankah ada Komisi Ombudsman Nasional. Atau memang tidak ada lagi yang dipercaya?

Kasus di MA semakin meyakinkan publik bahwa kanker korupsi memang terjadi di lingkungan korps kehakiman. Mafia peradilan pun menggurita di sana. Jual beli perkara tidak hanya di dalam lingkungan gedung pengadilan, tetapi juga sampai di lingkungan kantin, warung telepon, dan tempat parkir MA.

Bentuknya pun macam-macam. Mulai dari penentuan majelis hakim, tawar-menawar putusan, mengulur waktu penetapan perkara, menunda eksekusi, hingga memakai jaksa dan pengacara tertentu.

Memberantas mafia peradilan memang bukan persoalan mudah. Apakah dari tingkatan yang paling rendah atau langsung dari atas? Kasus dugaan suap di MA bisa menjadi jalan bagi KPK bahwa pemberantasan bisa langsung dari atas.

Apalagi menyangkut hakim agung dan mantan hakim tinggi yang tahu betul seluk beluk permainan di lembaga hukum ini. Bukankah salah satu ciri universal dari pengadilan adalah independensi. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapa pun. Khususnya dalam memutuskan perkara. Namun, bukan berarti hakim tidak bisa diawasi atau dikontrol.

Untuk itu KPK maupun Komisi Yudisial tidak boleh sungkan untuk proaktif memeriksa para hakim, termasuk hakim agung. Reformasi pun mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak pandang bulu, termasuk di lembaga yang menjadi garda akhir peradilan.

Selamat Ginting/P-3.

Media Indonesia, 17 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan