Batu Nisan Gedung DPR
”Kita jangan aneh-aneh membandingkan dengan rakyat yang susah. Itu jelas berbeda. Apa kita harus tinggal di gubuk reot juga, becek-becekan, kita harus realistis."
Kalau para pentolan DPR masih mempunyai sisa sedikit kerendahan hati dan sejumput kesadaran bahwa status mereka hanya wakil rakyat, mereka seharusnya dapat merasakan badai penolakan pembangunan gedung DPR adalah manifestasi ketidakpercayaan rakyat kepada lembaga tersebut. Defisit kredibilitas lembaga perwakilan rakyat sudah sampai kepada titik yang nyaris absolut sehingga tidak mudah untuk dipulihkan. Berbagai kritik masyarakat karena perilaku mereka yang korup, tunaempati, prestasi hampir nihil, perilaku tidak senonoh, serta kedap terhadap jeritan dan penderitaan rakyat seakan lenyap ditelan oleh gelombang nafsu kekuasaan yang nikmat dan memabukkan. Dari hari ke hari intensitas wakil rakyat menggerus modal sosial mereka sendiri semakin melaju berlipat-lipat secepat deret ukur.
Menista rakyat
Alih-alih mereka bersikap asketis menerima kritik rakyat, justru beberapa tokohnya menista rakyat secara terbuka. Dedengkot satunya lebih kurang mengatakan, jangan samakan anggota DPR dengan rakyat yang susah. Pentolan lain tanpa risi menganjurkan agar rakyat tidak dilibatkan dalam memperdebatkan pembangunan gedung DPR karena pembangunan gedung DPR adalah urusan orang-orang pintar. Benggolan lainnya lagi dengan geram mengatakan jangan membandingkan gedung DPR dengan gedung sekolah dasar. Ungkapan-ungkapan yang memamerkan rendahnya kadar kualitas mereka sebagai wakil rakyat. Oleh sebab itu, protes sementara anggota DPR yang mungkin berniat baik agar pembangunan gedung DPR ditunda atau dibatalkan pun diragukan otentisitasnya. Sebagian masyarakat justru menganggap sikap mereka adalah akrobat politik, sebagaimana sering kali dipertontonkan para politisi dalam merespons berbagai isu politik lain.
Kejengkelan terhadap perilaku sesat yang dilakukan oleh sebagian wakil rakyat mengundang pula sikap geregetan dari kalangan mereka sendiri. Hal itu, antara lain, dikemukakan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah dalam bukunya, Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat, yang menunjukkan keprihatinannya: ”Tatkala rakyat menjerit didera kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, para wakil rakyat justru sibuk mengusulkan kenaikan gaji dan menuntut fasilitas yang lebih istimewa untuk diri sendiri”. Di bagian lain,
”Para elite partai yang mayoritas dan berpikir pragmatis menjadikan partai sebagai alat meniti karier, alat cari makan dan jabatan.” Ungkapan itu menunjukkan bahwa di DPR masih terdapat unsur-unsur yang dapat diajak untuk bergandengan tangan memperbaiki institusi tersebut.
Memaksakan pembangunan gedung DPR tanpa terlebih dahulu menempa karakter dan meningkatkan kinerja penghuninya, bangunan hanya akan menjadi simbol kepongahan dan keangkuhan kekuasaan yang antirakyat. Kemegahan dan kenyamanan mungkin dirasakan bagi penghuninya, tetapi bagi rakyat gedung tersebut adalah batu nisan yang menandai para wakil rakyat telah mengubur harapan dan suara hati nurani rakyat yang merupakan roh kehidupan demokrasi. Bangunan pasti bukan menjadi monumen kebanggaan masyarakat, melainkan tempat yang angker dan sangar karena membunuh benih-benih peradaban dan budaya politik yang hendak dibangun. Tragisnya, semangat membangun simbol dan kebanggaan palsu juga menjalar ke sejumlah daerah. Tantangan yang tidak ringan untuk membangun kehidupan politik yang bermartabat.
Dalam berbagai kajian mengenai kelahiran, perkembangan, dan keruntuhan peradaban, hampir selalu muncul fenomena sikap dan perilaku barbar yang tak hanya mengganggu, tetapi juga dapat melenyapkan peradaban. Buku A Study of History, Arnold J Toynbee, edisi ringkas: Abridgement Vol l-Vl; oleh DC Somerwell, 1974, dengan jelas menceritakan betapa perilaku barbar berpengaruh terhadap jatuh bangunnya sebuah peradaban.
Dalam konteks Indonesia, setelah lebih dari satu dekade transformasi politik, dinamika politik makin jelas menunjukkan terjadinya pertarungan antara mereka yang ingin membangun kekuasaan yang beradab dan mereka yang sengaja atau tidak berperilaku barbar. Hal itu tidak dapat dihindari karena pada dasarnya membangun demokrasi adalah mengukir peradaban, menanamkan nilai-nilai yang dapat membangun karakter bangsa, terutama watak para pemegang kekuasaan. Upaya yang benar-benar sangat membutuhkan keuletan bangsa Indonesia.
Maka, ada baiknya selalu mengingat piweling dari Arnold J Toynbee yang lebih kurang mengatakan, ”Sejarah mengajarkan kepada kita kalau kaum barbar bertanding melawan budaya yang mandek, kaum barbar selalu meraih kemenangan” (History teaches us that when a barbarian race confronts a sleeping culture, the barbarian always wins).
Pertarungan bangsa Indonesia membangun politik yang beradab akan selalu berhadapan dengan perilaku barbar yang daya rusaknya sangat dahsyat. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi semua elemen bangsa untuk mengonsolidasikan kekuatan melawan anasir-anasir yang menghancurkan peradaban bangsa.
Harapan masih selalu terbuka karena budaya dan peradaban bangsa Indonesia tidak akan pernah mandek.
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 April 2011