'Basmi Korupsi Setengah Hati'

Upaya pembasmian korupsi dilakukan setengah hati karena lembaga yang terindikasi korup tidak disentuh.

Demikian benang merah yang bisa ditarik dari diskusi Bincang Sabtu bertajuk Ada Upaya Menghadang Pemberantasan Korupsi yang diadakan oleh Media Indonesia dan Radio Trijaya di Mario's Place, Jakarta, Sabtu (11/6).

Acara tersebut menghadirkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas, pengamat ekonomi politik Faisal Basri, dan penasihat presiden Syahrir.

Menurut Faisal Basri, ada empat kategori kelompok yang diduga akan melakukan upaya keras untuk menghadang pemberantasan korupsi.

Mereka adalah raja-raja judi ilegal yang takut jika judi dilegalkan, oknum kasus-kasus lama yang diangkat lagi atau belum tuntas, politisi-politisi korup yang mencoba melindungi kasusnya, dan pengacara pembela koruptor, katanya.

Faisal juga menyayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terkesan setengah hati dalam memberantas korupsi sebab, kata dia, sejumlah lembaga yang nyata-nyata terindikasi korupsi belum disentuh, termasuk sejumlah pembantunya.

Presiden belum bersungguh-sungguh, indikasinya menteri-menteri yang korup dalam segi uang dan moralitas belum diganti. Sumber korupsi yaitu Ditjen Pajak, Bea Cukai, dan Polri belum disentuh, padahal sudah perlu diganti Kapolri atau dirjennya, katanya.

Faisal mengatakan bahwa Presiden tidak perlu memikirkan hitung-hitungan politik untuk merombak ketiga lembaga itu karena dianggap memiliki risiko politik rendah. Yang tidak ada kalkulasi politiknya saja dulu yang dirombak, yaitu ketiga lembaga di atas. Presiden akan mudah memobilisasi massa jika tujuannya adalah untuk pemberantasan korupsi. Sudah saatnya menimbun orang baik dan menggasak orang buruk.

Ia mengingatkan agar tidak menaruh harapan terlalu tinggi pada upaya pemberantasan korupsi dalam jangka waktu pendek. Untuk itu pemerintah harus tetap konsisten.

Harus realistis memberantas korupsi berjangka panjang dan berkesinambungan. Harapan masyarakat harus dijaga dengan berlaku konsisten dan jangan melakukan hal yang kontraproduktif, katanya.

Erry Hardjapamekas berharap Presiden bersikap tidak pandang bulu dalam menegakkan upaya menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan transparan.

Yang saya lihat, persepsi pemberantasan korupsi SBY sudah cukup komprehensif, namun pembantu-pembantunya yang belum. Jangan sampai Presiden memikirkan risiko politik dari tindakan-tindakannya memberantas korupsi, jelasnya.

Erry mengingatkan pemberantasan korupsi tidak hanya dengan menindak atau menuntut saja, tetapi juga melalui pencegahan dan perbaikan sistem. Kasus KPU bisa terjadi di lembaga manapun. Untuk itu diperlukan reformasi birokrasi dengan spektrum luas, tidak hanya mengganti orang, tetapi juga sistemnya, katanya.

Menurut Erry, memberantas korupsi memerlukan kesabaran tinggi karena tidak hanya berlangsung dalam jangka pendek.

Erry mencontohkan institusi serupa KPK telah didirikan 55 tahun lalu di Singapura, dan 30 tahun lalu di Malaysia. Hal itu membuktikan bahwa pemerintah yang membangun institusi untuk memberantas korupsi harus memiliki visi jangka panjang. Erry memprediksikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia setidaknya harus tetap giat dilakukan dalam 10 hingga 12 tahun ke depan.

Akan tetapi, tidak ada gerakan pemberantasan korupsi yang bisa dilakukan oleh satu lembaga saja. Hanya akan berhasil jika dipimpin oleh presiden dan didukung oleh rakyat, katanya.

Syahrir mengungkapkan komitmen pemberantasan korupsi yang diterapkan oleh Presiden saat ini dianggap sangat berat karena merupakan upaya untuk menghapuskan kebiasaan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Yang menghadang Presiden saat ini adalah akumulasi korupsi selama 30 tahun lebih, sesuatu yang sangat luar biasa, ungkapnya.(Dit/P-1).

Sumber: Media Indonesia, 13 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan