Basa-basi Berantas Korupsi
Di Indonesia korupsi masih merajalela. Penurunan peringkat Indonesia sebagai `negara terkorup` di dunia dari urutan enam menjadi urutan ke-130 pada tahun 2006, rasanya tetap saja belum melegakan hati rakyat di negeri ini. Sebab, peringkat Indonesia sebagai negara terkorup di Asia masih bercokol di urutan pertama.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, menyebutkan pada 2006 Indonesia menempati urutan ke-130 dari 163 negara terkorup di dunia, dengan angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menurut Survey Transparency International (TI) 2,4. ''Posisi Indonesia terus merangkak naik, tahun 2001 Indonesia berada di angka rendah 1,9 sampai tahun 2003 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup keenam dari 133 negara yang disurvei,'' katanya.
Sementara itu, di Asia peringkat Indonesia masih memimpin di urutan pertama sebagai negara terkorup.
Berdasarkan survei The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) Januari-Februari 2005, Indonesia berada di peringkat pertama sebagai negara terkorup di Asia.
Hasil survei itu juga menyebutkan korupsi di peradilan Indonesia menduduki peringkat pertama, dan korupsi di birokrasi menduduki peringkat kedua terburuk. Angka tersebut sangat kontras dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran di negeri ini masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin pada 2004 sebanyak 36,1 juta orang, atau 16,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Pemberantasan korupsi terus dilakukan, termasuk dengan mengefektifkan dan meningkatkan pencegahan serta penindakan dan penegakan hukumnya terhadap pelaku.
Perkembangan terakhir, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) akan mengalami banyak perubahan, karena diadopsinya konvensi internasional tentang antikorupsi ke dalam draf revisi UU itu. Ketua tim penyusun draf revisi UU pemberantasan tipikor, Andi Hamzah, mengatakan, salah satu perubahan tersebut adalah dimasukkannya delik tentang suap-menyuap di kalangan swasta sebagai perbuatan korupsi.
Selain itu, UU pemberantasan tipikor yang baru juga akan memuat aturan tentang kewajiban pembuktian dari seorang pejabat negara bahwa hartanya diperoleh dengan cara yang sah apabila hartanya mengalami kenaikan yang signifikan selama menjabat.
Andi juga mengatakan kerugian negara tidak menjadi unsur yang harus dibuktikan dalam UU pemberantasan korupsi yang baru nanti.
UU pemberantasan korupsi yang sedang disusun itu juga memuat aturan kerja sama pengembalian aset dan ekstradisi dengan negara lain, serta aturan gugatan ganti rugi dari peserta tender kepada pimpinan proyek yang merasa dicurangi dalam pelaksanaan suatu tender. ''UU Nomor 31 dicabut sama sekali, kemudian dibuat UU yang baru, yang intinya adalah konvensi internasional antikorupsi,'' katanya.
Konvensi internasional antikorupsi, menurut Andi, disalin seluruhnya oleh tim penyusun revisi UU Pemberantasan Tipikor, dan kemudian ditambahkan ke dalam UU Pemberantasan Tipikor. ''Jadi, isinya nanti lebih universal, mirip dengan negara-negara lain,'' katanya.
Andi mengatakan jika UU pemberantasan korupsi yang baru telah disahkan, maka langkah selanjutnya adalah merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut dia, KPK perlu diperluas kewenangannya, sehingga dapat menangani kasus pencucian uang dan dapat menyentuh korupsi di pihak swasta, karena berkaitan erat dengan penanganan kasus korupsi.
Meski berbagai upaya terus dilakukan, pemberantasan korupsi di Indonesia tampaknya masih setengah hati.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Muhammad Irsyad Thamrin, itu terlihat dengan banyaknya kepentingan, baik itu politik, kekuasaan, maupun kepentingan lain yang sangat kental dalam upaya pencegahan maupun penegakan hukum terhadap pelaku korupsi.
Sehubungan dengan pengajuan uji materiil UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mahkamah Konstitusi (MK), serta adanya rencana bahwa UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor akan mengalami banyak perubahan karena diadopsinya konvensi internasional tentang antikorupsi ke dalam draf revisi undang-undang itu, ia melihat undang-undang yang sudah ada sekarang memang belum sempurna.
Namun, menurut dia, adanya undang-undang yang kurang progresif maupun undang-undang yang belum sempurna, sebenarnya kelemahan tersebut bisa 'ditutupi` dengan penindakan serta penegakan hukum yang baik.
Artinya, kata Irsyad, jangan menjadi alasan karena perangkat hukumnya belum sempurna menyebabkan pemberantasan korupsi seperti 'jalan di tempat', dan belum seperti yang diharapkan masyarakat.
Korupsi memang menjadi penghambat utama pengentasan kemiskinan di Indonesia. Fakta menunjukkan 55,3 persen atau sekitar 110 juta jiwa penduduk negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara itu 52,5 persen konsumsi energi di Indonesia sangat tergantung pada BBM (bahan bakar minyak). Lebih mencengangkan lagi subsidi untuk 62 juta kiloliter BBM pada 2005 menghabiskan hampir 20 persen dana APBN. Keprihatinan lain di antaranya menunjukkan 2/3 penduduk negeri ini masih mengonsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori per hari. Itu artinya sebagian besar rakyat Indonesia masih hidup di bawah standar garis kemiskinan.
Pemberantasan korupsi kelihatannya serius. Berbagai upaya terus ditempuh, baik dalam pencegahan maupun penindakan serta penegakan hukum terhadap pelakunya, termasuk upaya menyempurnakan mekanisme dan perangkat hukumnya. Namun, hasilnya belum kelihatan dan dirasakan seperti yang diharapkan.
Pendapat yang mengatakan pemberantasan korupsi masih setengah hati, itu memang benar. Tetapi, akan lebih tepat lagi jika ada yang berpendapat pemberantasan korupsi hanyalah basa-basi.
( wed/ant/one )
Sumber: Republika, 2 Desember 2006