Barang Hibah Lebih Mahal daripada Beli; Dugaan Korupsi di Dephub dalam Pengadaan KRL
Belum selesai menangani masalah kecelakaan yang menimpa transportasi di tanah air, kabar tak sedap kembali berembus ke Departemen Perhubungan (Dephub). Yakni, dugaan korupsi senilai Rp 44,4 miliar. Dugaan korupsi itu diembuskan Gerakan Prodemokrasi (Prodem).
Kasus tersebut berawal dari pengadaan kereta rel listrik (KRL) dari Jepang. Sejak 1998-1999, di Jepang banyak KRL yang sudah tidak beroperasi karena diberlakukannya undang-undang lingkungan hidup yang melarang penggunaan refrigent freon pada AC di kendaraan umum. Akibatnya, pemilik KRL pun berusaha mencari jalan keluar dengan menghibahkan atau menjual kepada yang membutuhkan.
Kondisi tersebut menguntungkan Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang sistem transportasi KRL-nya sama dengan Jepang. Sedikitnya, pemerintah tiga kali melakukan transaksi pengadaan KRL itu.
Pada 2004, melalui PT Kereta Api (PT KA), pemerintah membeli 16 unit KRL kepada Itocu Corporation Japan dengan harga 8 juta yen per unit untuk KRL seri 103. Biaya tersebut sudah termasuk biaya angkut dan asuransi. Transaksi tertuang dalam kontrak nomor HK 213/VIII/3/KA.2004.
Pada 2005, PT KA kembali membeli 16 unit KRL seri 8000 pada Tokyu Corporation Jepang dengan kontrak nomor 72/HK/TEK/2005. Harganya sama, 8 juta yen per unit, termasuk biaya angkut dan asuransi. Dua transaksi tersebut dilakukan PT KA menggunakan metode pembelian dengan model kerja sama corporate to corporate, ungkap Sekjen Prodem Indonesia Standar Kiaa di kantor YLBHI kemarin.
Perbedaan tampak ketika pada 30 November 2006 ditandatangani kontrak nomor 11/KONTR/PSP/XI/2006 antara Satuan Kerja (Satker) Pengembangan Sarana Perkeretaapian dengan Sumitomo Corporation Jepang. Judul kontraknya Pengangkutan termasuk asuransi 60 unit KRL hibah eks Jepang.
Dengan kontrak tersebut, pihak pertama (Dephub, Red) akan mendapatkan hibah dari pihak kedua (Sumitomo Corp) berupa 60 unit KRL yang terdiri atas 30 unit KRL tipe 5000 milik Tokyo Metro dan 30 unit KRL bekas tipe 1000 dari Toyo Rapid Railway. Harga untuk barang hibah itu 9,9 juta yen per unit untuk biaya angkut dan asuransi.
Itulah yang dipertanyakan. Kok bisa barang yang dihibahkan lebih mahal daripada barang yang dibeli, ujar Standar.
Dengan kondisi tersebut, negara dirugikan 570 juta yen (Rp 44,46 miliar dengan kurs 1 yen = Rp 78).
Prodem juga menyoroti, pembelian KRL bekas oleh Dephub bisa berakibat fatal terhadap transportasi publik. Sebagai informasi, KRL seri 103 dan 8000 termasuk generasi ke-8 di Jepang atau dengan kata lain relatif masih baru. Dua tipe KRL, yakni tipe 5000 dan 1000, termasuk generasi ke-1 dan ke-5 di Jepang (sudah tua). Menhub harus bertanggung jawab atas akibat kecelakaan transportasi umum karena ceroboh dalam pengawasan, kata Standar.
Sementara itu, Dirjen Perkeretaapian Dephub Soemino Eko Saputra saat dikonfirmasi terkait dengan penunjukan langsung dalam pengadaan KRL hibah dari Jepang itu tidak berkomentar. Namun, sebelumnya, dia menjelaskan, perbedaan harga dalam pengadaan barang disebabkan pengangkutan 60 unit KRL dilakukan dari dua depo yang jauh dari Pelabuhan Kawasaki. Dua depo itu terletak di Kota Yachio dan Nakano. Perjalanan dari dua kota tersebut memakan biaya cukup besar.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Perhubungan Bambang S. Ervan menjelaskan, awal informasi adanya KRL bekas milik Jepang itu disampaikan JARTS (lembaga semi-government di Jepang) pada 14 Juli 2006.
Kemudian, Dephub meminta informasi lanjutan dengan surat tertanggal 19 Juli 2006. Kepada JARTS, Dephub meminta informasi lanjut tentang perusahaan yang bisa menyediakan KRL hibah dan apa kewajiban pemerintah, baik aspek finansial maupun administrasi, ungkapnya.
Surat JARTS tertanggal 24 Juli 2006 memberitahukan kepada Dephub bahwa hanya Sumitomo yang bisa melakukan trading company. Perusahaan lainnya, Mitsui & Co Ltd, yang semula berminat akhirnya mengundurkan diri. Namun kami (Ditjen Perkeretaapian, Red) kembali menanyakan untuk meyakinkan apakah ada perusahaan atau operator lain yang bisa menyediakan KRL hibah itu, selain Sumitomo. Surat tersebut tertanggal 28 Agustus 2006, jelasnya.
Surat itu, kata Bambang, dijawab JARTS dengan surat tertanggal 7 Agustus 2006. Isinya menegaskan bahwa tidak ada perusahaan atau operator lain yang bisa menghibahkan KRL pada 2006, selain Sumitomo. Jadi, kami tegaskan sekali lagi, berdasar laporan Dephub, pengadaan barang yang menunjuk Sumitomo sudah sesuai aturan, tegasnya.
Soal harga barang, kata dia, sebenarnya tidak ada masalah seperti yang diberitakan. Itu tidak benar (dugaan harga barang di-mark up) karena harga tersebut tidak berbeda jauh dari harga sebelumnya. Pada 2004 senilai 8 juta yen, 2005 (8 juta yen), dan 2006 (9 juta yen). Semua harga tersebut bisa dipertanggungjawabkan oleh Sumitomo, ujarnya.
Di tempat terpisah, anggota Komisi V (bidang perhubungan) DPR Azwar Anas mengungkapkan, berdasar data yang dia peroleh, dirinya melihat adanya kejanggalan-kejanggalan yang perlu diklarifikasi pemerintah. Berbagai kejanggalan itu, kata dia, berpotensi merugikan negara.
Saya melihat ada indikasi penyimpangan, baik dalam proses maupun pengadaannya, ungkap politikus PKB itu.
Dia mencontohkan, berkaitan dengan penunjukan langsung, hal itu bertentangan dengan Keppres No 80 Tahun 2003 tentang pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebab, itu menggunakan anggaran pemerintah (APBN, Red), katanya.
Alasan pemerintah bahwa jarak dua depo yang jauh dari Pelabuhan Kawasaki yang menyebabkan mahalnya biaya juga dipertanyakan. Logikanya, tentu lebih jauh jaraknya ke Indonesia. Yang paling mendasar, apa benar itu berstatus hibah? Intinya, kami mencium bau tidak sedap, katanya. (fal/wir)
Sumber: Jawa Pos, 16 Maret 2007