Bar Association yang Ditunggu

Sejak 2.000 tahun lalu, advokat dikategorikan sebagai officium nobile, pekerjaan mulia.

Sejak 2.000 tahun lalu, advokat dikategorikan sebagai officium nobile, pekerjaan mulia. Tapi masih ada kabar buruk, seperti advokat yang menyuap panitera pengadilan dalam kasus yang menyangkut seorang gubernur, dan perang iklan di media cetak antaradvokat yang isinya penafsiran masing-masing pihak atas putusan pengadilan. Ini menunjukkan adanya penyelewengan rule of conduct yang masih melekat di tubuh advokat.

Menarik untuk mengutip perumpamaan seorang antropolog hukum ketika menulis Origins of the Indonesian Advocacy. Katanya, advokat Indonesia seperti anak yatim karena tidak tumbuh dalam sejarah bangsanya sendiri, melainkan dalam rahim kolonial. Mereka tidak sepenuhnya mendapat perhatian ibunya, yang berjarak separuh lingkaran bumi (Daniel Lev, 1976).

Aspek psikologis minimnya perhatian itu barangkali disebabkan oleh kekosongan hukum yang menjamin kebebasan profesi advokat. Pekerjaan tiga unsur penegak hukum (hakim, jaksa, dan polisi) sudah diatur undang-undang. Ironisnya, saat UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dalam proses pembuahan, advokat tidak merespons secara aklamasi. Saat UU Advokat mulai berjalan, banyak tentangan dan kesempatan yang tak segera ditanggapi.

Banyak agenda untuk mengatasi masalah ini. Namun, seperti organisasi advokat di negara lain, misalnya American Bar Association di Amerika, atau seperti organisasi profesi lainnya di Indonesia (IDI untuk dokter dan IAI untuk akuntan), eksistensi organisasi advokat merupakan conditio sine qua non. Ia dapat berperan efektif dengan dua senjatanya, yaitu fungsi internal (pengendalian mutu anggota, perlindungan anggota dalam tugas, dan pendisiplinan advokat yang melanggar) dan fungsi eksternal (civics education dan kontrol sosial).

Sayangnya, satu-satunya wadah profesi advokat (sesuai dengan amanat Pasal 28 UU Advokat) belum diitikadkan sepenuh hati. Pertama, kelahiran Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai peleburan delapan asosiasi terjadi baru pada 21 Desember 2004, tiga bulan menjelang batas waktunya pada 5 April 2005. Masalah krusialnya adalah bagaimana mengakomodasi kekuatan nyata setiap asosiasi.

Diperlukan lembaga perwakilan--yang idenya digali dari sistem pemilihan umum--untuk mengkalkulasi kuota ideal wakil anggota secara proporsional (Matthew Sugart, 1998).

Kedua, Peradi baru mempunyai satu organ yang mengurus pendidikan. Seharusnya dua organ sesuai dengan amanat UU Advokat, yaitu Komisi Pengawas, yang melaksanakan supervisory, dan Dewan Kehormatan, yang melakukan judiciary.

Ketiga, satu-satunya organ Peradi, yakni Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI), belum bisa berkiprah penuh. Tidak terperincinya rumusan tugas menimbulkan pertanyaan: apakah organ ini sama seperti Legal Profession Qualifying Board di Malaysian Bar Council (MBC) yang menentukan qualified person sebagai advokat?

Dengan organisasi advokat yang kuat, profesi ini tidak lagi dapat dicoreng mukanya oleh segelintir anggota yang menelikung standar profesional. Kontribusi terhadap Peradi diharapkan datang tidak hanya dari anggotanya, tapi juga dari masyarakat sebagai stakeholder. Bahkan tidak tertutup aliansi dengan sesama organisasi di luar negeri, dalam rangka menjunjung martabat advokat.

Contohnya, Law Council of Australia (LCA) dengan anggota 36 ribu advokat pada Oktober 2000 pernah mendukung MBC di Malaysia. Ini puncak keprihatinan LCA atas pelanggaran rule of law di Malaysia akibat terlibatnya kepentingan rezim yang sedang berkuasa.

Tokoh penting MBC (Param Cumaraswarmy, Karpal Singh, dan Zainur Zakaria) dituduh melanggar Sedition Act (bahkan diikuti penahanan) ketika membela mantan wakil perdana menteri Anwar Ibrahim. LCA bersama mitranya di berbagai belahan dunia mempublikasikan peristiwa ini dan menggalang dukungan. Kapan organisasi advokat kita menikmati kerja sama seperti ini?

Firoz Gaffar, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 30 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan