Banyak Yang Kecipratan; Dokumen Kasus Pemekaran Kota Mojokerto Sudah Terkumpul
Siapa-siapa yang kecipratan dana pemekaran wilayah Kota Mojokerto, mulai terkuak. Hal ini menyusul hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan sejumlah kalangan diduga kuat kecipratan dana pemekaran wilayah. Di antaranya, pejabat di lingkungan Pemkot Mojokerto, anggota DPRD Kota Mojokerto, serta anggota DPRD Kabupaten Mojokerto.
Laporan BPK yang ditujukan kepada DPR RI itu memuat secara lengkap penggunaan anggaran selama proyek pemekaran dilakukan sejak 2001-2002 lalu. Salinan laporan itu, selain sudah di tangan kejaksaan, juga dipegang sejumlah LSM yang selama ini aktif mengawal penyelidikan.
Adanya laporan BPK tentunya semakin memperkuat pihak Kejaksaan Negeri Mojokerto untuk lebih intens melakukan penyelidikan kasus pemekaran. Apalagi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Mojokerto, Soemadi SH sebelumnya pernah mengatakan, bahwa banyak pihak diduga terlibat secara langsung dan juga kecipratan dana pemekaran. Sejauh ini yang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus pemekaran ini masih tiga orang. Mereka adalah, mantan Wali Kota Mojokerto Tegoeh Soejono, mantan Ketua DPRD Kota Mojokerto Hari Utomo, dan mantan Kabag Keuangan Pemkot Mojokerto Subiyanto.
Dari catatan yang tertulis dalam laporan BPK disebutkan adanya indikasi penyimpangan dana APBD untuk program pemekaran wilayah selama kurun waktu 2001-2002 sekitar Rp 6,7 miliar. Rinciannya adalah, tahun 2001 sebesar Rp 2,737 miliar dan APBD 2002 sebesar Rp 3,98 miliar. Dana-dana tersebut tidak diambilkan secara khusus dari pos pemekaran di APBD alias dari pos-pos lain. Beberapa pos yang diduga digunakan untuk program pemekaran ini adalah, pos sekretariat daerah dan pos bantuan keuangan. Pos sekretariat daerah ini terdiri atas pos tamu daerah dan pos lain-lain ongkos kantor. Selain itu, pada pos bantuan pembangunan kelengkapan kantor. Pengeluaran-pengeluaran tanpa didukung dengan bukti sah, mengakibatkan kerugian negara/daerah sebesar Rp 6.718,07 juta (Rp 6,7 miliar), tulis laporan BPK.
Juga disebutkan, untuk pemekaran wilayah dan lainnya diterimakan kepada pihak eksekutif dan pihak legislatif tanpa didukung dengan bukti sah tentang penggunaannya (hanya dengan selembar kuitansi). Dan, pihak-pihak tersebut tidak memiliki hak untuk menerima, karena tidak ada landasan hukum yang mengatur.
Anggota DPRD Kota Mojokerto tidak berhak menerima. Karena dana tersebut diambil dari pos selain pos DPRD, tetapi pos Setda dan pos bantuan keuangan, demikian laporan BPK.
Bukti-bukti adanya penyimpangan itu semakin kuat dengan telah dikumpulkannya dokumen-dokumen asli surat pertanggungjawaban (SPj) pemekaran wilayah kota. Dokumen-dokumen tersebut meliputi, nota dinas yang di-Acc Sekkot atau wali kota, surat perintah pembayaran (SPP), lembar disposisi dari keuangan, surat perintah membayar uang (SPMU), kuitansi dan bukti tanda terima. (dr)
Sumber: Radar Mojokerto, 17 Juni 2005