Bank Nakal Jangan Dibantu
Penyelamatan oleh KSSK Bukan karena Tindakan Kriminal
Bank yang kolaps karena dikelola secara sembrono tidak perlu diselamatkan dengan alasan apa pun. Apalagi, bank itu terbukti dimanfaatkan pemegang saham secara tidak wajar dan terindikasi ada penipuan. Penyelamatan hanya akan melukai rasa keadilan masyarakat.
Penyelamatan bank yang gagal akibat tata kelola yang buruk juga berpotensi membuat biaya penyelamatan membengkak mengingat bank seperti itu biasanya menyimpan potensi-potensi penipuan (fraud), yang baru bisa diketahui setelah bank diambil alih. Penipuan inilah yang merugikan negara dan masyarakat.
”Bank yang bermasalah dan cenderung gagal akibat dikelola tidak benar dan terindikasi fraud juga seharusnya segera ditutup. Pemberian kesempatan untuk terus hidup sama saja memberi peluang untuk melakukan fraud lebih besar,” kata anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, Selasa (1/9) di Jakarta.
Ini kesalahan fatal yang telah dilakukan Bank Indonesia (BI) dalam menangani Bank Century. Menurut Dradjad, tindakan BI yang tidak tegas mencabut izin usaha Bank Century sejak beberapa tahun lalu dan diambilnya langkah penyelamatan saat bank itu kolaps terbukti telah membuat potensi kerugian negara dan masyarakat membengkak.
Sebagian besar biaya talangan Rp 6,7 triliun digunakan untuk menutup kerugian akibat penipuan yang dilakukan pemegang saham dan manajemen. Penipuan itu antara lain surat kredit (L/C) bodong sekitar Rp 1 triliun, pelarian dana Rp 180 miliar, dan surat berharga valas sekitar Rp 1,4 triliun.
Penyelamatan kian melukai rasa keadilan karena hingga kini dua pemegang saham utama, yakni Alwarraq Hesyam Talaat M dari Arab Saudi dan Rafat Ali Rizvi, warga negara Inggris keturunan Pakistan, melarikan diri.
Tak ada keberanian
Kesalahan BI bukanlah terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi lebih pada tiadanya keberanian untuk menghukum atau mengambil tindakan tegas.
Menurut Dradjad, BI pada tahun 2003 telah mengetahui ketidakberesan Bank CIC (yang lalu bersama Bank Danpac dan Bank Pikko merger menjadi Bank Century tahun 2004) dengan indikasi adanya surat-surat berharga (SSB) valas sekitar Rp 2 triliun yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual.
SSB valas yang berpotensi bodong sebenarnya tidak boleh dibeli bank. Keberadaan SSB valas tersebut hanya untuk menyelamatkan neraca bank, yang sejatinya sudah kolaps. Ada indikasi penipuan yang dilakukan pemegang saham.
Namun, saat itu BI tidak tegas untuk tidak mengakui SSB valas tersebut. Sebagai solusi, BI malah menyarankan merger.
Pascamerger, ternyata SSB valas itu masih bercokol di neraca Bank Century. Instruksi BI agar SSB valas itu dijual ternyata tak bisa dilakukan pemegang saham. ”Saat itu BI sebetulnya kembali punya kesempatan untuk menutup Century, tetapi itu tak juga dilakukan,” katanya.
Solusi permasalahan saat itu adalah pembuatan asset management agreement di mana pemegang saham menjamin SSB valas tersebut dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih.
Saat Bank Century akhirnya benar-benar kolaps akibat kekurangan likuiditas dan pemburukan aset tahun 2008, ternyata BI kembali menyelamatkannya dengan alasan sistemik.
”Ada tiga kesempatan di mana seharusnya bank tersebut ditutup, tetapi BI tak melakukannya,” kata Dradjad. Ia menjelaskan, meskipun kecenderungannya sistemik, bank yang kolaps gara-gara penipuan dan kriminal seharusnya tidak diselamatkan.
Masyarakat dan nasabah akan memahami, Bank Century kolaps bukan karena krisis global, tetapi karena perbuatan jahat pemilik dan manajemennya. Ketegasan BI menindak bank nakal akan meningkatkan kredibilitas BI, yang pada gilirannya justru bisa mencegah terjadinya efek sistemik seperti yang dikhawatirkan.
Sebelumnya, Pejabat Sementara Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, Bank Century berdampak sistemik karena jika dibiarkan mati, akan ada 23 bank lain yang akan bermasalah.
Berdasarkan dokumen BI, Bank Century memiliki kewajiban antarbank kepada lima bank lain yang jika tidak terselesaikan akan mengakibatkan penurunan rasio kecukupan modal (CAR) cukup besar. Bahkan, pada salah satu bank akan berpotensi menempatkan bank tersebut dalam status bank dalam pengawasan khusus karena CAR-nya kurang dari 8 persen.
Selain lima bank itu, kegagalan Bank Century juga berpotensi berpengaruh negatif pada 18 bank lain yang berada dalam kelompoknya, terlebih apabila kondisi ekonomi makro kian memburuk.
Jangan berlarut-larut
Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengingatkan agar polemik Bank Century tak dibiarkan berlarut-larut karena bisa merusak upaya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memulihkan bank tersebut.
Menurut dia, semua pihak sebaiknya menanti hasil audit investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan, penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi, dan penyelidikan Polri atas kasus Bank Century ini. Pemeriksaan itu diharapkan bisa memberikan informasi yang jauh lebih jelas dalam penanganan bank ini.
Sri Mulyani mengatakan, penyelamatan Bank Century oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 21 November 2008 bukan didasarkan penemuan kasus kriminal. Penyelamatan karena situasi dan likuiditas Bank Century menurun dan diperburuk dengan jatuh temponya deposan besar pada saat sama.
Sri Mulyani juga menegaskan tidak ada perbedaan pandangan dirinya dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam penanganan Bank Century. Sebab, keputusan penanganan Bank Century diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS.
”Kalau perlu diaudit untuk melihat apakah ada yang salah. Jadi, seluruh aspek dilihat secara matang. Pemerintah juga berkeinginan membuat persoalan ini menjadi jelas, akuntabel, patuh terhadap peraturan dan prosedur. Nanti menjadi terbuka bahwa suatu penanganan krisis pada satu waktu tertentu, dengan penilaian tertentu, dan informasi tertentu, tetapi dilihat berapa bulan kemudian, ada yang salah atau tidak. Semua harus diikuti sehingga tidak ada kekisruhan di masyarakat,” ungkapnya.(FAJ/OIN)
Sumber: Kompas, 2 September 2009