Bank Gagal dan Pengawasan Lemah
Saat ini, masyarakat masih disibukkan oleh polemik dan perhatian pada bagaimana kesimpulan akhir Pansus DPR dalam kontroversi kasus pemberian dana talangan (bail out) Bank Century Rp 6,7 triliun.
Kontroversi dimulai dari proses merger, kebijakan, penyaluran dana talangan, sampai usulan pencopotan pejabat serta isu pemakzulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penulis tidak ingin membahas polemik dimaksud serta lebih menyoroti isu bank gagal (karena kecurangan) dan kelemahan pengawasan bank, yang ditengarai publik sebagai pemicu terjadinya bail out tersebut. Kita terenyak oleh adanya bank gagal dan betapa lemahnya pengawasan bank. Mengapa ini bisa terus terjadi? Apa yang salah dan siapakah yang patut dipersalahkan?
Bank gagal dalam konteks ini adalah bank yang pengurusnya melakukan kecurangan (fraud). Kecurangan di bank dapat dibedakan dalam empat jenis. Pertama, penyalahgunaan aset/harta perusahaan. Kedua, merekayasa keuangan untuk menutupi kondisi keuangan sebenarnya dalam penyajian laporan agar memperoleh keuntungan (window dressing). Ketiga, melakukan penggelembungan harga, suap, dan korupsi. Dan keempat, cybercrime, yakni kecurangan melalui teknologi informasi atau seperti pembobolan ATM yang marak belakangan ini.
Mengapa bank gagal?
Bank gagal terjadi, antara lain, karena adanya peluang dan kemampuan untuk melakukan dan menyembunyikan kecurangan akibat kurangnya pengawasan atau enforcement di bank, atau kontrol bank tidak berhasil mencegah terjadinya praktik kecurangan, ditambah kurangnya pengawasan manajemen. Selain itu, juga karena ada faktor tekanan (pressure) berkaitan dengan pikiran/pandangan dan kepentingan pegawai yang takut kehilangan pekerjaan atau jabatan sehingga orang jujur pun punya motif untuk melakukan kecurangan.
Albrecht, Wernz & William (1999), dalam penelitiannya, menyebutkan, 95 persen kasus kecurangan terjadi akibat tekanan finansial. Itu karena kebutuhan uang, barang, benda, kedudukan, pengakuan jati diri untuk menunjang lingkungan, gaya hidup, keadaan ekonomi, dan atau perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan buruk tersebut yang membutuhkan biaya jauh lebih besar dari yang sewajarnya. Terakhir, karena rationalization, yaitu seseorang melakukan tindakan ”curang” karena pandangan dan moral serta kode etik pribadinya rendah, dan itu berhubungan erat dengan latar belakang keluarga, lingkungan, dan pendidikan yang bersangkutan.
Pengawasan lemah
Pengawasan bank paling sering mendapat sorotan publik dan selalu dianggap lemah setiap kali terjadi bank gagal. Pengawasan bank yang lemah dapat terjadi selain disebabkan oleh hal-hal yang telah disebut dalam bank gagal tadi, juga akibat adanya ”simpul-simpul kerawanan dalam pengawasan bank”.
Pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) melalui proses politik di DPR dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) adalah simpul kerawanan utama karena sering kali menimbulkan kontroversi dan rawan berbagai ”kepentingan politik” sehingga tidak mustahil hasilnya memengaruhi atau mewarnai kebijakan, kredibilitas, dan kepercayaan (trust) atas kepemimpinan Dewan Gubernur BI yang membawahkan fungsi pengawasan bank.
Pelaksanaan fungsi dan tugas pengawasan bank, itu tidak hanya luas cakupan tugasnya, tetapi kewenangan pengambilan keputusannya juga berada di satu tangan. Mulai dari pemberian izin sampai pengenaan sanksi. Karena itulah, tugas pengawasan bank jadi rawan penyimpangan.
Dengan demikian, pengawas bank harus mampu secara kokoh membentengi dirinya dari ancaman/intervensi berbagai ”kepentingan” dan ”peluang” yang nonbankable, di samping harus tetap bisa transparan, akuntabel, bertanggung jawab, independen, dan fair, sesuai prinsip perbankan yang sehat dan asas kepatutan (governance).
Akhirnya, mengingat pengendalian intern juga merupakan mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh manajemen puncak otoritas pengawasan bank secara berkesinambungan—dan yang secara infrastruktur mencakup pengukuran risiko, pengendalian kegiatan, informasi, dan komunikasi, ataupun control environment sebagai landasan hukum—fungsi vital itu sering kali rawan intervensi atau ancaman dari manajemen puncak sehingga fungsi kontrol internal tak bekerja optimal atau bahkan mandul atau lumpuh.
Viraguna Bagoes Oka Pemerhati Perbankan dan UMKM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Februari 2010