Bank Century; Kotoran yang Bertebaran

Hanya 25 hari sejak ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 11 Februari 2010, Senin (8/3), anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dudhie Makmun Murod, telah diadili di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.

Politisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini didakwa menerima suap dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda S Goeltom, Juni 2004. Selain Dudhie, KPK juga menahan tiga anggota DPR periode 1999-2004, yaitu Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri, Endi AJ Soefihara dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Hamka Yandhu dari Fraksi Partai Golkar.

Proses dari penahanan hingga persidangan Dudhie tergolong cepat. KPK biasanya menahan seorang tersangka selama lebih dari satu bulan sebelum ia akhirnya diadili di pengadilan.

Prestasi KPK dalam memproses Dudhie makin ditambah dengan penyebutan 18 politisi PDI-P anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 lainnya yang diduga juga turut menerima suap berupa cek perjalanan dalam perkara ini. Padahal, sejak pertama kali diungkapkan mantan anggota DPR dari PDI-P, Agus Condro Prayitno, pada Agustus 2008, pengusutan kasus ini terkesan tersendat-sendat.

Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa pengusutan kasus ini merupakan bagian dari ”serangan balik” atau barter atas kasus pemberian dana talangan (bail out) Bank Century dan penyalurannya. Dugaan ini tentu saja ditolak KPK. Komisi independen yang dinilai sejumlah pihak agak lamban mengusut kasus Bank Century ini menyatakan bekerja profesional tanpa tekanan dan yang dilakukan hanya berdasarkan bukti.

Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Anas Urbaningrum dan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufiq Kiemas juga menegaskan, tidak ada upaya barter dalam berbagai kasus yang sekarang muncul. Proses hukum berjalan berdasarkan ketentuan hukum. Taufiq juga mempersilakan proses hukum berjalan dalam kasus ini.

Namun, Denny Indrayana, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Pemberantasan Korupsi, mengaku mendengar ada upaya partai politik tertentu untuk menegosiasikan antara proses penegakan hukum dan posisi mereka dalam kasus Bank Century. Namun, ia yakin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menolak upaya tersebut.

Partai ”opsi C”

Terlepas benar atau tidaknya upaya barter dan serangan balik, mereka yang diduga terlibat dalam kasus hukum yang belakangan muncul umumnya berasal dari partai politik yang memilih opsi C dalam kasus Bank Century, yaitu Partai Golkar, PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Opsi C adalah adanya dugaan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat otoritas moneter dan otoritas fiskal dalam kasus Bank Century, mulai dari proses akuisisi dan merger, pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek, hingga pemberian dana talangan dan penyalurannya.

Sejumlah kasus yang sekarang muncul sebenarnya bukan kasus baru. Kasus cek perjalanan sudah didengar sejak Agustus 2008. Dugaan kasus pajak sejumlah perusahaan milik Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga sudah didengar sejak Aburizal menjadi menteri pada pemerintahan Yudhoyono tahun 2004-2009.

Sebagian kasus memang ”baru” terungkap sekarang, misalnya surat kredit fiktif yang melibatkan PT Selalang Prima milik Misbakhun, inisiator hak angket dari PKS. Namun, kasus itu juga terjadi pada akhir 2007 atau sebelum hebohnya kasus Bank Century.

Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute, melihat, entah terkait atau tidak, pengusutan kasus Bank Century oleh DPR membuka kembali sejumlah kasus yang selama ini kurang jelas pengusutannya. ”Ibaratnya, kasus Bank Century membuka kembali kotoran yang selama ini disembunyikan di bawah karpet,” katanya.

Ini memunculkan dugaan, penegakan hukum terhadap kasus besar selama ini hanya menjadi bagian dari transaksi politik. Kasus itu menjadi bagian dari sandera dan tawar-menawar politik. Kasus yang melibatkan kelompok tertentu akan diungkap jika mereka memiliki garis politik yang tidak sesuai dengan kelompok lain. Demikian sebaliknya.

”Kondisi itu dapat menghancurkan imajinasi kita tentang pemberantasan korupsi dan reformasi secara umum. Sebab, di era demokrasi, hukum seharusnya menjadi dasar dari semua tindakan, termasuk politik. Siapa yang salah menurut hukum harus diproses tanpa kecuali,” ujar Yudi.

Di negara demokrasi, lobi tetap diperlukan dalam politik. Tetapi, kegiatan itu tidak dapat dilakukan dengan melanggar hukum, seperti menyandera kelompok tertentu dengan kasus.

Namun, keadaan ini juga dapat dilihat sebagai hal positif. Mereka yang merasa diserang lewat kasus itu semoga akan semakin giat dan berani menuntaskan kasus Bank Century. Di sisi lain, pemerintah dan aparat penegak hukum juga akan lebih terpacu membuka dan menuntaskan berbagai kasus itu.

Akan tetapi, hal sebaliknya bisa terjadi. Karena kebobrokan pihak masing-masing sudah dibongkar, mereka akan membuat kesepakatan dan negosiasi baru untuk mengamankan posisi masing-masing.

Jika pengusutan kasus Bank Century dan kasus lain yang sekarang muncul ternyata dilakukan sampai tuntas, kita pantas bersyukur. Sebab, ini berarti hilangnya (sebagian) kotoran yang dapat mengganggu penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Tuntas di sini ini berarti jika terbukti ada tindak pidana, segera proses siapa yang terlibat. Jika tak terbukti, umumkan keadaan itu dan segera keluarkan surat perintah penghentian penyidikan.

Namun, jika penyelesaian kasus Bank Century dan sejumlah kasus lain kelak ternyata tak jelas nasibnya, akan muncul kecurigaan, telah terjadi kesepakatan baru di kalangan elite untuk saling menutup borok mereka. Kesepakatan itu selanjutnya akan diikuti upaya mereka untuk kembali membuat kotoran baru berupa merampok negara dan memperbarui pembagian kue kekuasaan.

Semoga alternatif terakhir ini tidak terjadi....[M Hernowo]
Sumber: Kompas, 11 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan